16 March 2009

Masalah 'Impeachment' dalam Perubahan UUD 1945 (The Provisions of Impeachment in the Indonesian Constitutional Amendments)

This article was published by the Indonesian media
Sinar Harapan, 4 March 2002


Refly Harun
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia Jurusan Hukum Tata Negara


Salah satu materi penting Perubahan Ketiga UUD 1945 adalah diterimanya pasal-pasal tentang pemberhentian presiden (impeachment). Dengan diterimanya meteri ini tentunya diharapkan tidak terjadi lagi 'kezaliman' seperti yang terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid, yang dijatuhkan dengan mekanisme konstitusional yang kabur. Kendati begitu, rumusan impeachment model Indonesia seperti yang termuat dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945 itu bukan tidak menyisakan persoalan. Berikut penulis uraikan kemungkinan-kemungkinan munculnya persoalan sehubungan dengan diterapkannya aturan impeachment itu.

Tidak seperti halnya impeachment model Amerika Serikat yang pure merupakan proses politik (political process), impeachment yang diadopsi UUD 1945 merupakan gabungan proses politik dan proses hukum (legal process) sekaligus. Proses pemberhentian presiden dimulai dengan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum dimaksud berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Pemberhentian juga bisa dimintakan bila DPR berpendapat presiden/wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Sekadar perbandingan, presiden/wakil presiden AS bisa dikenakan impeachment bila melakukan (i) pengkhianatan (treason), (ii) penyuapan (bribery), (iii) tindak pidana berat (high crimes), dan (iv) perbuatan tercela (misdemeanors). Berbeda dengan di Indonesia, impeachment di AS tidak hanya terbatas pada jabatan presiden/wakil presiden, melainkan juga pejabat-pejabat negara lainnya. Negara yang menerapkan impeachment model AS ini antara lain Argentina.

Permintaan oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi itu sebelumnya harus didahului dengan sidang paripurna yang dihadiri minimal 2/3 jumlah anggota DPR. Keputusan untuk mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi harus didukung sedikitnya 2/3 dari anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Proses yang dilakukan DPR ini, meskipun dilandaskan pada dugaan-dugaan pelanggaran hukum, murni sebagai proses politik. Karena itu, soal salah-tidaknya presiden/wakil presiden bisa jadi sangat tergantung pada konstelasi di DPR. Bila pendukung presiden di DPR kuat, permintaan kepada Mahkamah Konstitusi bisa urung diajukan.

Proses berikutnya berada di Mahkamah Konstitusi. Atas permintaan DPR, Mahkamah Konstitusi harus memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR dalam waktu paling lama 90 hari. Proses yang dijalankan Mahkamah Konstitusi jelas sebuah proses hukum. Yang dicari adalah kebenaran material, bukan lagi seberapa besar dukungan terhadap presiden di lembaga itu, walaupun tak dapat dimungkiri Mahkamah Konstitusi pun nantinya rawan diintervensi kepentingan politik.

Jika Mahkamah Konstitusi menguatkan pendapat DPR, DPR pun kembali bersidang untuk meneruskan usul pemberhentian presiden/wakil presiden kepada MPR. Pasal tentang impeachment dalam UUD 1945 tidak menjelaskan apakah tersedia alternatif bagi DPR untuk tidak meneruskan proses impeachment itu atau tidak. Demikian pula dengan persidangan setelah Mahkamah Konstitusi menguatkan pendapat DPR, apakah harus dihadiri 2/3 juga atau tidak. Agaknya Panitia Ad Hoc I (panitia yang menyiapkan draf perubahan ketiga UUD 1945) menganggap bahwa persidangan itu dengan sendirinya akan meneruskan proses impeachment karena pendapat mereka sudah diperkuat Mahkamah Konstitusi. Namun, bagaimana pun, karena keputusan DPR bersifat politis, suatu saat bukan tidak mungkin para pendukung presiden berupaya kembali menjegal proses impeachment itu.

Proses impeachment selanjutnya, jika DPR kemudian jadi melanjutkannya, adalah di MPR. Sidang pemberhentikan itu harus dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR . Syarat kuorum ini jauh lebih berat ketimbang kuorum untuk mengubah UUD yang mengisyaratkan kehadiran 2/3 anggota MPR. Presiden dinyatakan berhenti bila minimal 2/3 dari yang hadir menyetujuinya. Dalam proses di MPR ini, yang merupakan proses terakhir, presiden/wakil presiden diberi kesempatan untuk membela diri. Proses yang terjadi di MPR ini juga merupakan proses politik. Kesimpulannya, proses impeachment di Indonesia dimulai dari proses politik, lalu berlanjut menjadi proses hukum, dan kemudian ditutup dengan proses politik juga.

Dengan menggabungkan proses politik dan proses hukum, pembuat undang-undang tentunya bermaksud agar sejauh mungkin terhindarkan praktek sewenang-wenang dalam hal pemberhentian presiden. Dengan kata lain, kriteria pemberhentian presiden bisa lebih objektif karena mengikutsertakan lembaga hukum (Mahkamah Konstitusi), yang selain Mahkamah Agung merupakan pemegang kekuasaan yudikatif di Indonesia. Jalan pikiran seperti ini bisa diterima, tetapi jelas mengundang beberapa persoalan.

Pertama, persoalan yang berkaitan dengan keterlibatan lembaga hukum (Mahkamah Konstitusi) dalam proses impeachment. Tidak seperti halnya lembaga politik, lembaga hukum mendasarkan putusannya pada kebenaran material. Oleh karena itu, seandainya Mahkamah Konstitusi menyatakan presiden memang bersalah, adalah aneh bila kemudian MPR menganulir putusan itu dengan tidak memberhentikan presiden. Bila hal itu terjadi, kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum tertinggi selain Mahkamah Agung akan jatuh. Putusannya ternyata bisa dianulir MPR. Namun, bila MPR sekadar 'membebek' saja terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, juga menimbulkan persoalan: Lembaga manakah yang sesungguhnya lebih berwenang melakukan impeachment terhadap presiden, MPR atau Mahkamah Konstitusi?

Kedua, soal batas waktu 90 hari bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pendapat DPR. Sekali lagi, yang dicari Mahkamah Konstitusi adalah kebenaran material, bukan besar tidaknya dukungan politik. Waktu 90 hari itu bisa menjadi bumerang. Seperti kita ketahui, untuk memproses tindak pidana , mulai dari memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara, tidak jarang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Hal itu karena tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu kejahatan. Pelaku kejahatan, dengan kecanggihannya, terkadang mampu menyembunyikan kejahatannya sedemikian rupa sehingga tidak mudah diketahui. Akibatnya, jaksa penuntut umum dipaksa terus menerus menghadirkan bukti-bukti, dan ini sudah tentu memakan waktu lama.

Bila kejahatan itu dilakukan presiden, sudah pasti pembuktiannya lebih sulit lagi. Sebab, presiden memiliki segala resources , baik resources politik maupun ekonomi, untuk menutupi kesalahan-kesalahannya itu. Pada titik ini, apakah Mahkamah Konstitusi harus dipaksa memutuskan suatu perkara yang belum cukup bukti. Kalau ya, baik putusan salah atau tidak, kita patut meragukannya.

Ketiga, soal status putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi ditindaklanjuti dengan pemecatan oleh MPR, seyogyanya presiden/wakil presiden diproses lagi dengan proses hukum biasa, mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung. Sebab, mantan presiden/wakil presiden telah melakukan tindak pidana. Dalam hal ini berlaku asas hukum equality before the law (setiap orang memiliki kedududukan yang sama di depan hukum). Seandainya proses hukum biasa itu menyatakan sang mantan presiden/wakil presiden tidak bersalah hingga tingkat terakhir (kasasi di MA), akan terdapat dua putusan yang berbeda dari lembaga yang sama-sama memegang kekuasaan yudikatif tertinggi (Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 antara lain menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan Mahkamah Konstitusi). Walaupun putusan itu tidak akan memulihkan kembali kedudukan sang mantan presiden seperti sedia kala, tetap saja putusan yang berbeda itu mengundang problem tersendiri, yaitu soal kepastian hukum.

Pada titik ini penulis cenderung berpendapat impeachment sebaiknya tidak melibatkan lembaga hukum, walaupun didasarkan pada soal-soal yang berhubungan dengan hukum. Di Amerika Serikat ---diakui atau tidak ide tentang impeachment itu banyak meniru dari negeri Paman Sam itu--impeachment betul-betul murni soal politik. House of Representative (DPR) memiliki hak penuntutan dan Senate memiliki kekuasaan untuk mengadili presiden. Sidang impeachment itu memang melibatkan Ketua Mahkamah Agung, namun dalam hal ini Ketua MA sekadar memimpin sidang impeachment. Ketua MA tidak ikut memutuskan. Putusan impeachment tetap di tangan Senate. Jadi, Senate bertindak sebagai hakim, dan DPR bertindak sebagai penuntut (jaksa).

Indonesia, kalau mau, bisa meniru impechment model AS itu. DPR bertindak sebagai penuntut dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) berfungsi sebagai hakim. Kedua badan ini bertemu dalam forum MPR. Proses yang dilalui tetap sama, yaitu dimulai dari DPR dan berakhir di MPR. Namun, proses ini sama sekali tidak melibatkan lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi.

Sayang, wewenang impeachment oleh DPD yang diputuskan di Sidang Tahunan MPR 2001 terlihat minimalis. Di tingkat permulaan DPD tidak memiliki wewenang untuk mengajukan impeachment, sementara di tingkat pengambilan keputusan mereka sekadar bagian dari MPR dengan jumlah minoritas (jumlah anggota DPD ditentukan tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR). Ada kesan para anggota MPR dalam ST MPR 2001 tidak rela memberikan kewenangan lebih kepada DPD. Padahal, di masa depan, lembaga dan anggota-anggota DPD bisa lebih 'bergengsi' ketimbang lembaga dan anggota-anggota DPR, seperti Senate dan senator di Amerika Serikat. Hal itu karena sifat perwakilan DPD lebih luas daripada DPR. Kalau anggota DPR hanya mewakili distrik yang setingkat kota/kabupaten, anggota DPD mewakili teritori yang lebih luas, yaitu provinsi. ***

No comments: