17 March 2009

Pekerjaan Rumah Presiden Keenam

Koran Tempo, 14 Juli 2004

Refly Harun

· Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

Bila tidak ada aral, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan menjadi Presiden RI ke-6 atau ke-4 di era reformasi. Alasan paling rasional, pemilihan presiden putaran pertama telah mengabarkan bahwa perolehan suara partai dalam pemilu legislatif tidak ekuivalen dengan perolehan suara calon presiden yang dijagokan partai bersangkutan.

Meski hanya didukung koalisi partai dengan perolehan 11,41 persen (Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), SBY setidaknya telah meraup lebih dari 33 persen suara. Bahkan SBY mampu menang di Jawa Timur yang seharusnya dimenangkan pasangan Megawati-Hasyim. Jawa Timur, kita tahu, adalah basis PDI Perjuangan dan Nahdlatul Ulama nomor wahid. Ketika PDIP-NU bersatu, Mega-Hasyim bertemu, seharusnya koalisi itu menang di Jawa Timur. Nyatanya, Mega-Hasyim tumbang, SBY yang menang.

Secara teoretis, pada putaran kedua nanti, SBY masih dapat mendulang suara, setidaknya dari pendukung Amien Rais, Hamzah Haz, dan sebagian pendukung Wiranto. Sementara itu, pertambahan suara Mega hanya mungkin dari warga NU yang pada putaran pertama split ke Wiranto. Massa Mega sendiri sudah captive market dan tidak akan membesar pada putaran kedua.

Ada yang menilai bahwa Golkar akan menjadi faktor penentu pada putaran kedua nanti. Ke mana angin Beringin berembus, ke arah itulah kemenangan capres ditentukan. Saya tidak begitu yakin dengan analisis ini. Katakanlah Golkar diiming-imingi kubu Mega dengan beberapa portofolio kementerian. Beberapa elite Golkar mungkin tergiur, terlebih mereka yang berambisi menjadi menteri, tetapi apakah elite-elite Golkar di daerah bisa diajaksertakan. Apa untungnya mereka berkampanye untuk Mega?

Maka, mau tidak mau, suka tidak suka, SBY menjadi presiden kita. Sejak awal saya berpandangan bahwa Indonesia pada pemilihan presiden ini tidak memilih yang terbaik dari yang baik, melainkan yang terbaik dari yang ada, kalau tidak ingin dikatakan yang terbaik dari yang buruk. Rakyat--tidak termasuk saya--telah memilih SBY. Pilihan tersebut bagaimanapun harus dihargai.

Pertanyaan yang segera menyergap adalah bagaimana kita menagih janji kampanye sang pemenang? Bagaimana sang pemenang menjawab agenda-agenda reformasi yang tak kunjung selesai, atau bahkan tak tergarap? Pengalaman tiga presiden terdahulu (Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati) dapat menjadi tolok ukur.

Ketika B.J. Habibie tampil sebagai presiden, kita ragu mantan "murid politik" Presiden Soeharto itu mampu mengawal agenda reformasi, terutama dikaitkan dengan agenda pemberantasan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Kekhawatiran itu terbukti. Habibie memang tidak mampu memberantas KKN yang disimbolkan dengan menyeret mantan presiden Soeharto ke depan sebuah pengadilan korupsi. Tetapi, di luar keberhasilan menolong rupiah dari keterpurukan terus-menerus hingga mampu mencapai Rp 6.700, nilai rupiah tertinggi di era reformasi yang belum bisa disamai oleh Gus Dur dan Megawati, Habibie sangat berjasa dalam mempercepat tumbuhnya iklim demokrasi. Hal ini setidaknya ditandai oleh dua hal, desakralisasi lembaga kepresidenan dan jaminan akan kebebasan pers.

Pada era Abdurrahman Wahid desakralisasi lembaga kepresidenan itu berlanjut dan kebebasan pers juga tetap terpelihara. Keberhasilan Gus Dur yang patut digarisbawahi lagi adalah keberaniannya mendelegitimasi institusi militer, institusi tak tersentuh selama Orde Baru selain lembaga kepresidenan. Penonaktifan Jenderal (Purn.) Wiranto sebagai Menko Polkam tidak sekadar bermakna pemberhentian seorang menteri yang notabene pembantu presiden oleh seorang kepala negara, melainkan juga keberanian sipil atas dominasi militer. Sayangnya, sepertinya halnya Habibie, Gus Dur tidak terlalu serius dengan agenda pemberantasan KKN.

Di era Gus Dur kita menyaksikan revivalisasi kekuatan Orde Baru yang sempat babak-belur di awal-awal reformasi. Kejatuhan Gus Dur dari tampuk kekuasaan tentu disebabkan banyak faktor. Namun, salah satu faktor yang patut dipertimbangkan adalah perlawanan kekuatan Orde Baru yang makin terancam dengan gerakan reformasi. Greg Barton, penulis buku The Authorized Biography Abdurrahman Wahid, secara gamblang mencurigai peranan kekuatan Orde Baru di balik kejatuhan Gus Dur.

Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah menginfiltrasi pers sehingga tercipta kampanye buruk secara terus-menerus terhadap Gus Dur. Faktanya, beberapa pemilik media besar di Indonesia adalah para pengusaha yang besar pada era Orde Baru dan menikmati privilese rezim otoriter itu untuk kegiatan bisnis mereka.

Pada awal berkuasa (Juli 2001), Megawati menjanjikan banyak harapan. Rupiah yang tadinya di atas angka psikologis Rp 10 ribu menguat hingga level Rp 8.000. Tetapi, begitu Mega menyusun kabinet, kekecewaan langsung merebak. Megawati terlihat hanya peduli di bidang pemulihan ekonomi dengan menunjuk tim ekonomi yang dianggap sebagai the dream team. Namun, di bidang penegakan hukum, Mega mulai tampak mau berkompromi. Hal itu ditunjukkan dengan tarik-ulur pengangkatan Jaksa Agung, posisi paling strategis dalam agenda pemberantasan KKN, dan pengadilan bagi pelaku kejahatan HAM masa lalu.

Poin buruk dari pemerintahan Megawati lainnya adalah upaya resakralisasi lembaga kepresidenan. Di tangan Mega, lembaga kepresidenan kembali berjarak. Pers juga mulai mengalami kesulitan mendapatkan akses terhadap orang nomor satu di republik ini. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah revitalisasi peran politik TNI. Proses delegitimasi peran politik TNI pada era Gus Dur tak berlanjut. Megawati acap dinilai terlalu memberi peluang kepada pihak militer untuk kembali berperan dalam politik. Apalagi secara ideologis ada persamaan yang signifikan antara Mega (plus PDIP) dan militer. Mereka, umpamanya, begitu mengagung-agungkan negara kesatuan dan sama sekali tak mentoleransi ide-ide federalis dan kurang begitu suka dengan amendemen UUD 1945.

Prestasi Mega yang patut diberi kredit poin adalah kemampuannya menjaga stabilitas politik, hal yang tak dapat diciptakan baik Gus Dur maupun Habibie. Ini tak lepas dari dua hal, yaitu "perkawinan ideologis" dengan kekuatan militer di satu sisi dan sikap kompromistis terhadap kekuatan-kekuatan Orde Baru di sisi lain, terutama terhadap mereka yang memiliki sumber daya finansial. Karena dua hal itu, pemerintahan Mega tidak "direcoki" seperti halnya Gus Dur. Selain itu, dukungan parlemen (MPR dan DPR) relatif besar.

Namun, karena perkembangan konstelasi politik internasional pascatragedi September yang ditandai dengan paradigma perang terhadap terorisme, credit point menjaga stabilitas itu pun menjadi ternodai. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa pengeboman di Bali yang tidak saja menodai pemerintahan Megawati, melainkan juga Indonesia secara keseluruhan.

Presiden baru nanti--yang sangat mungkin SBY--karenanya harus mampu mengambil poin baik dari ketiga presiden di era reformasi (jaminan kebebasan pers, desakralisasi lembaga kepresidenan, demiliterisasi, stabilitas pertahanan dan keamanan, kestabilan dan pertumbuhan ekonomi, serta demokratisasi). Selain itu, dia juga harus mampu menuntaskan agenda-agenda yang tidak pernah terselesaikan hingga hari ini, yang merupakan poin buruk presiden terdahulu, antara lain pemberantasan KKN dan pengadilan bagi kejahatan HAM masa lalu.

Kita hampir, bahkan sudah putus asa dengan benang kusut korupsi di negeri ini. Mudah-mudahan presiden baru nanti mampu mengurai benang kusut itu, tidak malah menambah daftar gagal presiden yang bernyali memberantas korupsi.***

No comments: