17 March 2009

Langit Mendung Pemberantasan Korupsi

Published by Lampung Post, March 2008


Oleh Refly Harun

Analis dan Pengamat Hukum


“Kayaknya, sebaiknya seleksi dan penetapan anggota komisi-komisi negara diserahkan kepada MK. Rasanya akan lebih menjamin rasa keadilan dan meminimalkan kepentingan politik.” Sebuah pesan singkat meluncur ke telepon selular saya Sabtu (8/12). Yang mengirim adalah Ridaya Laode, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah lembaga penggiat antikorupsi. Ridaya dan mungkin juga banyak yang lainnya kecewa dengan hasil-hasil rekrutmen komisi-komisi negara baru-baru ini. Betapa tidak, meski sudah menggelontorkan banyak biaya, melalui sebuah panitia seleksi yang katanya independen, melibatkan wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai institusi penentu akhir, toh yang terpilih bukanlah sosok yang diterima di ruang imajinasi publik. Ada mismatch antara keinginan publik dan sosok-sosok yang akhirnya terpilih.

Untuk seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU), jagoan-jagoan pemilu yang sudah terkenal di publik, seperti Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay, sudah terkapar di babak-babak awal seleksi. Akhirnya, tujuh yang terpilih adalah sosok-sosok yang belum terlalu dikenal publik. Saking tidak terkenalnya, seperti pernah disampaikan pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Denny Idrayana, dalam suatu diskusi di Jakarta November lalu, ada sosok terpilih yang namanya bahkan tidak ditemukan dengan cara mencarinya di search google.

Terkenal dan kapasitas tentu tidak mesti sebangun. Banyak orang yang terkenal, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk pekerjaan tertentu. Namun, nama sangat terkait dengan track record. Untuk menjadi petinggi di komisi independen yang mahapenting seperti KPU, track record menjadi penting. Karena dengan track record itulah seseorang kemudian bisa diukur kapasitasnya dalam bidang tertentu. Dan biasanya, makin jelas track record seseorang dalam bidang tertentu makin orang tersebut dikenal untuk bidang tersebut. Singkatnya, anggota KPU haruslah orang-orang yang jelas dan hebat track record-nya di pemilu. Sayang, tujuh namanya yang terpilih belum memenuhi kriteria tersebut, meski harus diakui beberapa di antara mereka memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu.

Institusi Bermasalah

Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), isunya bukan tidak terpilihnya ‘sang jagoan’, melainkan masuknya orang-orang dari institusi bermasalah. Raison d’etre muncullah lembaga KPK adalah karena kegagalan kejaksaan dan kepolisian sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi. Para penggiat antikorupsi lantas merasa aneh ketika panitia seleksi kemudian meloloskan jaksa atau polisi untuk lembaga ini. Logikanya sederhana, bagaimana mungkin lembaga yang muncul sebagai antitesis kejaksaan dan kepolisian ini diisi sosok-sosok jaksa dan polisi. Bahkan sang jaksa akhirnya terpilih sebagai sang ketua.

Terplihnya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK seperti kembali memunculkan perumpaan ”lantai kotor dibersihkan dengan sapu kotor” atau ”piring kotor dicuci dengan air kotor” pula. Pada titik ini, bisa dipahami kegelisahan rekan Ridaya yang menginginkan agar rekrutmen pejabat komisi itu tidak dilakukan lembaga politik (DPR), tetapi oleh lembaga hukum (MK).

Saya hanya menjawab singkat terhadap pesan singkat rekan Ridaya itu. ”Kalau diserahkan ke MK, bukan lembaga pengadilan namanya.” Pengadilan sejatinya memang tidak ikut-ikutan dalam proses pengisian pejabat-pejabat publik, termasuk pimpinan komisi-komisi independen. Lucu dan aneh bila lembaga pengadilan yang memutuskan pemilihan terhadap pejabat-pejabat publik, yang biasanya diangkat karena proses politik.

Namun, kelucuan dan keanehan tersebut sebenarnya telah terjadi ketika undang-undang menentukan bahwa DPR-lah yang melakukan pemilihan terhadap beberapa pejabat publik. Celakanya, dalam era reformasi saat ini, makin banyak saja pejabat publik ditentukan oleh DPR. Mulai dari KPU hingga KPK, mulai dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Bahkan, hakim-hakim agung pun dipilih oleh DPR dari calon-calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial (KY).

Lalu, apanya yang salah? DPR sejatinya adalah lembaga pembentuk dan pengawas pelaksanaan undang-undang. Pelaksana undang-undang adalah eksekutif (presiden). Bila ada undang-undang tentang pemberantasaan korupsi, tentu presiden yang harus menjalankannya, sementara DPR akan mengawasi pelaksanaannya. Bagaimana mungkin agenda pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan dengan baik oleh presiden jika pimpinan lembaga tersebut dipilih oleh DPR. Padahal, pemberantasan korupsi adalah jualan utama Susilo Bambang Yudhoyono ketika kampanye pemilihan presiden. Untuk hal tersebut, bahkan SBY menjanjikan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi.

Bila terjadi kegagalan pemberantasan korupsi, presiden akan dengan mudah menyatakan tidak bertanggung jawab. Sebab, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden tidak memilih para pimpinan KPK. Tugas presiden hanya sebantas menentukan penitia seleksi. Peran yang paling dominan dalam pemilihan pimpinan KPK terletak di panitia seleksi bentukan presiden dan DPR. Presiden dalam hal ini hanya menjadi tukang post antara panitia seleksi dan DPR.

Bila terjadi kegagalan pemberantasan korupsi, publik akan mudah menuding DPR. Tetapi, DPR yang mana? Bukankah lembaga DPR berisi wakil dari banyak partai dengan seribu kepentingan. Di masa depan, pemilihan pimpinan komisi independen semacam KPK harus diserahkan pada presiden (dengan atau tanpa panitia seleksi). Tugas DPR hanyalah memberikan persetujuan terhadap calon-calon yang diajukan, bukan memilihnya. Cara pemilihan panglima TNI saya nilai paling benar, yaitu presiden mengajukan satu nama dan DPR memberikan persetujuan atau tidak persetujuan (sekali lagi bukan memilih).

Kewenangan DPR untuk memilih pimpinan KPK makin tidak absah bila menyimak hasil survei terakhir Transparansi Internasional Indonesia (TII). TII kembali menempatkan kepolisian, pengadilan, parlemen, dan partai politik sebagai pesohor-pesohor sarang koruptor di negeri ini. Maka paradoks pemberantasan korupsi kembali muncul: pimpinan lembaga pemberantasan korupsi dipilih oleh institusi paling korup. Dan institusi tersebut memilih Ketua KPK dari institusi yang juga dinilai bermasalah.

Langit Masih Mendung

Nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaan yang paling menggoda adalah, bagaimana nasib KPK di bawah nakhoda sang jaksa? Saya pribadi, terus terang, sangat pesimistis KPK terhindar dari politisasi pemberantasan korupsi. Aroma politisasi tersebut sebenarnya sudah terasa pada KPK periode pertama, yang kebetulan dipimpin oleh seorang mantan polisi.

Survei membuktikan bahwa kepolisian dan lembaga hukum lainnya adalah institusi paling korup di negeri ini. Tetapi, apa yang dilakukan KPK periode lalu. Mereka juga bekerja dengan paradoks. Meski yang terkorup adalah kepolisian, tak satu pun kasus yang melibatkan polisi yang ditangani KPK. KPK periode lalu terlalu sibuk mengejar penguasa-penguasa lokal yang mulai melemah beking politiknya, atau tidak lagi punya beking di tingkat pusat, mulai dari Abdullah Puteh di Tanah Rencong, Aceh, hingga Syaukani dari daerah kaya minyak, Kutai Kertanegara.

Para penggiat korupsi biasanya selalu mengambil Hongkong sebagai success story bagi lembaga semacam KPK. Menyadari bahwa maraknya korupsi di Hongkong karena tidak jalannya kepolisian dan kejaksaan, komisi di Hongkong melakukan strategi jitu untuk membersihkan kepolisian dan kejaksaan terlebih dulu. Teorinya sederhana, bila polisi dan jaksa bersih bisa diharapkan agenda pemberantasan korupsi bisa digerakkan dari dua lembaga ini. Jika sebaliknya, sebaliknya pulalah yang terjadi.

Di Indonesia, KPK adalah lembaga yang temporer. Bila kejaksaan dan kepolisian sudah berjalan baik, tentu tidak diperlukan lagi KPK. Masalahnya, bernyalikah KPK baru di bawah Antasari Azhar untuk membersihkan sapu-sapu kotor yang berada di kepolisian dan kejaksaan? Saya meragukannya. Tampaknya langit (masih) mendung bagi pemberantasan korupsi. (Mudah-mudahan saya dan banyak kalangan yang mulai pesimistis keliru). ***

Jakarta, 9 Maret 2008

No comments: