16 March 2009

Masa Depan Konstitusi Kita (The Future of Our Constitution)

Published by Suara Pembaruan, 27 December 2001



Oleh Refly Harun

Mahasiswa Pascasarjana UI Jurusan Hukum Tata Negara


Harapan masyarakat akan adanya komisi konstitusi yang independen pupus sudah. Sidang Tahun MPR 2001 yang berlangsung pada tanggal 3-9 November tidak merekomendasikan pembentukan komisi konstitusi. Mereka, para anggota MPR, merasa yakin akan kemampuannya sehingga berani menunda proses pembahasan amandemen UUD 1945 hingga ST MPR 2002. Mereka memandang pembentukan komisi konstitusi tidak diperlukan lagi. Padahal, perubahan konstitusi yang dihasilkan MPR terlihat carut marut, baik dari segi teks maupun isi. Tanpa sebuah komisi konstitusi yang menyusun kembali bahan-bahan yang terlihat carut marut itu, konstitusi kita 'terancam' menjadi konstitusi yang buruk.

Sejak awal para anggota MPR sebenarnya telah keliru dalam menjawab problem reformasi konstitusi kita. Tuntutan amandemen UUD 1945 yang disuarakan masyarakat dijawab secara 'lugu' oleh anggota MPR dengan mengubah pasal-pasal dalam UUD 1945 secara parsial, dan mereka menamakannya dengan istilah amandemen. Padahal, bahasa amandemen yang dituntut masyarakat sebenarnya tidak lain dari perombakan drastis konstitusi, dari konstitusi yang tidak demokratis (UUD 1945) kepada konstitusi demokratis. Itu artinya konstitusi baru.

The founding fathers sendiri tidak berpretensi bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi tetap. Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno, saat ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan UUD 1945 bersifat sementara. Undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini, kata Bung Karno, adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita sudah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Ayat (2) Aturan Tambahan UUD 1945 kemudian secara tegas menyatakan bahwa enam setelah MPR terbentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, badan yang bernama MPR itu tidak kunjung terbentuk. Penyebabnya, di bawah sistem UUD 1945 sebelum Orde Baru, tidak pernah ada pemilu yang menjadi salah satu sendi untuk mengisi keanggota MPR. Pemilu 1955, yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah Republik ini, terlaksana di bawah sistem UUDS 1950. Pada saat Indonesia kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, yang terbentuk baru MPRS, bukan MPR. Dan ketika MPR akhirnya terbentuk setelah terlaksananya Pemilu 1971, pemilu pertama pada era Orde Baru, pemerintah Orde Baru sudah diselimuti mitos bahwa UUD 1945 sakral dan karenanya tak dapat diubah, apalagi diganti.

Ketika kesempatan mengubah bahkan mengganti UUD 1945 terbuka lewat pintu Reformasi Mei 1998, para anggota MPR malah mengambil jalan amandemen. Jalan itu terbukti sekadar menambal lubang konstitusi yang terlanjur menganga di sana-sini. Akibatnya, setelah melalui amandemen ketiga, naskah asli terkepung oleh naskah hasil amandemen. Dari segi performa, sudah tentu ini tidak baik.

Dari segi teks, beberapa pasal dirumuskan secara tidak tepat, misalnya Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah. Anggota MPR sepertinya tidak bisa membedakan antara kata "pemerintah" yang berarti organ dan kata "pemerintahan" yang berarti fungsi. Ini misalnya bisa dilihat dari rumusan Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua yang bunyi lengkapnya sebagai berikut: "Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat." Bagaimana mungkin fungsi (pemerintahan) menjalankan fungsi pula (urusan pemerintahan). Seharusnya rumusan yang tepat adalah "Pemerintah daerah menjalankan…dst." Setidaknya ada empat ayat dalam Pasal 18 yang memakai penggunaan kata "pemerintahan" yang tidak tepat.

Ada pula pasal yang tidak jelas rumusannya, misalnya rumusan Pasal 17 ayat (3) Perubahan Pertama yang berbunyi, "Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan." Apakah ada menteri yang tidak membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan? Tentunya tidak ada. Oleh karena itu tidak perlu ditegaskan bahwa menteri membidangi urusan tertentu. Selain itu, apa yang dimaksud dengan "urusan tertentu". Dari sudut isi, rumusan pasal ini tidak mengandung materi apa-apa. Dari segi legal drafting atau constitutional drafting sudah pasti di bawah standar.

Pada saat rumusan ayat itu diusulkan kebetulan penulis mengikuti perdebatan di Panitia Ad Hoc II (PAH II) Badan Pekerja MPR ---panitia yang menyiapkan perubahan pertama UUD 1945 untuk dimajukan dalam Sidang Umum MPR 1999. Semula Pasal 17 ayat (3) berbunyi, "Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan." Kemudian beberapa anggota PAH II mempersoalkan bahwa ada menteri yang tidak memimpin departemen pemerintahan, misalnya menteri koordinator dan menteri negara. Seorang anggota PAH I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) kemudian mengusulkan rumusan pasal di atas dan diamini anggota lainnya. Maka, jadilah rumusan pasal "ajaib" itu.


'Kelemahan' UUD 1945 yang sudah mengalami perubahan ketiga ini tidak berhenti dari segi teks atau rumusan saja, melainkan juga dari segi materi muatan atau substansi, terutama yang menyangkut sistem ketatanegaraan seperti apakah yang hendak dirumuskan. Sampai perubahan ketiga, fraksi-fraksi di MPR sepakat akan dua hal penting, pemilihan presiden langsung (baru disepakati untuk first round) dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Kesepakatan tentang pemilihan presiden langsung membawa konsekuensi pada soal pertanggungjawaban presiden. Karena dipilih langsung oleh rakyat, sudah sepatutnya presiden pun bertanggung jawab kepada rakyat, tidak lagi kepada MPR. MPR pun tidak perlu lagi membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk dijalankan oleh presiden, karena lazimnya presiden sendiri yang menyampaikan garis-garis besar kebijakannya kepada rakyat pada saat kampanye pemilihan presiden. Dengan demikian, fungsi MPR makin terbatas, yaitu menetapkan (termasuk mengubah atau mengganti) undang-undang dasar dan melaksanakan sidang pemberhentian (impeachment) terhadap presiden bila dimintakan DPR. Kedua fungsi ini sudah barang tentu tidak setiap waktu bisa dilaksanakan. Pertanyaannya, untuk apa lagi badan yang bernama MPR diadakan?

Dikaitkan dengan terbentuknya DPD, Indonesia sesungguhnya sudah memasuki sistem perwakilan bikameral (dua kamar), terlepas dari apakah yang dipraktekkan itu strong ataukah soft bicameralism. Dua kamar itu adalah DPR dan DPD. MPR dalam sistem ini seharusnya sekadar forum pertemuan (joint session) DPR dan DPD. MPR tidak lagi berbentuk lembaga, apalagi lembaga tertinggi negara (the highest state body). Analoginya seperti Kongres AS, yang merupakan forum pertemuan The House of Representative dan Senate. Walaupun Konstitusi AS menyatakan Kongres adalah pemegang kekuasaan legislatif, dalam kenyataannya ia tidak berbentuk lembaga. Kongres sekadar forum bagi The House dan Senate. Jika the House dan Senate bertemu dalam satu forum, Kongres ada. Jika kedua badan itu tidak bertemu, tidak ada Kongres.

'Pakem' ketatanegaraan seperti itu tidak laku bagi para anggota MPR. Jangankan meleburkan diri, mereka bahkan kian memperkuat MPR dengan fungsi impeachment yang sebelumnya hanya terselip secara samar-samar di Penjelasan Umum UUD 1945. Anggota MPR dari unsur Utusan Golongan ngotot agar eksistensi mereka dipertahankan. Dengan demikian, MPR akan terdiri dari DPR, DPD, dan Utusan Golongan. Dahlan Thaib, pakar hukum tatanegara dari Universitas Islam Indonesia, dalam sebuah seminar tentang utusan golongan di Jakarta, 22 Oktober 2001, lantas menyebut sistem perwakilan Indonesia masa depan dengan trikameral (tiga kamar), yaitu MPR, DPR, dan DPD. Di antara tiga kamar itu, MPR tetap menjadi lembaga tertinggi negara.

Konstruksi yang demikian tidak lazim dipraktekkan di negara-negara demokrasi di dunia. Negara-negara demokrasi Barat, umpamanya, hanya mengenal sistem lembaga perwakilan satu kamar (unikameral) atau dua kamar (bikameral). Tidak ada lembaga negara tertinggi. Hanya negara-negara komunis, seperti bekas Uni Soviet, saja yang memiliki lembaga tertinggi negara. Dan biasanya lembaga seperti itu mereduksi kedaulatan rakyat dengan menciptakan kekuasaan yang oligarkis. Hal ini sebenarnya terjadi pula pada MPR yang sekarang. Beberapa keputusan MPR kerap tidak matching dengan aspirasi rakyat, sehingga rakyat pun menjalankan kegiatan ekstraparlemen untuk medesakkan keinginan mereka. Hal itu terjadi karena MPR, walau dikatakan sebagai penjelmaan rakyat, memang bukan rakyat itu sendiri.


Dengan konstitusi yang sudah terlanjut 'babak belur' di sana-sini itu, apa yang harus dilakukan? Tidak bisa tidak, komisi konstitusi harus dibentuk. Namun, komisi konstitusi yang penulis pikirkan mungkin tidak sama dengan usulan Koalisi Organisasi Pemerintahan untuk Konstitusi Baru (Koalisi Ornop), yang seolah-olah menganulir semua hasil kerja MPR selama ini ---hal yang membuat anggota-anggota MPR bergeming dari tuntutan pembentukan komisi konstitusi. Bagaimanapun dalam politik harus ada take and give.

Hasil-hasil yang telah dicapai MPR selama ini, sepanjang sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang hendak dibangun, harus menjadi acuan bagi komisi konstitusi. Misalnya, soal pembentukan DPD, pemilihan presiden langsung, pasal-pasal tentang impeachment, pasal tentang mahkamah konstitusi dan komisi yudisial, pasal-pasal tentang HAM, dan masih banyak lagi. Demikian pula dengan kesepakatan-kesepakatan pokok di antara fraksi-fraksi MPR, seperti tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, sistem presidensial, dan negara kesatuan, itu pun harus menjadi acuan komisi konstitusi.

Komisi konstitusi nantinya harus lebih banyak terdiri dari para ahli, terutama ahli di bidang konstitusi. Jadi, tidak sekadar representasi masyarakat dengan kompetensi yang tidak jelas. Kalau itu, sama artinya memindahkan perdebatan yang tak jelas 'juntrungannya' dari MPR ke komisi konstitusi. Yang perlu dicatat di sini, komisi konstitusi itu dituntut menghasilkan draf konstitusi yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, selain bisa diterima oleh rakyat.

Akan tetapi komisi konstitusi tidak boleh kedap dari tuntutan masyarakat akan materi yang harus dimasukkan ke dalam konstitusi, sepanjang hal itu tidak menabrak kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibangun di MPR, apalagi yang menyangkut dasar negara ---kegagalan Konstituante (1956-1959), kalau mau dikatakan begitu, antara lain karena terlalu lama berkutat dengan debat tentang dasar negara. Dengan begitu, selain sebagai drafter, komisi konstitusi juga harus bertindak sebagai fasilitator.

Lalu, kapan komisi konstitusi itu dibentuk? Sayang, kita memang telah kehilangan momentum untuk membentuk komisi itu karena ST MPR 2001 sudah berlalu. Tetapi, mengingat pentingnya komisi ini, tidak ada salahnya MPR kembali mempertimbangkan pembentukannya, setidaknya di ST MPR 2002. Untuk keperluan Pemilu 2004 ---agenda politik yang kerap dihubung-hubungkan dengan sempitnya waktu untuk membentuk konstitusi baru---cukuplah berpijak pada kesepakatan yang sejauh ini sudah dicapai. Persiapan Pemilu 2004 tidak boleh menghalangi keinginan kita membentuk konstitusi baru yang tidak 'babak belur'.***

No comments: