17 March 2009

Memangkas Mahkamah Konstitusi

Published in Media Indonesia 17 April 2004


Oleh Refly Harun

Asisten Hakim Konstitusi;

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


TIDAK salah bila Komisi Konstitusi (KK) yang kini bekerja melakukan kajian komprehensif perubahan UUD 1945 dijuluki “Komisi Pemangkas Konstitusi“. Berdasarkan berita di media massa dan draf perubahan konstitusi yang dihasilkan KK, yang diberikan seorang anggota KK kepada saya, terlihat bahwa komisi ini berupaya memangkas apa yang telah dihasilkan MPR melalui perubahan pertama hingga perubahan keempat (1999-2002).

Ada tiga isu pemangkasan yang mencuat. Yaitu, pertama, pemangkasan fungsi MPR, dari sebuah lembaga dengan perangkat kepemimpinan yang permanen menjadi sekadar joint session atau forum pertemuan DPR dan DPD; kedua, pemangkasan pasal-pasal hak asasi manusia (HAM) yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945; ketiga, pemangkasan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam tulisan ini saya secara khusus akan membahas pemangkasan fungsi MK.

Fungsi MK yang hendak dipangkas adalah (1) memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa atau perselisihan hasil pemilu. MK nantinya hanya diharapkan berkonsentrasi pada fungsi melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar (judicial review), selain memberikan pendapat hukum atas dugaan pelanggaran undang-undang dasar oleh presiden/wakil presiden yang belum tentu digunakan sekali dalam lima tahun. Alasan KK, MK harus dikembalikan kepada fungsi aslinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution). Dalam hal ini KK melihat fungsi menjaga konstitusi itu identik dengan wewenang melakukan pengujian undang-undang.

Ketika pemangkasan fungsi MK ini saya konfirmasikan kepada Ketua MK Prof Dr Jimly Asshiddiqie, yang bersangkutan dingin saja menanggapi. “Fungsi MK adalah menjaga konstitusi. Seperti apa konstitusinya, ya tergantung Komisi Konstitusi (bila nanti rumusannya disetujui MPR hasil Pemilu 2004). Mau dipangkas wewenang MK, ya silakan saja,“ begitu tanggapan Jimly.

Kendati Ketua MK sepertinya tidak ingin berargumentasi terhadap rencana pemangkasan fungsi MK oleh KK, ada beberapa hal yang ingin saya persoalkan dalam tulisan ini. Pertama-tama, perlu diketahui bahwa MK lahir dari setting sejarah perseteruan antara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan DPR dalam kurun Januari-Juli 2001. Ujung dari perseteruan itu adalah terjungkalnya Gus Dur dari kursi kekuasaan. Hal ini segera memunculkan problematika ketatanegaraan, begitu mudahnya seorang presiden yang terpilih melalui mekanisme konstitusional dan demokratis dijatuhkan karena mayoritas DPR sudah tidak suka lagi dengannya.

Itulah sebabnya mucul gagasan untuk membuat mekanisme pemakzulan (impeachment) presiden yang lebih rigid, dengan melibatkan lembaga hukum (Mahkamah Konstitusi). MK-lah yang nanti akan menilai apakah suatu upaya pemakzulan presiden memiliki landasan yuridis atau tidak. Tidak bisa lagi kehendak subyektif mayoritas parlemen mendapatkan ruang begitu saja dalam penjatuhan seorang presiden. Mekanisme baru itu kemudian tertuang dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada 9 November 2001, tiga bulan setelah Gus Dur jatuh.

Dengan demikian, raison d’etre lahirnya MK adalah untuk menjaga kestabilan sistem pemerintahan, bukan untuk menjaga konstitusi. Walaupun setting sejarah ini ‘menggelikan’ karena antitesis terhadap kelahiran MK di negara lain yang umumnya untuk menjaga dan menegakkan konstitusi, begitulah sejarah berbicara. Karenanya melokalisasi peran MK sekadar sebagai penjaga konstitusi (dalam arti sempit hanya melakukan pengujian undang-undang) adalah langkah ahistoris.

Dalam kadar untuk menjaga kestabilan sistem pemerintahan itulah MK diberikan tiga fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran parpol, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi memutus sengketa antarlembaga negara juga terkait dengan perubahan paradigma ketatanegaraan yang tertampung dalam perubahan UUD 1945. Salah satu paradigma yang terpenting adalah tidak adanya lagi lembaga tertinggi (the supreme body) semacam MPR.

Sebelum perubahan UUD 1945, MPR adalah lembang tertinggi negara yang mengatasi lembaga-lembaga negara lainnya (DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA yang kemudian dihapuskan). Kekuasaan atau kewenangan kelima lembaga negara ini mengalir dari MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itulah MPR kerap dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Dalam era Orde Baru sering makna ini menjadi distortif karena rekrutmen anggota MPR berada di bawah kontrol ketat Presiden yang secara teoretis berada di bawah MPR.

Dalam aras konflik antarlembaga negara yang mungkin timbul, MPR memainkan peran yang strategis sebagai penyelesai atau penyelaras konflik yang mungkin timbul karena penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara yang ada. Secara teoretis, MPR-lah yang akan menyelesaikan konflik antarlembaga negara karena kedudukannya sebagai the supreme body –walaupun faktanya konflik itu tidak pernah muncul karena selalu ditekan di bawah permukaan oleh Presiden Soeharto selama era Orde Baru.

Pada era perubahan UUD 1945 yang mendagradasi kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, timbul persoalan krusial seandainya terjadi konflik antarlembaga negara. Tanpa adanya lembaga supreme lagi, institusi apa yang akan bertindak sebagai wasit bila terjadi konflik antarlembaga negara, yang bukan tidak mungkin memunculkan goncangan ketatanegaraan. ‘Kekosongan’ inilah yang kemudian diberikan kepada MK walapun bukan merupakan lembaga yang supreme. Bila fungsi ini dihapuskan dari MK akan terjadi kekosongan hukum. MA tidak bisa begitu saja diberikan wewenang untuk mengadili konflik antarlembaga negara, karena hal ini terkait dengan aturan dalam konstitusi yang justru menjadi inti pelaksanaan fungsi MK.

Dari wacana yang berkembang, sebenarnya justru ada pemikiran untuk melebarkan fungsi MK. Antara lain sebagai penguji peraturan undang-undang di bawah undang-undang. Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, MK nantinya akan menjadi mahkamah sistem hukum yang menjaga keselarasan peraturan yang ada, terutama dikaitkan dengan hierarki perundang-undangan. Sementara MA berfungsi sebagai mahkamah keadilan, yang menjadi muara bagi para pencari keadilan. Dengan tumpukan perkara yang ada, kiranya sulit bagi MA bila dibebani tugas tambahan selain memutus perkara-perkara di pengadilan.

Selain itu ada pula pemikiran untuk memberikan fungsi pengaduan konstitusional (constitutional complaint) kepada MK. Fungsi ini juga terkait dengan penegakan konstitusi, tetapi dalam aras yang lebih konkret dan langsung mengena kepada warga negara. Misalnya, terkait dengan fenomena banyaknya warga negara yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya –mungkin karena tidak didaftar, kehilangan kartu pemilih, atau sebab-sebab lain—warga negara tersebut bisa mengadu kepada MK karena hak konstitusional mereka telah dilanggar. MK-lah yang kemudian akan memutuskan apakah mereka dapat menggunakan hak memilihnya atau tidak.

Di Jerman, constitutitional complaint adalah salah satu fungsi MK yang banyak dimanfaatkan warga negara. Tahun lalu misalnya, ada tuntutan soal larangan penyembelihan hewan karena dinilai bertentangan dengan undang-undang tentang perlindungan hewan. Masyarakat muslim Jerman yang merasa berkeberatan mengajukan hal ini ke MK karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Sebab, ajaran Islam justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum halal dimakan. MK Jerman mengabulkan tuntutan itu dengan alasan kebebasan beragama adalah sebuah soal yang diatur dalam konstitusi, sedangkan larangan penyembelihan hewan hanya berada pada wilayah ketentuan di bawah undang-undang dasar.

Di Indonesia, bila wewenang ini diberikan ke MK, pengaduan konstitusional akan menjadi sarana efektif mengontrol kekuasaan, baik di level negara maupun masyarakat. Misalnya, ada majikan yang melarang pembentukan serikat pekerja, maka para buruh bisa mengajukan pengaduan konstitusional ke MK dengan alasan tindakan itu bertentangan dengan hak konstitusional untuk berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945). Bila MK mengabulkan maka sang majikan harus tunduk.

Pengaduan konstitusional adalah sarana yang lebih konkret untuk melindungi terutama hak-hak asasi warga negara yang dijamin konstitusi. Dengan pengaduan konstitusional, masyarakat memperoleh instrumen untuk mempertahankan haknya dari lindasan kekuasaan. Dengan wewenang memutuskan suatu perkara dalam tingkat pertama dan terakhir (final and binding), MK dapat secara cepat merestorasi pelanggaran HAM yang terjadi. Selama ini, mekanisme berjenjang mulai dari pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) hingga pengadilan tingkat terakhir (MA) telah membuat warga negara terombang-ambing dalam ketidakpastian yang lama. Kalaupun pengadilan memenangkan mereka, sering restorasi tidak bisa dilakukan karena kerugian yang dialami sudah berlipat-lipat, tidak sebanding dengan restorasi yang diperintahkan pengadilan melalui putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Rupanya, alih-alih menambah dan melebarkan wewenang MK, yang dilakukan KK adalah ingin memangkas fungsi lembaga ini. Tindakan ini jelas ahistoris dan tidak sesuai dengan tren perkembangan pelaksanaan kekuasaan MK di dunia. Usulan ini patut ditinjau lagi. ***

No comments: