17 March 2009

MK Gagal Mengawal Demokrasi

Published by Kompas, 30 March 2005


Oleh Refly Harun

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul


Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diadopi melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 (2001) tidak sekadar sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) atau penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution). Lebih jauh dari itu, MK juga dibebani kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia (the protection of human rigths) dan mengawal demokrasi (the guardian of democracy) dalam kerangka negara hukum (the rule of law). Fungsi seperti itulah sebenarnya yang dibebankan kepada lembaga MK di mana pun di dunia ini.

Ujian untuk mengawal demokrasi tersebut telah didapatkan MK pada saat pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), khusus mengenai beberapa materi mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung). Sayangnya, saya nilai, MK gagal dalam ujian pertama tersebut.

Pada pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum, Selasa (20/3) lalu, MK memang mengabulkan sebagian materi yang dimintakan dua kelompok pemohon, kelompok pemantau pemilu (Cetro dkk) dan kelompok komisi pemilihan umum daerah (KPUD). MK telah memutuskan bahwa dalam menyelenggarakan pilkada langsung, KPUD tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan langsung kepada rakyat. KPUD hanya melaporkan pelaksanaan pilkada kepada DPRD. Hal ini untuk menjamin independensi KPUD dalam menyelenggarakan pilkada.

Dalam hal ini MK telah memutus belitan rantai parlemen lokal terhadap KPUD sebagai penyelenggara pilkada akibat desain UU Pemda. Karena putusan MK, KPUD menjadi bebas dan independen terhadap kekuatan-kekuatan politik lokal yang terjelma dalam DPRD. Sayangnya, lembaga penjaga konstitusi itu tidak menyambungkan kembali pertalian antara KPUD dan KPU yang dipaksa putus oleh parlemen pusat yang mendesain UU Pemda. MK juga tidak bernyali memutuskan ancaman cengkeraman pemerintah pusat dalam proses pilkada dengan membunuh hak eksklusif pemerintah nasional sebagai regulator pilkada.

Argumentasi MK mengenai independensi penyelenggara pilkada terbelah. Di satu sisi menyatakan bahwa KPUD harus dijamin independensinya dari pengaruh DPRD. Namun, di sisi lain menyatakan bahwa peran regulasi pemerintah pusat dalam pilkada tidak bertentangan dengan konstitusi. Padahal, peran regulasi tersebut dinilai banyak pihak akan berpengaruh besar terhadap independensi penyelenggaraan pilkada. Pengaruh itu misalnya akan dirasakan ketika pos-pos anggaran pilkada dalam APBN dikontrol pemerintah dan KPUD sebagai penyelenggara pilkada harus mau berkompromi bila menginginkan dana itu digelontorkan ke bawah. Putusan MK jadinya terasa seperti “bola tanggung” dalam mengawal demokrasi. Tidak heran bila Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyatakan kekecewaannya terhadap putusan tersebut dan Smita Notosusanto, salah seorang pemohon, menganggap putusan tersebut ‘banci’ (Media Indonesia, 23/3/2005).

Rezim Pemilu

Pemohon telah menyodorkan satu soal krusial kepada MK: apakah pilkada termasuk ke dalam rezim pemilu atau tidak. Jawaban atas pertanyaan ini paling tidak akan berpengaruh pada tiga hal, (1) penyelenggara pilkada, (2) independensi penyelenggaraan pilkada, dan (3) siapa yang berhak menjadi pengadil dalam sengketa hasil pilkada.

Pemohon (pemantau pemilu dan KPUD) tegas menyebut pilkada masuk ke dalam rezim pemilu. Karena itu, terhadap tiga hal tersebut di atas, skenarionya akan menjadi sebagai berikut. Pertama, penyelenggara pilkada adalah KPU yang bersifat nasional tetap dan mandiri. KPUD (KPU provinsi dan KPU kota/kabupaten) adalah bagian dari KPU yang diberi mandat melaksanakan pilkada. Kedua, penyelenggaraan pilkada harus dijauhkan dari campur tangan pihak-pihak lain di luar penyelenggara pemilu yang independen. Pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah lokal) dan legislatif (baik legislatif pusat maupun legislatif daerah) tidak boleh campur tangan dalam urusan penyelenggaraan pilkada. Mereka cukup jadi pemain, tetapi tidak boleh menjadi wasit. Ketiga, sesuai dengan amanat konstisi maka sengketa hasil pemilu menjadi kewenangan MK, bukan Mahkamah Agung (MA).

Ada banyak alasan untuk menyebut bahwa pilkada adalah pemilu. Salah satunya adalah melihat kaitan sistematis antara pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara “demokratis”, sedangkan Pasal 22E ayat (2) menyatakan bahwa pemilu dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perlu dicatat pula pesan Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).

Makna dipilih secara “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) memberikan alternatif bagi pembuat undang-undang untuk memilih cara memilih kepala daerah. Ketika pembuat undang-undang memilih cara pemilihan langsung, apalagi kemudian mengadopsi asas-asas pemilu luber dan jurdil, adalah sangat beralasan untuk mengaitkan pilkada dengan pemilu. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan secara lebih ekstensif menyangkut pula pilkada.

Dengan paradigma yang jelas bahwa pilkada adalah bagian dari pemilu, maka instrumen-instrumen lanjutan pemilu harus pula dipakai dalam pilkada. Wewenang untuk menyelenggarakan pilkada tidak pada KPUD secara sendiri-sendiri, melainkan diletakkan di pundak KPU secara nasional. Kewenangan regulasi membuat aturan lanjut pilkada tidak diberikan kepada pemerintah, tetapi harus oleh KPU sendiri seperti halnya praktek yang terjadi dalam Pemilu 2004. Terakhir, MK sendirilah yang harus menyelesaikan sengketa pemilu, tidak boleh diserahkan kepada MA. .

Jalan pikiran yang demikian itu, sayangnya, tidak diterima oleh MK, hanya terjelma dalam pendapat minoritas Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang akhirnya mengajukan dissenting opinion terhadap putusan. MK hanya menafsirkan pilkada ke dalam pengertian pemilu hanya dalam arti materil, tetapi tidak dalam arti formil (sebagai bagian rezim pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945). Bagi MK, bisa saja pilkada dimasukkan ke dalam rezim pemilu dengan konsekuensi penyelenggara dan pembuat regulasi pilkada adalah KPU, lalu pengadil sengketa hasil pemilu adalah MK. Namun, bila pembentuk UU Pemda mengatur hal yang lain, bagi MK, tidak pula keliru.

MK hanya menyampaikan pesan dalam pertimbangan hukum, “Untuk masa yang akan datang diperlukan lembaga penyelenggara pemilu yang independen, profesional, dan mempunyai akuntabilitas untuk menyelenggarakan pemilu di Indonesia yang fungsi tersebut seharusnya diberikan kepada komisi pemilihan umum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E UUD 1945 dengan segala perangkat kelembagaan dan pranatanya.”

Pertanyaannya, mengapa MK harus mengharapkan hal tersebut terjadi di masa depan. Bukankah dengan kewenangan yang ada padanya MK dapat menyegerakan hal tersebut terjadi. Mengapa pula MK memulangkan harapan tersebut kepada pembuat undang-undang yang terbukti berkali-kali telah mereproduksi undang-undang yang kerap mengkhianati amanat rakyat dan melawan konstitusi.

Sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi, MK hanya menyodorkan “bola tanggung”. Sungguh MK telah gagal mengawal demokrasi kali ini***

Jakarta, 23 Maret 2005

Refly Harun

No comments: