17 March 2009

Menanti Putusan MK

Published by Koran Jakarta, 23 June 2008


Oleh Refly Harun

Analis Konstitusi dan Pemilu

“Laws should not be changed without good reason

(Montesquieu, 1748)


Sidang pamungkas pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu (UU Pemilu) yang diajukan DPD telah digelar 10 Juni lalu. Publik saat ini menunggu putusan apa yang kiranya akan dijatuhkan MK terhadap keberatan DPD mengenai tidak dicantumkannya syarat berdomisili di provinsi yang diwakili dan syarat nonparpol bagi calon anggota DPD. Bila MK menerima permohonan, jelas kiranya tidak boleh ada anggota parpol yang bertanding di arena pemilihan DPD. Arena parpol telah disediakan cukup luas, berupa 560 kursi DPR dan belasan ribu kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang tersebar di seantero jagad Nusantara. Juga tidak boleh ada calon anggota DPD yang tidak berdomisili di provinsi yang diwakilinya.

Akibat lebih jauh, terjadi kekosongan hukum yang harus segera ditambal, entah dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau revisi terbatas UU Pemilu. Hal ini membutuhkan komitmen politik Presiden dan DPR agar tidak terjadi kekosongan hukum (legal vacuum). Sebab, UU Pemilu memang tidak memuat norma syarat domisili dan nonparpol tersebut. Yang digugat DPD adalah sesuatu yang tidak dicantumkan, bukan sesuatu yang tercantum dalam undang-undang. Yang digugat adalah penghilangan norma konstitusi di dalam UU Pemilu.

Bila sebaliknya, permohonan dikabulkan, pembuat undang-undang (DPR dan Presiden) memiliki landasan konstitusional (constitutional ground) terhadap pilihan tidak mencantum syarat domisi di provinsi dan bukan anggota parpol. Sebagai the sole interpreter of the constitution, MK dengan sendirinya memberi tafsir bahwa penghilangan norma yang disoalkan DPD bukan perbuatan menentang konstitusi.

Ke mana arah putusan MK? Jawabannya sangat bergantung pada politik hukum hakim konstitusi. Bagi Moch. Mahfud MD, yang menggantikan Roestandi sebagai hakim konstitusi, perkara ini bisa menjadi ujian pertama independensinya. Mahfud, sebagaimana diketahui umum, adalah hakim konstitusi yang berasal dari saku DPR, dan tercatat sebagai anggota DPR dari Fraksi PKB ketika terpilih sebagai hakim konstitusi, Maret lalu. Profesionalitas Mahfud tak perlu diragukan, tetapi independensi masih perlu diuji.

Penghilangan syarat domisili dan nonparpol ditengarai karena adanya keinginan sejumlah anggota DPR yang ingin terus bercokol di Senayan dengan cara ’lompat pagar tetangga’. Beberapa parpol telah membatasi berapa kali kadernya bisa duduk di DPR. Mereka yang terkena limitasi ini, yang kebetulan bercokol di Pansus RUU Pemilu, telah mengupayakan agar syarat domisi di provinsi dan nonparpol dijebol. Dengan demikian, mereka, yang notabene berdomisili di DKI, bisa bertanding mewakili provinsi tertentu dengan dukungan parpol masing-masing. Peluang menang jelas akan lebih besar ketimbang calon-calon yang hanya ditopang jaringan personal. Ini tentunya semacam kompetisi yang tidak adil (unfair competition), unequality before the law.

Sebelum 27 Juni

Putusan MK, apa pun hasilnya nanti, harus segera dibacakan sebelum 27 Juni. Kenapa harus tanggal tersebut? Jawabannya karena pada tanggal itulah dimulainya tahapan pendaftaran calon perseorangan anggota DPD seperti terlampir dalam Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2008. Ada dua kepastian bila MK mampu memutuskan soal DPD lebih cepat lagi.

Kepastian pertama, bagi anggota parpol yang berniat bertanding di ’parlemen sebelah’, mereka akan memperoleh kepastian apakah bisa mendaftar ke KPU atau tidak. Hal ini terkait dengan adanya syarat jumlah dukungan melalui pengumpulan KTP. Tentu sangat tidak adil bagi mereka bila boleh mendaftar dengan dukungan KTP tersebut, tetapi di tengah jalan, ketika KPU melakukan verifikasi, dinyatakan tidak memenuhi syarat lantaran MK mengabulkan permohonan. Kita tahu, mengumpulkan KTP bukan perkara mudah. UU Pemilu tidak hanya mengatur soal jumlahnya, melainkan juga persebaran. Bukan rahasia lagi, satu KTP berikut tanda tangan atau cap jempol berarti sejumlah uang.

Kepastian juga berlaku bagi calon yang bukan berasal dari parpol. Bila permohonan dikabulkan, tentu akan terasa lebih mantap untuk terus bertanding karena tidak akan berhadapan dengan calon yang membawa mesin parpol. Sebaliknya, bila permohonan ditolak, bisa jadi harus berpikir dan menghitung ulang untuk bertanding sebagai calon anggota DPD lagi karena kompetitor tidak lagi membawa perahu-perahu kecil, tetapi sudah kapal-kapal besar. Tidak heran bila saat ini beberapa anggota DPD kabarnya telah melirik kursi DPR, yang relatif lebih mudah digapai dan punya kewenangan yang lebih jelas ketimbang DPD.

Kepastian kedua, bagi penyelenggara pemilu atau KPU, putusan yang cepat akan membuat mereka bisa mengambil sikap atas tahapan pemilu. Mereka tidak perlu terombang-ambing dengan boleh-tidaknya anggota parpol mendaftar sebagai calon anggota DPD. Secara teoretis, berdasarkan UU Pemilu yang berlaku, KPU bisa saja menerima para anggota parpol yang mendaftar karena putusan MK tidak berlaku surut. Selagi belum ada putusan MK maka sebuah undang-undang tetap dinyatakan berlaku. Namun, akan lebih baik kiranya bila KPU, yang kerjanya sudah segudang, tidak lagi dibiarkan meraba-raba arah putusan MK.

Sidang pamungkas telah digelar, publik kini menanti putusan. Tinggal MK sendiri yang bersikap: bersetuju dengan DPD dengan mengabulkan putusan atau, atau membiarkan ekspansi parpol merangsek ke mana-mana, termasuk ke ’parlemen tetangga’.

Sebagai penutup tulisan ini, penting disimak lagi kata-kata Monstesquieu, ”laws should not be changed without good reason”. Good reason itulah yang tidak tampak ketika DPR menghilangkan dua syarat paling fundamental bagi DPD untuk hari ini: syarat domisili di provinsi dan bukan anggota partai politik. Kecuali reason dari segelintir anggota DPR yang telah merasakan nikmatnya bercokol di Senayan, dan tidak ingin kenikmatan itu terenggut.***

Jakarta, 19 Juni 2008

No comments: