16 March 2009

Reformasi Konstitusi di Jalan Sesat (The Constitutional Reform in a Wrong Track)

This article was published by the Indonesia media

Republika, 4 May 2002




Refly Harun

Mahasiswa Pascasarjana Hukum UI


Andai Corazon “Cory” Aquino yang memimpin negeri ini ketika terjadi perubahan politik pada tanggal 21 Mei 1998 lalu, Indonesia mungkin sudah memiliki undang-undang dasar baru, menggantikan undang-undang dasar lama (UUD 1945) yang dinilai banyak kalangan tidak cukup demokratis dan memiliki banyak kelemahan. Seperti yang terjadi di Filipina, Cory akan memerintahkan pembentukan suatu Komisi Konstitusi (Constitutional Commission) untuk menyiapkan rancangan konstitusi baru. Rancangan konstitusi hasil Komisi Konstitusi inilah yang kemudian dimintakan pendapat rakyat melalui jalan referendum, apakah menyetujui atau tidak rancanangan itu. Hasilnya, seperti yang terjadi di Filipina, dalam satu tahun Indonesia sudah akan memiliki undang-undang dasar baru.

Sayang, yang memimpin negeri ini bukan Cory, melainkan Baharuddin Jusuf Habibie, yang legitimasinya banyak diperdebatkan. Masa satu tahun lebih pemerintahan Habibie habis untuk menangkis tudingan bahwa ia bukan bagian dari masa lalu (Orde Baru). Agenda reformasi konstitusi yang begitu penting jadi terabaikan. Padahal, seperti diyakini banyak kalangan, reformasi politik tidak mungkin terjadi tanpa reformasi konstitusi. Reformasi konstitulah yang menjadi dasar dari segala aspek reformasi yang lainnya.

Kini kita hampir hampir kehilangan momentum untuk melakukan reformasi konstitusi, yang sering diterjemahkan sebagai pembaharuan konstitusi dari sebuah rezim otoriter ke pemerintahan yang demokratis. Hal ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok yang menginginkan agar proses amandemen UUD 1945 dihentikan. Mereka yang mendukung amandemen pun mulai bersikap setengah hati, bahwa perubahan UUD 1945 tidak boleh mengarah pada terbentuknya konstitusi baru.

Padahal, problem yang diidap UUD 1945 tidak sekadar rumusan-rumusan pasalnya yang dinilai banyak kelemahan, melainkan juga paradigma yang mengiringi terbentuknya konstitusi itu juga dinilai tidak kondusif bagi proses demokrasi. Misalnya, UUD 1945 tidak mengandung ajaran checks and balances system, sesuatu yang sudah menjadi tuntutan konstitusi modern. Ini antara lain ditandai dengan hadirnya lembaga supra (MPR) yang memonopoli segala kekuasaan dalam negara yang sedikit banyak meniru lembaga supra di negara-negara komunis seperti Cina dan bekas Uni Soviet. Kendati dikatakan sebagai penjelmaan rakyat, MPR bukan rakyat itu sendiri. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, MPR (dan MPRS) justru menjadi alat justifikasi bagi rezim otoriter. Hadirnya lembaga seperti MPR justru melemahkan ajaran kedaulatan rakyat yang diakui dalam UUD 1945 dan mengarahkan Indonesia pada oligarki elite, yang ujung-ujungnya menciptakan sosok kuat dan otoriter (Soekarno dan Soeharto).

Akan tetapi, kesalahan tentu tidak pada Habibie seorang. Ini kesalahan kolektif bangsa Indonesia. Ketika rezim otoriter berakhir dengan mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998, energi kekuatan proreformasi tidak diarahkan pada bagaimana menciptakan perubahan substansial yang akan menentukan wajah ketatanegaraan di masa depan (reformasi konstitusi), tetapi bagaimana merenggut kekuasaan politik. Atmosfer politik pun disesaki dengan berdirinya partai-partai politik baru dan perdebatan tentang siapa yang akan menjadi presiden untuk menggantikan Presiden Habibie. Agenda reformasi konstitusi terselip di antara hiruk-pikuk pendirian partai politik dan pencarian sosok presiden itu.

Ketika akhirnya Pemilu 1999 terselenggara, yang tersaji kepada kita adalah partai pemenang pemilu yang antiamandemen UUD 1945 (PDIP). Energi politik lagi-lagi habis untuk meyakinkan partai pemenang pemilu itu bahwa amandemen UUD 1945 memang harus dilakukan. Namun, karena ada partai pemenang pemilu yang ‘alergi’ dengan amandemen, pelaksanaan reformasi konstitusi pun dilakukan secara gradual dan ‘setengah hati’.

Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR yang ditugasi menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945 untuk dimajukan dalam Sidang Umum MPR 1999 langsung menetapkan pembatasan-pembatasan, yaitu (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) tetap dalam sistem pemerintahan presidensial; (3) tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI; dan (4) perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum, yaitu melampirkan naskah perubahan sementara naskah asli tidak diubah. Yang terakhir ini dalam tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat disebut “amandemen”.

Pembatasan-pembatasan itu segera mengkerangkeng agenda reformasi konstitusi Indonesia dari kemungkinan membentuk undang-undang dasar baru yang demokratis. Baju “amandemen” itu terlalu sesak untuk membungkus tuntutan perubahan UUD 1945. Sayangnya, baju yang sesak ini pun tidak bisa dimanfaatkan MPR secara maksimal. Pengalaman tiga kali amandemen, yaitu Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), dan Perubahan Ketiga (2001) justru menghasilkan lubang-lubang amandemen di sana-sini.

Hal itu dikarenakan dalam melakukan perubahan UUD 1945 fraksi-fraksi di MPR terjebak pada kepentingan politik jangka pendek, atau paling jauh mengintip peluang memenangkan pertarungan politik pada Pemilu 2004, terutama pada agenda pemilihan presiden. Itulah sebabnya pasal tentang pemilihan presiden hingga kini belum disepakati secara tuntas. Yang baru disepakati baru pemilihan presiden pada putaran pertama, sedangkan untuk putaran kedua menunggu hingga ST MPR 2002.

Masalahnya, siapa yang menjamin fraksi-fraksi di MPR bakal menyepakati formula pemilihan presiden putaran kedua pada sidang tahunan Agustus nanti. Juga menuntaskan agenda reformasi konstitusi “setengah hati” hingga 2002 seperti ditegaskan dalam Tap MPR Nomor XI/MPR/2001. Tidak ada jaminan. Apalagi bila hal itu dihubungkan dengan gerakan “antiamandemen” yang dimotori politisi PDIP, Amin Aryoso, yang sudah berhasil mengumpulkan sekitar 200 tanda tangan anggota MPR untuk menghadang perubahan UUD 1945 dalam ST MPR 2002.

Komisi Konstitusi, itulah jawaban dari persoalan ini. Meski kita sudah hampir kehilangan momentum untuk melakukan reformasi konstitusi secara total, tidak ada salahnya ide pembentukan Komisi Konstitusi direalisasikan. Untuk itu dalam ST MPR mendatang, MPR harus mengeluarkan putusan tentang pembentukan Komisi Konstitusi.

Komisi Konstitusi harus diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaannya paling tidak selama tiga tahun. Jadi, tidak perlu diberi target hingga sebelum pelaksanaan Pemilu 2004. Komisi Konstitusi harus memformulasikan rancangan konstitusi yang genuine, yang merupakan kehendak mayoritas masyarakat Indonesia. Bukan lagi kehendak elite-elite politik seperti yang selama ini dirumuskan Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR. Ini sudah pasti butuh waktu. Apalagi saat ini kita sudah mulai sulit untuk mencapai konsensus bagi Indonesia masa depan.

Lalu, bagaimana dengan agenda perubahan keempat UUD 1945 yang materinya kini sedang disiapkan oleh PAH I BP MPR? Agenda itu harus diteruskan, apapun hasilnya. Dan sedapat mungkin anggota MPR mencapai kesepakatan agar Pemilu 2004 dapat terlaksana tepat waktu. ***

No comments: