17 March 2009

Tafsir Konstitusi Pengajuan Capres

Published by Koran Tempo, 25 February 2004


Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


Koran Tempo edisi 17 dan 18 Februari secara berturut-turut memuat pendapat pro dan kontra soal waktu pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pro dan kontra dipicu penetapan KPU bahwa pendaftaran capres dilakukan pada 1-7 Mei, atau sesudah pemilu legislatif 5 April 2004. KPU mendasarkan kebijakannya pada UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Pasal 5 ayat (3) UU Pilpres menyatakan bahwa pendaftaran pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR atau perolehan suara sah yang ditentukan oleh undang-undang ini kepada KPU. Dengan demikian UU Pilpres memberikan pesan bahwa pendaftaran capres dilakukan setelah pemilu legislatif.

Masalahnya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sebagian ahli hukum tata negara, termasuk Saldi Isra (“Menuju Presiden Inkonstitusional“) menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum dalam pasal itu adalah pemilu legislatif. Maka berdasarkan asas hukum lex superior derogat lex inferior (hukum yang lebih tinggi tingkatannya mengalahkan hukum di bawahnya), aturan konstitusilah yang dituruti, bukan UU Pilpres. Namun, dalam konteks ini KPU mengikuti aturan dalam UU Pilpres, bukan UUD 1945.

Di sisi lain Partai Perhimpinan Indonesia Baru (PIB) beranggapan bahwa seharusnya pendaftaran capres dilakukan sebelum pemilu berdasarkan pesan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Itulah sebabnya pagi-pagi hari, jauh sebelum pemilu legislatif diketahui hasilnya, PIB telah mendaftarkan Syahrir, sang ketua umum partai, ke KPU sebagai capres (tetapi tanpa disertai pasangan cawapresnya, padahal konstitusi mensyaratkan calon paket).

***

Pro dan kontra atas suatu peraturan (termasuk konstitusi) umumnya dipicu karena adanya penafsiran yang berbeda atas ketentuan tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena seperti yang dicatat oleh Jimly Asshiddiqie (1998) setidaknya terdapat beberapa teori yang dikembangkan oleh para sarjana mengenai penafsiran, yaitu penafsiran letterlijk, gramatikal, historis, sosiologis, sosio-historis, filosofis, teleologis, holistik, dan tematis-sistematis. Penggunaan teori yang berbeda tidak muskil menghasilkan produk tafsir yang berbeda pula.

Penafsiran itu sendiri didefinisikan Prof. Heinrich Scholler dalam Notes on Constitutional Interpretation (2004) sebagai “...a process in which the interpreter starts from literal meaning of the words used in the law and finally to reach to the reality. In this process he has to detect factual elemetns, intentions and purposes and even aims and goals to establish the true meaning of the constituional provision and the law in the question. (Tafsir adalah suatu proses di mana penafsir memulai [penafsiran] dari makna harfiah suatu undang-undang hingga mencapai suatu realitas tertentu. Dalam proses ini penafsir harus mendeteksi elemen, maksud, dan tujuan, bahkan cita-cita dan sasaran, untuk menemukan makna hakiki dari suatu ketentuan konstitusi atau undang-undang yang dipersoalkan).

Untuk menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, terutama mengenai bagian tentang pemilu yang mana yang dimaksud pasal tersebut, setidaknya harus dibaca pula ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPD.

Membaca Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) maka setidaknya dapat ditemukan tiga kaidah pemilihan presiden/wakil presiden, yaitu (1) capres/cawapres diusulkan parpol atau gabungan parpol dalam satu paket; (2) paket capres/cawapres diusulkan sebelum pemilu; (3) pemilu yang dimaksud adalah pemilu yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.

Khusus menyinggung makna Pasal 22E, Prof. Harun Alrasid, berdasarkan verbal meaning atau literal meaning bunyi pasal ini, pernah menyatakan bahwa hanya dikenal satu jenis pemilu dalam UUD 1945, yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dilakukan secara serentak. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali“. Jadi, pemilu tidak dilakukan dua kali atau tiga kali dalam lima tahun. Dengan demikian, tidak dikenal pemilu legislatif dan eksekutif yang dilakukan secara terpisah. Secara telanjang dapat pula dikatakan bahwa capres harus diajukan sebelum pemilu yang dilaksanakan secara serempak itu.

Akan tetapi ada inkonsistensi dalam UUD 1945 karena konstitusi dengan empat kali amendemen ini mengenal pemilu presiden khusus untuk pemilu putaran kedua (second round). Artinya, ada pemilu selain yang serempak tadi, yaitu pemilu putaran kedua presiden (yang khusus memilih presiden). Namun, ketentuan ini bisa juga ditafsirkan bahwa UUD 1945 mengenal dua pemilu, yaitu (1) pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD dan (2) pemilu putaran kedua khusus untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Bukan pemilu khusus legislatif dan pemilu khusus presiden/wakil presiden.

***

Persoalannya, UU Pemilu dan UU Pilpres telah secara berani mendefinisikan pemilu secara berbeda. UU Pemilu hanya menyebut pemilu DPR, DPD, dan DPRD (dengan menghilangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden), sedangkan UU Pilpres hanya menyebut pemilu presiden saja. Penyimpangan ketentuan ini tidak lain adalah upaya politisasi legislator di DPR dalam merumuskan UU Pemilu dan UU Pilpres. Fraksi-fraksi besar di DPR didorong hasrat untuk membatasi capres/cawapres dengan menjadikan pemilu (hanya memilih) anggota legislatif yang sebenarnya tidak dikenal dalam UUD 1945 sebagai preliminary election bagi pemilihan presiden. Itulah sebabnya kemudian dikenal aturan bahwa partai atau gabungan partai yang dapat mencalonkan pasangan capres/cawapres adalah yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR. (Khusus untuk Pemilu 2004 syarat pengajuan menjadi 3% jumlah kursi atau 5% perolehan suara sah secara nasional).

Ketentuan pasal ini secara jelas menabrak rambu-rambu konstitusi yang digariskan Pasal 6A ayat (2) bahwa pasangan capres/cawapres diusulkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa partai atau gabungan partai dengan perolehan suara tertentu saja yang dapat mencalonkan presiden. Asal ia partai yang ikut pemilu maka ia berhak mengajukan capres.

So, apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan kemelut soal interpretasi konstitusi ini? Ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), itulah saran saya. Dalam konstruksi ketatanegaraan pascaamendemen UUD 1945, MK adalah the sole interpreter of constitution selain sebagai the guardian of constitution. Pendapat para ahli, apalagi sekadar para penafsir, meskipun banyak diikuti tidak bisa serta merta mengikat secara hukum. Hanya MK-lah yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk menyatakan apakah suatu ketentuan undang-undang perlu ditaati atau tidak berdasarkan pada kadar ketaatannya terhadap undang-undang dasar.

Dua ketentuan yang harus dimintakan review adalah (1) ketentuan yang menyatakan bahwa pengajuan calon dilakukan setelah pemilu legislatif; (2) hanya partai yang memperoleh suara atau kursi tertentu saja yang bisa mengajukan capres/cawapres. Dan yang harus mengajukan permohonan judicial review adalah parpol peserta pemilu yang berpotensi dirugikan karena ketentuan UU Pilpres, bukan pihak KPU.

Seandainya soal ini memang diajukan, dalam sisa waktu yang dekat ini MK harus memberikan prioritas penyelesaian kasus sebelum Pemilu 5 April. Hal ini tidak boleh diartikan mengintervensi kerja MK, melainkan ada suatu kebutuhan objektif agar transisi demokrasi ini berlangsung lancar sesuai dengan rel konstitusi. Tidak main tabrak sana tabrak sini sesuai deal-deal politik yang terjadi di antara partai-partai besar di DPR yang kemudian berwujud suatu produk undang-undang yang ’cacat hukum’.

Seandainya saya yang menjadi hakim konstitusi akan saya kembalikan rel itu, dan saya buang jejak dea-deal itu.***

No comments: