25 March 2009

Kalla-Mega dan the Common Enemy

Kalla-Mega and the Common Enemy


Published by Indonesian Media
Jurnal Nasional, 20 March 2009

Refly Harun
Peneliti Senior Cetro, Chevening Fellow University of Birmingham, UK

Pertemuan antara Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri telah berlangsung dan menghasilkan lima kesepakatan, Kamis, 12 Maret lalu. Lima kesepakatan itu adalah (1) membangun pemerintahan yang kuat untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat; (2) memperkuat sistem pemerintahan presidensial sesuai dengan amanat UUD 1945 yang memiliki basis dukungan yang kokoh di DPR; (3) memperkuat sistem ekonomi untuk melaksanakan program ekonomi yang berdaulat, mandiri, dan berorientasi pada kepentingan rakyat; (4) mempererat komunikasi politik PDIP dan Partai Golkar sebagai perwujudan tanggung jawab dua partai politik terbesar Pemilu 1999 dan Pemilu 2004; (5) menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2009 secara jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia serta aman dan bermartabat.

Pertemuan dan kesepakatan tersebut sekali lagi membuktikan adagium politik, bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Kepentingan itulah yang menggerakkan pertemuan dan kesepakatan. Kepentingan tersebut adalah menghadapi musuh bersama (the common enemy). Siapa itu? Jawabnya: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)!

Menjelang perhelatan Pemilu 9 April nanti dan di tengah hiruk-pikuk ramal-meramal kandidat presiden paling jago, Kalla dan partainya (Golkar), demikian pula Mega dan partainya (PDIP), senantiasa terdesak oleh SBY dan partainya (Demokrat). Survei terakhir yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti LP3ES, LIPI, CSIS, dan Pusat Kajian Politik UI, semuanya menempatkan SBY sebagai kandidat presiden terkuat dan Demokrat sebagai partai pengumpul suara terbanyak.

Fakta tersebut sudah pasti tidak membahagiakan Kalla dan Mega. Di bawah kepemimpinan Kalla, Golkar tidak pernah unggul dalam setiap survei yang diadakan. Pemenang Pemilu 2004 tersebut paling tinggi bercokol di urutan kedua. Pada survei-survei akhir, ketika Demokrat menyodok ke urutan teratas, Golkar tercecer di posisi ketiga setelah PDIP. Fakta ini akan secara mudah dipakai oleh lawan-lawan Kalla, baik di dalam maupun di luar Golkar, sebagai kegagalannya dalam memimpin Partai Beringin.

Padahal, persepsi masyarakat terhadap prestasi pemerintahan tidak demikian. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indoensia (LSI), misalnya, kepuasaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan meningkat, termasuk dalam hal menahan terjangan badai krisis finasial yang melanda dunia. Sebagai Wakil Presiden, Kalla jelas menanam saham besar terhadap prestasi tersebut. Sialnya, dividen dari saham tersebut tidak sebesar seperti yang dinikmati SBY. Keberhasilan pemerintahan selalu berkorelasi positif terhadap SBY dan Demokrat, tetapi tidak untuk Kalla dan Golkar.

Kekecewaan yang sama juga jelas melanda Megawati. Hingga akhir Oktober 2008, PDIP selalu digadang-gadang sebagai kandidat pemenang Pemilu 2009 oleh beragam lembaga survei. Posisi PDIP sebagai the real opposition bagi pemerintahan SBY-Kalla memberikan banyak keuntungan dibandingakn parpol lain yang tidak jelas eksistensinya. Masalahnya, nasib oposisi memang selalu bergantung pada kinerja pemerintahan. Bila kinerja tidak memuaskan, oposisi menyodok. Namun, begitu kinerja dipersepsi memuaskan, oposisi akan terpinggirkan. Saat ini kinerja sedang dianggap baik. PDIP pun terpinggirkan oleh Demokrat sejak November 2008.

Megawati sendiri pernah mencatat prestasi penting pada survei Juni 2008 ketika sempat menyodok di urutan pertama. Namun, prestasi itu tidak bertahan. Pada bulan-bulan berikutnya SBY terus unggul. Mega hanya sanggup terus-menerus bertengger di urutan kedua.
Kalla-Mega telah merasa ‘dilukai'. Tidak susah mempertemukan mereka untuk bergandeng tangan menghadapi musuh bersama tersebut. Akankah gandengan tangan tersebut berlanjut ke pelaminan politik? Siapa pun tahu, hal itu tidak mudah dan agaknya tidak mungkin. Pembagian kerja (labor division) adalah isu utama. Siapa yang mau dijadikan nomor dua? Itu pertanyaan yang sulit dijawab.

Sejak jauh-jauh hari Mega telah ditunjuk PDIP untuk menjadi calon presiden. Kalla sendiri aktif ke sana ke mari setelah memberikan kesedian untuk dijagokan sebagai presiden dari Golkar. Meminjam M. Qodari, sahabat saya, dalam suatu acara di televisi, "Apa kata dunia bila JK mengundurkan diri sebagai wakil presiden untuk menjadi calon wakil presiden Mega."
Kesimpulannya, bagaimana mungkin dua orang yang sama-sama berambisi menjadi presiden bisa bekerja sama. Terlebih keduanya diprediksikan tidak akan mengurangi posisi awal untuk menjadi orang nomor dua. Tidak sajak karena mereka tidak menginginkan, namun lingkungan mereka pasti akan bereaksi keras bila hal itu terjadi.

Untuk sementara waktu, kerja sama itu lebih bertujuan pragmatis untuk menaikkan posisi mereka dan parpol yang bakal mengusung mereka di satu sisi dan ‘menekan' musuh bersama di sisi lain. Bagi Kalla misalnya, pertemuan dengan Mega bisa dipersepsikan bahwa ia adalah a sophisticated leader yang memiliki kemampuan untuk merangkul dan menyatukan semua pihak, oposisi utama pemerintahan sekalipun. Bagi Mega dan PDIP, pertemuan ini makin menegaskan bahwa tidak semua unsur pemerintahan yang mereka musuhi. Unsur lain bisa digandeng, tetapi tidak untuk SBY.

Bila sekadar perang persepsi, sah-sah saja pertemuan tersebut. Yang tidak boleh adalah bila berlanjut dengan persekongkolan. Peluang tersebut kini terbuka lebar setelah MK menolak membatalkan ambang batas nominasi presiden (presidential threshold) 20 persen kursi dan 25 persen suara.

Cara termudah mengalahkan SBY bukan dengan mengajaknya bertarung dalam medan pilpres, melainkan menyingkirkannya dalam tahap nominasi. Caranya, berharaplah Demokrat tidak mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara. Lalu, semua mitra potensial Demokrat dibajak oleh Golkar dan PDIP dengan menawarkan posisi menggiurkan baik sebagai wapres maupun menteri dalam kabinet. Alhasil, Demokrat ditinggalkan sendirian tanpa mitra koalisi, yang berakibat SBY tidak bisa dinominasikan sebagai capres.

Bila SBY terhalang, Kalla dan Mega akan tersenyum. Bagi Kalla, lebih enak head to head dengan Mega ketimbang dengan SBY. Demikian pula dengan Mega. Bila patokannya hasil survei, mengalahkan Kalla jauh lebih mudah ketimbang menumbangkan SBY.

Menjelang Pemilu 2009, manuver-manuver terus dilakukan. Rakyat akan menjadi saksi dari itu semua. Apa pun yang dilakukan oleh para elite politik tersebut, yang terpenting janji-janji kesejahteraan rakyat harus segera diwujudkan. Negara harus mampu mencerdaskan dan melindungi rakyatnya. Untuk itu, salah satu prasyaratnya adalah negara harus bersih dari korupsi. Siapa pun presidennya....

No comments: