30 April 2009

Kurang dan Curang Pemilu 2009

Weakness and Fraud in 2009 Election

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 1 May 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)


Kurang dan curang adalah dua kata dalam bahasa Indonesia. Bila ditambah dengan awalan ke- dan akhiran –an menjadi kekurangan dan kecurangan. Dari segi susunan huruf yang membentuk, perbedaan keduanya sangat tipis, hanya menyangkut huruf c dan huruf k. Untunglah, di keyboard komputer letak c dan k berjauhan sehingga potensi untuk saling tertukar terbilang kecil.

Ini membedakan dengan huruf b dan n yang letaknya berdampingan. Sebuah koran pernah diamuk massa beberapa tahun lalu karena perkara b dan n tersebut. Kata yang seharusnya ‘nabi’ terketik ‘babi’. Sudah tentu maknanya jauh sekali. Satu mulia dan diagung-agungkan, sementara satunya diasoasiakan dengan sesuatu yang diharamkan, bahkan menjadi kata favorit untuk mengeluarkan makian. Terlebih, kata ‘babi’ diikuti dengan nama seseorang yang dimuliakan bagi pemeluk agama mayoritas di negeri ini.

Dari segi pengertian, curang dan kurang sudah tentu berbeda, walaupun punya napas yang sama: negatif. Kurang adalah sesuatu yang by accident. Curang, tentu saja, disengaja, by design.

Diletakkan dalam konteks Pemilu 2009 yang pemungutan suaranya sudah dilakukan pada 9 April lalu, mana yang terjadi: kurang atau curang, kekurangan atau kecurangan? Setelah hasil (hitung cepat) quick count beberapa lembaga survei diumumkan pada hari H pemilu (polling day), parpol-parpol yang kalah kontan berteriak: kecurangan telah terjadi, bahkan sistematis! Salah satu contoh yang nyata adalah banyaknya warga yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Parpol-parpol yang kalah menyatakan bahwa Pemilu 2009 terburuk sepanjang era Reformasi, bahkan ada yang ’terseleo’ menyatakan sepanjang sejarah pemilu di negeri ini.

Tentu saja berlebihan bila dikatakan terburuk sepanjang sejarah karena pemilu-pemilu era Orde Baru tidak bisa dikategorikan sebagai pemilu yang luber dan jurdil. Pemenang pemilu telah bisa diperkirakan jauh-jauh hari, dengan tingkat kemenangan yang mencengangkan.

Partai yang ditahbiskan sebagai pemenang (baca: Partai Demokrat) langsung membantah. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menantang siapa saja untuk membuktikan bila kecurangan itu memang ada dalam pidato di Cikeas, 19 April lalu.

Semua Bica Curang

Bagi saya, terlalu naif menyatakan bahwa Pemilu 2009 berlangsung mulus tanpa kecurangan. Banyak cacat yang perlu dicatat. Banyak kesalahan yang perlu diperbaiki di masa datang. Namun, terlalu naif pula mengatakan bahwa kecurangan tersebut dilakukan agen tunggal dan tersistematis, terlebih pada era demokrasi dan keterbukaan seperti sekarang.

Soal kecurangan, dengan pemilih terdaftar (registered voters) lebih dari 170 juta, penerapan sistem proporsional terbuka (proportional representation system), dan penentuan pemilih dengan suara terbanyak, tidak berlebihan bila menyebut pemilu Indonesia sebagai the most complicated election in the world. Pemilu India dan AS, negara demokrasi terbesar pertama dan kedua –Indonesia terbesar ketiga—bisa jadi diikuti jumlah pemilih potensial yang lebih banyak, tetapi sistem yang diterapkan sangat sederhana, yaitu pluralitas-mayoritas dengan varian first past the post.

Pemilu yang kompleks tidak hanya menstimulasi banyaknya kekurangan, melainkan juga berpotensi bagi terjadinya kecurangan. Pemilu yang kompleks adalah lahan subur bagi kekurangan dan kecurangan. Potensi kecurangan tidak hanya antarpartai yang bertanding, melainkan juga antarcaleg, termasuk persaingan caleg dalam satu parpol. Satu suara saja berbeda dengan caleg satu parpol, kursi bisa melayang. Bagi mayoritas caleg saat ini, kursi jauh lebih penting ketimbang kemenangan parpol.

Semua parpol dan semua caleg berpotensi melakukan kecurangan karena tidak ada lagi penguasa tunggal seperti era Orde Baru. Di lapis elite nasional, presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri berasal dari parpol yang berbeda. Ini saja sudah menyulitkan untuk membuat orkestra kecurangan sistematis. Belum lagi bila melihat penguasa lokal yang juga berasal dari parpol berbeda, bahkan ada yang dari unsur independen setelah calon perseorangan dibolehkan ikut dalam kontes pilkada sejak pertengahan 2008.

Yang perlu dicatat, kecurangan tersebut tidak khas untuk Pemilu 2009 saja. Kecurangan juga terjadi pada dua pemilu sebelumnya di era Reformasi, Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Salah satu buktinya, ada 273 perselisihan hasil pemilu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 273 perkara tersebut, 39 di antaranya dikabulkan permohonannya. Artinya, kecurangan itu nyata dan ada. Di negara-negara lain, terutama di negara-negara maju, jarang sekali ada ratusan sengketa hasil pemilu yang harus dibawa ke pengadilan.

Netralitas Aparat

Bagaimana dengan TNI? Selain parpol, hanya TNI yang memiliki jaringan hingga tingkat desa. Di era Orde Baru, ketika parpol diganjal dengan kebijakan politik massa mengambang (floating mass), hanya TNI (dulu ABRI) yang dengan leluasa mempengaruhi pemilih untuk mencoblos parpol tertentu. Mantan KSAD Jenderal Hartono, misalnya, pernah terseleo menyatakan bahwa ABRI adalah kader Golkar. Tabiat itu kini telah berubah karena zaman telah berganti.

Bagi TNI saat ini, politik sudah kurang menarik (less interesting) karena kesempatan sudah semakin sedikit. Tidak ada lagi kursi gratis di MPR dan DPR sebagaimana diberikan pada era Orde Baru dan di awal era Reformasi. Kesempatan menjadi menteri dan duta besar sudah makin berkurang karena orang-orang parpol antre untuk jabatan tersebut. Jabatan gubernur, bupati, walikota tidak mudah lagi didapat karena sudah ada pemilihan langsung yang membutuhkan modal besar plus nasib baik dalam merebut kepercayaan publik.

Khusus untuk Pemilu 2009, tiga mantan jenderal bertarung keras: SBY, Wiranto, dan Prabowo. Tiga jenderal ini adalah tokoh-tokoh yang masih memiliki pengaruh besar di TNI. Orkestra ala tentara di era Orde Baru tentu tidak mudah lagi dilaksanakan, meski panglima TNI tetap berada di bawah presiden. Loyalitas tentara, bisa jadi, terbagi-bagi di antara ‘bos’ dan ‘mantan bos’ mereka, di antara para jenderal yang bertarung. Akibat lanjutnya, sulit menerapkan skenario tunggal untuk memenangkan kekuatan tertentu karena akan terjadi check and balances sendiri di antara kekuatan tentara, yang menyebabkan mereka akhirnya berperilaku lebih netral dalam prosesi pemilu.

Saya tidak berada pada posisi untuk membenarkan atau menyalahkan, mendukung atau menyerang pihak-pihak yang bersengketa pasca-pemungutan suara 9 April lalu. Biarlah mereka menyelesaikan sendiri silang sengketa di antara mereka, sepanjang dalam jalur yang disediakan dan dibolehkan. Yang tidak boleh, protes yang berujung pada tindakan anarkistis.

Bagi kita, pemilih, yang terpenting demokrasi tidak dikorbankan. Tiga kali pemilu dalam era Reformasi telah berlangsung sukses, meski dengan segala kekurangan dan kecurangan yang ada. Ini kemenangan rakyat. Kemenangan itu tidak boleh dirampok oleh elite yang berseteru, yang tidak pernah mengajarkan untuk bersikap sportif dalam kontes politik bernama pemilu.***


14 April 2009

Menggugat Hilangnya Hak Pemilih

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 15 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Perhelatan pemungutan suara Pemilu 2009 usai sudah. Pemenang telah dikabarkan oleh banyak lembaga survei. Hasil resmi oleh Komisi Pemilihan Umum bisa jadi sekadar mengkonfirmasi apa yang telah diberitakan lembaga survei, yang tidak bersengketa menyangkut partai politik apa yang menjadi pemenang. Dengan perolehan sekitar 20 persen, Partai Demokrat dipastikan menjadi mayoritas di parlemen 2009-2014.

Soalnya adalah, bisa jadi pemenang sesungguhnya bukan Partai Demokrat, melainkan golongan putih (golput). Golputlah yang memenangi medan Pemilu 2009. Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini benar, tidak salah bila golput ditahbiskan sebagai pemenang pemilu.

Soalnya lagi, kenapa banyak yang golput? Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik--karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen--kita tidak bisa berbuat apa-apa. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis-administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya. Tulisan ini karenanya berkehendak menjawab dua masalah tersebut.

Empat pihak

Ada empat pihak yang patut disalahkan atas banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilih karena soal teknis-administratif. Pertama-tama dan yang utama adalah KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih.

Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.

Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Pihak yang ingin “menyerang” KPU tinggal menggunakan ketentuan Pasal 260 dan Pasal 311 UU Pemilu. Pasal 260 mengancam dengan ancaman hukuman penjara 12-24 bulan terhadap setiap orang (termasuk anggota KPU) yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Pasal 311 menegaskan tambahan sepertiga hukuman bila tindak pidana pemilu tersebut dilakukan penyelenggara pemilu.

Namun, siapa pun tahu, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.

Pihak ketiga yang harus disalahkan adalah partai politik. Undang-Undang Pemilu telah mengamanatkan bahwa parpol bisa meminta salinan daftar pemilih sementara (DPS) kepada panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya, parpol bisa mengecek apakah konstituen atau calon pemilih potensial mereka terdaftar. Nyatanya, banyak parpol tidak bekerja untuk itu. Bila menjelang hari pemilihan masih ada parpol yang berteriak bahwa banyak pemilihnya tidak terdaftar, teriakan itu tidak perlu didengarkan lagi. UU Pemilu telah memberikan kesempatan, tetapi parpol tidak menggunakannya. Jangan karena awak tak pandai menari, lalu lantai pula yang disalahkan.

Terakhir, kesalahan patut pula ditimpakan kepada pemilih yang bersangkutan. Undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menengok dan melongok daftar pemilih sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi DPT. Bahkan penetapan DPT bisa direvisi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2009. Maksudnya, lagi-lagi agar mereka yang tidak terdaftar dapat mendaftarkan diri. Bila pemilih tidak juga terdaftar lantaran alpa mengecek DPT, mereka harus sadar bahwa konsekuensinya adalah tidak bisa memilih.

Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.

Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin dijadikan nasi lagi. Pemilu 2009 telah berakhir dan, berapa pun yang golput, entah karena motivasi politik atau terhalang kendala teknis-administratif, tidak dapat menggagalkan keabsahan pemilu. Bila ada kecurangan, ada saluran hukum yang bisa digunakan, dari pengadilan negeri untuk tindak pidana pemilu hingga MK untuk sengketa hasil pemilu.

Sebagai kata akhir, untuk pemilihan presiden Juli nanti, ada dua hal yang harus dilakukan untuk melindungi hak pilih warga negara sebagai suplemen langkah-langkah normal seperti memutakhirkan data pemilih. Pertama, KPU dan jajarannya harus segera membuat posko pengaduan warga negara yang tidak dapat menggunakan hak memilihnya pada Pemilu 2009. Mereka yang datang ke posko pengaduan harus segera dicatat sebagai tambahan pemilih.

Kedua, KPU menerbitkan peraturan KPU yang mengakomodasi pemilih yang tidak terdaftar, kendati semua pihak telah bekerja keras untuk itu. Mereka cukup menunjukkan KTP atau tanda kependudukan yang sah kepada petugas TPS bila hendak memilih. Terhadap rekomendasi kedua ini, KPU bisa berdalih surat suara terbatas dan undang-undang telah memagari KPU bahwa hanya pemilih terdaftar yang bisa memilih. Terhadap problem jumlah surat suara, bisa saja diatur bahwa mereka yang tidak terdaftar baru diizinkan memilih bila proses pemungutan suara bagi pemilih terdaftar telah ditutup pada pukul 12.00 dan masih ada sisa surat suara yang belum terpakai.

Terhadap belenggu undang-undang, penting dicatat bahwa peraturan KPU tersebut diharapkan menjadi pemantik (trigger) bagi perubahan terbatas Undang-Undang Pemilihan Presiden atau terbitnya perpu. Bila dua instrumen hukum tersebut tidak juga terbit, sebagaimana terjadi untuk pemungutan suara 9 April, KPU harus berani melangkah lebih jauh untuk menyelamatkan hak memilih warga negara.

Bila ada pihak yang menggugat--dan rasanya tidak akan, mengingat kejadian 9 April lalu--KPU dapat berargumentasi bahwa yang mereka lakukan adalah menyelamatkan hak warga negara, sesuatu yang jauh lebih besar dan dilindungi UUD 1945 ketimbang sekadar taklid kepada ketentuan undang-undang yang faktanya menempatkan KPU pada posisi melanggar undang-undang pula, yaitu menyebabkan pemilih kehilangan haknya.***

13 April 2009

Seribu Sengketa di Mahkamah

(Thousands of Electoral Disputes in the Constitutional Court)

Published by Indonesian media,
Kompas, 14 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform

Usai sudah pesta demokratis pada 9 April lalu. Publik kini menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum dalam beberapa hari ke depan. Bagi Mahkamah Konstitusi, ”pesta” justru baru dimulai ketika KPU mengumumkan hasil pemilu secara nasional.

Saat itu hingga 3 x 24 jam ke depan, ribuan sengketa diperkirakan mengalir ke lembaga pengawal konstitusi tersebut. Ketua MK Mahfud MD memperkirakan tidak kurang dari 1.000 kasus bakal masuk. Semuanya harus diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari kerja.

Mengapa seribuan kasus karena karakter pemilu saat ini berbeda dari Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009 makin banyak pihak yang berkepentingan langsung terhadap hasil pemilu. Tidak hanya partai politik, tetapi juga ratusan ribu calon anggota legislatif yang bertebaran di seantero Nusantara. Mereka memperebutkan 18.960 kursi, yang terdiri dari 560 kursi DPR, 132 DPD, 1.998 DPRD provinsi, dan 16.270 DPRD kabupaten/kota. Dengan ketentuan suara terbanyak, satu perbedaan suara saja sudah sangat berarti dalam merebut kursi.

Kompetisi tidak sekadar antarparpol peserta pemilu atau antarcaleg dari parpol yang berbeda, tetapi juga di antara caleg dalam satu parpol. Mereka bisa saja saling menikam dalam rangka memperebutkan kursi. Bagi caleg saat ini, kursi adalah yang utama, penguatan parpol adalah soal kesekian.

Dalam beberapa kesempatan memberikan pelatihan bagi para caleg di daerah, saya sering melontarkan pertanyaan: mana yang mereka pilih, apakah parpol memperoleh lima kursi tetapi kursi tersebut tidak untuk mereka ataukah satu kursi saja dan mereka yang mendapatkannya? Selalu jawaban mereka: satu kursi! Artinya, mereka tidak terlalu peduli dengan parpol. Yang mereka pedulikan adalah diri mereka sendiri.

Pada Pemilu 2004, MK menerima 500-an perkara hasil pemilu dan yang memenuhi syarat untuk diperiksa lebih lanjut sebanyak 273 perkara. Waktu penyelesaian sengketa sekitar 40 hari (termasuk hari libur). Artinya, MK harus menyelesaikan 6-7 perkara per hari. Padahal, jumlah panel hakim yang memeriksa perkara hanya tiga karena undang-undang mensyaratkan panel hakim paling sedikit terdiri atas tiga hakim. Tak heran saat itu satu-dua hakim jatuh sakit.

Sekat formal

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang MK (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003), hanya parpol dan perseorangan calon anggota DPD yang bisa mengajukan perkara, perseorangan caleg tidak boleh. Perkara yang diajukan pun haruslah signifikan untuk memengaruhi perolehan kursi. Jika tidak, perkara tidak akan diperiksa lebih lanjut. Itulah sebabnya kasus yang masuk ”tidak banyak”, setidaknya tidak sampai ribuan.

Ketentuan formal seperti itu tetap berlaku untuk Pemilu 2009 karena UU MK belum berubah dan Peraturan MK Nomor 14 Tahun 2008 yang mengatur lebih lanjut hukum acara sengketa hasil pemilu masih mengadopsinya. Namun, ditetapkannya suara terbanyak berpotensi menyebabkan para caleg menyeberang dari garis formal tersebut.

Pada Pemilu 2004, tak banyak individu caleg yang mau menyeberang dari garis formal karena tidak mudah memperoleh 100 persen bilangan pembagi pemilihan (BPP). Untuk pemilihan anggota DPR, dari 550 orang yang terpilih, hanya Hidayat Nur Wahid (DKI) dan Saleh Djasit (Riau) yang mencapai 100 persen BPP. Selebihnya terpilih karena berkah nomor urut. Tak heran bila pada waktu itu yang komplain hanya caleg nomor 1-2 yang berpotensi mendapatkan kursi. Tentu komplain tersebut melalui pimpinan nasional parpol masing-masing karena undang-undang menentukan hanya ketua umum dan sekjen yang bisa mengajukan sengketa hasil pemilu atas nama parpol.

Dengan ditetapkannya suara terbanyak, tidak bisa tidak, komplain akan datang dari caleg nomor berapa pun. Bila yang dikomplain adalah parpol lain, hal itu tidak masalah. Pimpinan parpol mungkin akan dengan senang hati membubuhkan tanda tangannya dalam pengajuan sengketa hasil pemilu. Bagaimana bila yang dikomplain adalah rekan sendiri yang dianggap curang, yang telah menyebabkan calon lain dalam satu parpol kehilangan kursi? Tentu tidak mudah bagi pimpinan parpol untuk bersikap.

Banjir perkara

Dengan dalil hukum formal bahwa hanya parpol yang berhak mengajukan sengketa hasil pemilu, akankah MK berdiam diri bila yang bersangkutan langsung mengajukan sengketa hasil pemilu atas nama pribadi? Bila berdiam diri, sudah jelas MK tidak konsisten dengan putusannya sendiri. Dalam perkara Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, MK menerobos sekat-sekat formal untuk mencari kebenaran material. MK membuat ijtihad hukum dengan memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang, dua jenis putusan yang sebenarnya tidak dikenal dalam hukum formal sengketa hasil pilkada sebagaimana diatur dalam Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008.

Pada titik ini, MK akan menghadapi dilema. Bila sekat formal tersebut dibuka, akan terjadi banjir perkara. Skenario ribuan perkara bukan sesuatu yang mustahil. Namun, bila tetap kukuh pada aturan formal, keadilan tidak akan tercipta. Kursi akan jatuh pada caleg yang tidak berhak. Lebih jauh lagi, hal ini telah mencederai kedaulatan rakyat.

MK harus menciptakan sistem penanganan perkara pemilu yang tangguh. Skenario banjir perkara harus disiapkan. Kendati tidak secara jelas-jelas membuka sekat tersebut dalam peraturan MK, paling tidak, lembaga pengawal konstitusi itu telah siap bila ribuan caleg yang terzalimi berbondong-bondong datang ke MK untuk meminta kursi mereka kembali. MK tidak boleh berdiam diri atas nama hukum formal bila hal ini terjadi.

Namun, MK pun harus memilih dan memilah. Hanya perkara yang betul-betul serius yang diperiksa. MK tidak boleh menjadi kotak sampah keisengan para caleg yang memang khas Indonesia: siap menang, tetapi tidak pernah siap untuk kalah!***


Skenario Usai Pesta

(Scenario after Party)

Published by Indonesian media,
Republika, 14 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Pesta demokrasi Pemilu 2009 usai sudah. Pemenang sudah bisa ditentukan meski baru sebatas hasil penghitungan cepat (quick count). Pertanyaan klasik yang segera menyergap saat ini adalah bagaimana medan pertarungan pilpres Juli nanti? Siapa yang akan menantang SBY? Siapa yang paling berpeluang menang? Tulisan ini bermaksud mendiskusikan sebagian soal-soal klasik tersebut, sebagaimana juga diperbincangkan sejumlah pengamat, baik melalui tulisan maupun ulasan di televisi.

Hasil penghitungan cepat dari beberapa lembaga survei mewartakan satu hal: betapa kuatnya posisi the incumbent, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan ambang batas (presidential threshold) 20 persen kursi atau 25 persen suara, kini hanya Demokrat yang bisa melenggang ke pencalonan tanpa pusing memikirkan mitra koalisi.

Prediksi 20 persen suara bagi parpol Demokrat akan bertambah bila diterjemahkan ke dalam persentase kursi. Penyebabnya, ada 29 parpol yang tidak mencapai parliamentary threshold (PT). Bila tiap parpol rata-rata mencapai 1 persen suara saja, berarti akan ada 29 persen suara yang akan terbuang. Dengan fakta ini, 20 persen suara akan diterjemahkan sama atau lebih ke dalam persentase kursi.

Kalaupun SBY ditinggalkan semua parpol, ia akan tetap dapat melaju dalam pencalonan presiden. Namun, mengingat performa politik SBY hari ini, rasanya hampir tidak mungkin ia ditinggalkan. PKS, PAN, PKB, dan PPP sangat jelas merapat ke kubu SBY. Sementara PDIP, Gerindra, dan Hanura sudah hampir pasti menolak berkoalisi dengan Demokrat karena persoalan psikologis para pemimpinnya.

Yang menarik ditunggu adalah sikap Golkar dan Jusuf Kalla (JK). JK berada dalam dilema besar. Maju berarti hancur, tidak maju berarti menjilat ludah sendiri. Bagi JK, yang terkenal dengan sikap pragmatismenya, mundur dari pencapresan dan melirik kembali ke SBY bukan persoalan besar. Persoalannya, ia akan terus digedor dari internal Golkar yang ingin 'mendorongnya' ke jurang kekalahan. Dengan demikian, ada kesempatan untuk mengambil kepemimpinan Golkar pada 2010. Bila JK masih menjadi wakil presiden, posisi JK di Golkar akan aman. Tanpa posisi politik yang kuat, akan mudah bagi lawan-lawan politik JK menjungkalkannya dalam perhelatan Munas 2010.

Masalahnya, apakah SBY juga bersedia mengambil JK lagi sebagai wakilnya untuk pilpres mendatang. Dengan tingkat popularitas hingga hari ini, tidak masalah siapa pun wakil SBY. Ia tetap memiliki peluang paling besar untuk memenangi medan Pilpres 2009. Kalau mau jujur, selama ini JK lebih dirasakan sebagai 'kerikil' dalam pemerintahan SBY ketimbang mitra sejati.

Koalisi Pilpres
Menimbang syarat pengajuan capres yang harus memenuhi kuota 20 persen kursi atau 25 persen suara, saya memperkirakan ada tiga skenario untuk pilpres mendatang. Pertama, skenario mutakhir yang banyak dibincangkan, yaitu capres diisi oleh tiga calon: SBY, Mega, dan JK.

Majunya Mega dan JK dalam medan pilpres karena tidak ada pilihan lain. Bagi Mega, menjadi capres adalah harga mati bila ingin tetap beredar dalam peta politik Tanah Air. Bagi JK, bila nanti SBY benar-benar mengajukan talak, sudah tentu ia harus maju sendiri, dan tidak mungkin pula maju sebagai cawapres dari calon lain. Posisinya mirip seperti Hamzah Haz pada Pilpres 2004, yang 'terpaksa' maju meski sadar tidak punya peluang lagi.

Kedua, skenario status quo. Hal ini terjadi bila JK tetap dipertahankan sebagai pasangan SBY. Probabilitas skenario ini tidak tertutup sama sekali walaupun kini mengecil. Golkar makin menyadari bahwa takdir mereka adalah menjadi nomor dua, bukan nomor satu. Selain hanya menduduki posisi kedua atau ketiga dan tidak lagi nomor satu seperti Pemilu 2004, mereka juga tidak memiliki sosok populer yang bisa dijual.

Ketiga, skenario ABS, asal bukan SBY. Semua kelompok yang menolak SBY bergabung menjadi satu dan menjagokan capres yang diperkirakan paling mampu mengalahkan SBY. Skenario ketiga ini sangat menarik untuk ditunggu. Bagi saya, inilah satu-satunya yang bisa menghadang laju SBY untuk medan Pilpres 2009.

Mega punya peluang besar untuk memimpin koalisi ABS. Namun, peluang Mega untuk mengalahkan SBY terbilang kecil karena dia bukan lagi inspirational leader seperti pada Pemilu 1999. Mega cenderung menjadi kartu mati. Popularitasnya dari hari ke hari makin turun. JK juga tidak pada posisi untuk memimpin koalisi ABS karena akan sulit menjelaskan kepada publik posisinya karena ia bagian dari pemerintahan.

Hingga hari ini, kiranya hanya satu sosok yang berpeluang memimpin koalisi ABS: Prabowo. Partai Prabowo, Gerindra, memang hanya memperoleh sekitar 4 persen suara menurut beberapa lembaga survei, tetapi jangan dilupakan bahwa Gerindra adalah parpol baru. Pada Pemilu 2004, Demokrat juga memperoleh suara kurang dari 10 persen, tepatnya 7,5 persen, tetapi SBY mampu memenangi medan Pilpres 2004 setelah head to head dengan incumbent Megawati.

Bagi Prabowo, mudah baginya untuk mengambil posisi yang berbeda dengan SBY. Misalnya dalam hal isu ekonomi, ia bisa menjargonkan ekonomi kerakyatan dengan basis petani dan nelayan, ditandingkan dengan sistem ekonomi kapitalisme atau neoliberalisme seperti dituduhkan sejumlah ekonom kepada pemerintahan SBY. Dalam hal kepemimpinan, Prabowo bisa mencitrakan sebagai pemimpin yang decisive, tidak peragu, dan masih banyak lagi isu yang bisa dimainkan.

Namun, tentu saja, tidak mudah bagi Prabowo menjadi Obama dalam medan Pilpres 2009.
Posisi pemerintahan SBY saat ini sangat baik di mata rakyat. Meminjam kata Rektor Paramadina Anies Baswedan dalam talkshow di televisi, pesan pemilih jelas: continuity (lanjutkan), bukan change (perubahan).

Satu skenario yang mungkin juga terjadi, sebagai varian dari skenario ABS, adalah tidak ada calon presiden selain SBY. Semua lawan SBY menarik diri dari medan pilpres karena kecil peluang mereka untuk menang dari SBY. Diharapkan, pilpres tidak akan berlangsung karena tidak ada calon lain. Secara teoretis, mudah bagi SBY menjawab skenario ini bila memang terjadi, yaitu cukup dengan menciptakan calon boneka dari parpol-parpol pendukungnya sebagaimana terjadi dalam sejumlah pilkada yang calonnya kuat. Namun, medan pilpres akan menjadi dagelan politik. Saya berharap dan yakin, skenario ini tidak terjadi karena politikus kita (mudah-mudahan) masih berjiwa sportif. Kalah dalam pertandingan, jauh lebih baik dan terhormat ketimbang berupaya menggagalkan kompetisi karena tidak melihat peluang menang.

Hingga titik ini, saya masih tetap menyesalkan putusan MK yang menolak penghapusan presidential threshold. Andai semua parpol diberikan hak untuk mengajukan calon, saya tidak yakin akan ada 38 capres. Calon paling kurang dari 10 orang, tidak jauh dari nama-nama SBY, Mega, JK, Prabowo, Wiranto, Sri Sultan, termasuk Rizal Ramli. Merekalah yang sebenarnya paling serius maju dalam medan Pilpres 2009.

Demokrasi tidak hanya soal hasil, melainkan juga proses. Dengan tujuh calon, tidak berarti pilpres akan senantiasa dua putaran sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak yang terlalu memberatkan aspek teknis-administratif dalam penyelenggaraannya. Dengan kuatnya figur SBY, pilpres bisa jadi hanya berlangsung satu putaran. Namun, satu poin pasti didapat, demokrasi kita akan melangkah lebih maju dengan memberikan kesempatan kepada putra terbaik untuk bersaing dalam medan pilpres secara adil. Inilah yang kita tidak punya saat ini gara-gara ulah politisi di Senayan yang kemudian dikuatkan dengan putusan MK, 18 Februari lalu.***

Mengawal Suara Rakyat

(Protecting People's Votes)


Published by Indonesian media,
Jurnal Nasional, 14 April 2009

Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro)

Pemungutan suara Pemilu 2009 telah dilakukan pada 9 April 2009. Pemenang pun hampir pasti telah bisa ditentukan berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count). Partai Demokrat dinyatakan sebagai pemenang oleh semua lembaga yang melakukan penghitungan cepat, dengan perolehan suara sekitar 20 persen.

Bisa dikatakan, tidak ada perselisihan (dispute) di antara lembaga penyelenggara penghitungan cepat menyangkut kampiun pemilu kali ini. Kesepakatan juga terjadi mengenai jumlah parpol yang akan lolos parliamentary threshold (PT) 2,5 persen, ambang minimal yang dibutuhkan untuk mengirimkan wakilnya di DPR. Sembilan parpol tersebut adalah Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Dua wajah baru, Gerindra dan Hanura, menembus PT. Satu-satunya parpol yang pada Pemilu 2004 menembus angka 2,5 persen namun kali ini gagal pada pencapaian yang sama adalah Partai Bulan Bintang (PBB).

Wajah parlemen ke depan karenanya akan lebih sedikit warnanya ketimbang parlemen 2004-2009, yang diisi wakil dari 16 dari 24 parpol yang berpartisipasi dalam Pemilu 2004. Akibat lanjutnya, pengambilan keputusan jauh akan lebih efektif dengan kemungkinan jumlah fraksi lebih sedikit ketimbang 10 fraksi saat ini.

Perbedaan di antara lembaga survei, kalau boleh dikatakan demikian, hanya soal peringkat di bawah jawara, terutama penentuan nomor urut dua dan tiga antara PDIP dan Golkar. Perbedaan juga mengemuka soal peta posisi di antara parpol menengah, di antara PKS, PAN, PKB, dan PPP. Apakah dengan demikian perhelatan pemilu telah berakhir? Jelas tidak.

Penghitungan suara (vote counting) sesungguhnya baru dimulai. Hasil formal (official result) baru akan diketahui dalam beberapa hari ke depan. Tidak saja menyangkut perolehan suara masing-masing parpol, melainkan juga individu caleg yang diajukan masing-masing parpol. Pada titik inilah potensi kecurangan bisa terjadi.

Caleg versus Caleg

Sejak awal saya mengatakan bahwa tidak ada gunanya melakukan money politics (politik uang) terhadap pemilih. Selain dana yang dibutuhkan sangat besar, soal lain yang juga membuat tindakan itu tidak efektif adalah kepastian pemilih benar-benar memilih sang pemberi uang. Jauh lebih efektif bila money politics diarahkan kepada para panitia penghitungan suara di berbagai tingkatan. Di sinilah perlunya mengamati dan mencermati pergerakan surat suara.

Setelah dihitung di masing-masing TPS, surat suara bergerak ke PPK (panitia pemilihan kecamatan), lalu ke KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan terakhir di KPU. Semua titik ini berpotensi untuk adanya kongkalikong antara peserta dan panitia penyelenggara pemilu. Bila diletakkan pada konteks pemilihan anggota DPR, ada dua soal yang perlu dicermati, yaitu (1) suara dari parpol-parpol yang tidak mencapai PT, dan (2) distribusi suara di antara caleg satu parpol.

Seperti sudah disinggung terdahulu, diperkirakan hanya sembilan parpol yang dapat memenuhi PT 2,5 persen. Artinya, 29 parpol tidak akan menempatkan wakilnya di DPR, berapa pun suara yang diperoleh individu caleg, hingga 100 persen BPP (bilangan pembagi pemilihan) sekali pun. Mereka yang sudah tidak berpeluang ini rentan untuk dipengaruhi oleh parpol atau caleg yang masih berpotensi merebut kursi.

Ketika menjadi staf ahli Mahkamah Konstitusi dan anggota tim penyelesaian sengketa hasil Pemilu 2004, saya pernah mengalami hal ini. Satu caleg dari satu parpol -yang tidak etis untuk disebutkan di sini-telah merekayasa sedemikian rupa perolehan suara di tingkat KPU kabupaten. Ia yang tadinya tidak mendapatkan kursi menjadi salah satu caleg yang bakal melenggang ke Senayan karena mendapat "limpahan" dari parpol-parpol yang sudah tidak berpeluang lagi.

Modusnya adalah dengan melakukan money politics terhadap empat dari lima anggota KPU kabupaten di daerahnya, plus sekretaris KPUD. Ketika melaporkan hasil pemilu ke Jakarta, empat dari lima anggota KPUD tersebut melaporkan data yang telah direkayasa sedimikian rupa ke KPU. Pada pengumuman hasil pemilu secara nasional pada 5 Mei 2004, partai sang calon termasuk kelompok parpol yang bakal memperoleh kursi di DPR. Calon yang berpeluang menduduki adalah sang caleg sendiri, yang dinominasikan di urutan pertama.

Untunglah modus ini bisa digagalkan setelah parpol yang sebenarnya mendapat kursi mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK. MK mengembalikan suara kepada parpol yang berhak dan keempat anggota KPUD telah dipecat.

Suara 29 parpol yang tidak menggapai PT 2,5 persen sangat potensial untuk dimainkan oleh caleg yang berpotensi mendapatkan kursi. Contoh soal, satu parpol mendapatkan dua kursi. Dengan sendirinya caleg dengan suara terbanyak nomor satu dan dua di parpol tersebut berhak atas kursi. Katakanlah caleg dengan suara terbanyak ketiga menginginkan kursi tersebut. Ia lantas bermain mata dengan penitia penghitungan suara dengan cara mengalihkan beberapa suara dari parpol yang diperkirakan tidak bakal lolos PT sehingga perolehan suaranya melampaui perolehan suara caleg terbanyak kedua. Jumlah total suara tidak berubah, yang diubah hanyalah distribusi di antara parpol-parpol kecil yang tidak lolos PT untuk menguntungkan salah seorang calon.

Yang juga bisa dilakukan adalah mengubah distribusi suara di dalam parpol sendiri. Dalam kasus tadi, caleg dengan perolehan suara terbanyak ketiga meminta "pelimpahan" suara dari caleg dengan suara terbanyak keempat, kelima, dan seterusnya yang notabene tidak berpeluang lagi mendapatkan kursi. Atau bisa juga dilakukan dengan secara langsung mengurangi caleg dengan perolehan suara nomor dua dan menambahkannya ke suara caleg tadi.

Bila modus operandi tersebut lolos hingga pengumuman hasil pemilu secara nasional, sudah tidak ada lagi mekanisme untuk mengoreksi keputusan KPU. Berdasarkan hukum formal pengajuan perselisihan hasil pemilu di MK, hanya parpol, melalui pimpinan parpol tingkat nasional, yang dapat mengajukan sengketa hasil pemilu, tidak boleh perseorangan caleg. Dalam kasus ini parpol tidak dirugikan karena perolehan kursi tidak berubah. Sengketa terjadi antarcaleg satu partai. Pimpinan parpol tidak merasa berkepentingan untuk mengajukan sengketa tersebut, terlebih bila tidak menyangkut hajat hidup sang pimpinan. Berdasarkan hukum formal yang ada, caleg tidak bisa mengajukan sengketa tersebut secara langsung karena tidak memenuhi kriteria pemohon yang diperbolehkan mengajukan sengketa.

Melalui tulisan ini, saya merekomendasikan dua hal. Pertama, pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung, pemantau pemilu, dan masyarakat hendaknya memantau betul pergerakan surat suara. Penghitungan di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi harus benar-benar diawasi. Salinan rekapitulasi penghitungan suara di tingkatan itu harus benar-benar disimpan oleh saksi sebagai bahan dalam memperoleh kebenaran bila masalah terjadi. Yang diawasi tidak sekadar perolehan suara masing-masing parpol, melainkan juga perolehan masing-masing caleg. Pemantauan sekilas saya terhadap jalannya penghitungan suara di TPS, umumnya saksi hanya memerhatikan perolehan suara parpol, dan kurang terhadap perolehan masing-masing caleg.

Kedua, bila kecurangan terjadi dan terlanjur diumumkan KPU, MK harus mau membuka diri untuk menembus sekat-sekat hukum formal demi memberikan keadilan. Kalau tidak, sama artinya membiarkan pilihan rakyat dikhianati. Caleg melenggang ke kursi parlemen karena kecurangan dan hukum tidak mampu mengoreksinya. Dengan cara ini, mudah-mudahan kita bisa menyelamatkan suara rakyat yang telah diberikan dalam pesta demokrasi 9 April lalu.***

Menggugat Sistem Pemilu Kita

(Challenge Our Election System)

Refly Harun
Senior Researcher at Cetro,
Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris


Kemapanan sistem distrik sedang digugat di Inggris. Fakta itu saya dapatkan ketika berkunjung ke Electoral Reform Society (ERS), sebuah LSM yang telah berdiri pada 1884, di London pada 12 Maret lalu. Fakta ini sedikit mengejutkan karena Inggris bersama AS sering dianggap contoh terbaik penerapan sistem distrik, atau lebih tepatnya plurality-majority dengan varian first past the post (FPTP).

Tentu mengejutkan pula bagi siapa saja yang ingin menggeser kemapanan sistem proporsional di negara kita dan menggantikannya dengan sistem distrik. Tulisan ini karenanya berkehendak menguji pergeseran tersebut dan relevansinya dengan sistem pemilu di Indonesia yang saat ini diterapkan.

Dua hal setidaknya selalu diperdebatkan dalam setiap perbincangan mengenai sistem pemilu, yaitu keterwakilan (representativeness) dan akuntabilitas (accountability). Sistem distrik sering dipersepsikan mengandung masalah dalam soal keterwakilan karena banyak suara yang terbuang. Persentase kursi tidak menggambarkan persentase suara. Sementara sistem proporsional dipersepsikan lebih favourable terhadap isu keterwakilan, tetapi lemah dalam menghasilkan wakil-wakil rakyat yang akuntabel.

Untuk mengombinasikan keduanya diintroduksi sistem campuran (mixed system), yang berpretensi menggabungkan keunggunlan baik sistem distrik maupun proporsional. Namun, sistem ini pun tidak kedap dari kelemahan, karena memang tidak ada sistem pemilu yang benar-benar sempurna. Sistem apa pun selalau memiliki dua sisi: kelebihan (advantages) dan kekuarangan (disadvantages). Pilihan karenanya sangat bergantung pada kebutuhan setempat (asas lokalitas).

Sistem distrik dengan varian FPTP yang diterapkan di Inggris dan AS adalah single-member district. Di setiap distrik pemilihan hanya disediakan satu kursi. Setiap parpol hanya menominasikan satu calon. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak, dialah yang menjadi pemenang dan mendapatkan kursi. FPTP dipuji terutama karena mudah dan murah dalam penerapannya. Untuk konteks Indonesia, rakyat sebenarnya telah terbiasa menerapkan sistem seperti ini dalam pemilihan kepala desa.

Kelebihan paling substansial adalah link yang jelas antara kandidat terpilih dan konstituennya. Di bawah FPTP, kandidat dipersepsi akan lebih peduli dan responsif dengan kepentingan konstituen karena nasibnya memang tergantung dengan pemilih di distrik yang bersangkutan.

Kelemahan yang paling mencolok dari FPTP adalah potensi hilangnya banyak suara dan disproporsionalitis antara persentase suara dan kursi yang didapat. Seorang kandidat bisa terpilih sebagai anggota DPR meskipun mayoritas rakyat tidak memilihnya. Misalnya diterapkan di Indonesia dengan 38 parpol dan satu kursi di setiap distrik, seorang kandidat bisa terpilih hanya dengan meraup katakanlah 15 persen suara karena kandidat lain tidak ada yang lebih dari angka tersebut. Itu artinya 85 persen rakyat di daerah tersebut tidak memilihnya.

Di Inggris dan AS potensi suara hilang tersebut tidaklah sebesar bila sistem ini diterapkan di Indonesia saat ini. Secara tradisional di Inggris hanya ada tiga parpol yang dominan (Labour, Conservative, dan Liberal-Democrat), sementara di AS hanya dua (Democrat dan Republic).

Kritik lain terhadap FPTP adalah dinilai tidak menguntungkan bagi keterwakilan perempuan, terutama dalam budaya masyarakat yang paternalistik. Namun, secara faktual klaim ini tidak begitu tepat bila merujuk Wales. Dengan penerapan FPTP, dari 60 orang anggota National Assembly of Wales, 28 di antaranya perempuan!

Kritik lain, yang menyebabkan kelompok ERS di Inggris berkampanye untuk mengubah sistem yang ada, adalah kenyataan bahwa FPTP meminggirkan parpol-parpol kecil dan kelompok minoritas dari keterwakilan. Rakyat Inggris hanya diberikan alternatif pemerintahan yang itu-itu saja. Sebelum pemerintahan beralih ke kubu Buruh pada 1997, Inggris diperintah Konservatif selama 18 tahun dengan Margareth Thatcher sebagai ikonnya. Sekarang hal yang sama akan berulang kembali karena Buruh sudah memerintah selama 12 tahun.

Yang diinginkan kelompok ERS adalah penerapan sistem proporsional dengan dengan varian single transferable vote (STV). Dalam sistem ini dan sistem proporsional pada umumnya, satu distrik pemilihan tidak terdiri dari satu kursi. Ada beberapa kursi yang diperebutkan dalam satu distrik. Sebuah parpol bisa menominasikan beberapa pun calon yang diinginkan. Masyarakat diberikan hak untuk mengurutkan pilihan mulai dari satu hingga kandidat terakhir. Bisa juga suara yang diurutkan berdasarkan jumlah kursi yang disediakan.

Cara ini dinilai lebih adil karena rakyat bisa mengekspresikan pereferensinya ketimbang hanya memilih satu orang. Namun, kelemahan yang mencolok adalah sistem ini membutuhkan tingkat melek huruf yang tinggi dan teknis penghitungan agak rumit. Bila diterapkan di Indonesia dengan 38 parpol dan ratusan kandidat dalam satu distrik, kerumitan akan bertambah-tambah.


Inflasi Caleg

Untuk menjawab problem akuntabilitas yang merupakan penyakit bawaan sistem proporsional, Indonesia menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka (open-list proportional representation system). Masyarakat diberi hak untuk memilih caleg yang mereka inginkan. Putusan MK mengenai suara terbanyak 19 Desember 2008 makin menguatkan pilihan tersebut.

Persoalannya, rakyat menyaksikan inflasi caleg saat ini. Terlalu banyak caleg yang dinominasikan dalam suatu dapil. Kalau di AS hanya ada 2-3 kandidat untuk setiap dapil, dan di Inggris 5-6, caleg di Indonesia bisa 380 dalam suatu distrik pemilihan. Penyebabnya, ada 38 parpol yang bertanding. Semua parpol diberi hak untuk menominasikan kandidat hingga 120 persen dari jumlah kursi yang disediakan. Bila rata-rata kursi dalam suatu dapil berjumlah 10, kandidat yang ada berjumlah 380 orang lebih! Jumlah tersebut sangat tidak rasional. Bagaimana mungkin masyarakat suatu distrik bisa mengenal calon yang berjumlah ratusan tersebut.

Inflasi caleg tidak hanya membingungkan rakyat, tetapi juga membuat pemilu seperti pasar pencari kerja. Para caleg mengadu peruntungan sebagai caleg bukan karena telah menyelesaikan problem hidupnya, terutama di bidang ekonomi, melainkan mengadu peruntungan untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka. Bila kebanyakan caleg masih bermasalah dengan kehidupan mereka, alangkah naifnya bila mereka merasa mampu mewakili kepentingan banyak orang sebagai wakil rakyat.

Di masa depan, bila sistem proporsional dengan daftar terbuka tetap diterapkan, harus dilakukan langkah-langkah perbaikan dan penyederhanaan. Sambil berharap jumlah parpol mengkrucut seiring penerapan parliamentary threshold, district magnitude mungkin bisa diperkecil menjadi kurang dari lima untuk setiap dapil.

Banyak langkah-langkah perbaikan yang harus dilakukan. Intinya, sistem sekarang tidak bisa diterapkan 100 persen lagi. Secara teknis rumit dan membutuhkan biaya tinggi –karena untuk cetak surat suara saja membutuhkan lebih dari Rp1 triliun—secara substantif belum tentu juga menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel. Jika problem akuntabilitas belum juga terjawab, tak ada gunanya kita menggeser sistem proporsional dengan daftar tertutup yang mudah dan murah menjadi sistem proporsional dengan daftar terbuka yang mahal dan njlimet.***

Birimingham, Maret 2009

08 April 2009

Hari Ini, Jangan Golput!

(Vote Today!)

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 9 April 2009

Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro)

Bad politicians are sent to Washington by good people who don’t vote (William E Simon, Mantan Menteri Keuangan AS)


Hari ini, 9 April 2009, 170-an juta rakyat Indonesia akan datang ke bilik suara (polling station) memilah dan memilih partai dan calonnya yang terpampang di kertas suara (ballot paper). Sebagian sudah mantap menentukan pilihan sejak jauh-jauh hari, tetapi ada pula yang baru akan menentukannya ketika berada di bilik suara.

Apa pun itu, memang sebaiknya jangan golput karena hari ini sebagian masa depan bangsa akan ditentukan oleh mereka yang memilih, bukan yang tidak memilih. Dikatakan sebagian karena masih akan ada pemilihan presiden (pilpres) pada Juli nanti. Pemilu dan pilpres adalah ajang lima tahunan yang akan menentukan masa depan bangsa ini.

Survei bersama oleh LP3ES, LIPI, CSIS, dan Puskapol UI yang dirilis pada pertengahan Maret lalu sebenarnya telah mengabarkan berita gembira. Sebanyak 95% pemilih mantap akan menggunakan hak pilihnya pada hari ini, 4% belum memutuskan, dan hanya 1% yang nyata-nyatanya akan golput. Satu persen tentu bukan angka yang besar, hanya 1,7 juta dari 170- an juta pemilih terdaftar.

Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris yang pemilihnya hanya berkisar 40–70%. Pemilu terakhir di Inggris pada 2005 hanya diikuti 61,3% pemilih setelah pada 2001 hanya diikuti 59,4% pemilih yang merupakan angka terendah dalam sejarah pemilu di Inggris sejak 1945. Di AS, pemilu terakhir pada 2008 nyatanya hanya diikuti 56,8% pemilih meskipun Obamania melanda di mana-mana. Namun, jangan lupa, satu suara hari ini bisa akan sangat berarti.

Satu Suara
Soal pentingnya satu suara tersebut mengingatkan saya dengan film Swing Vote (2008) yang dibintangi Kevin Costner. Di situ diceritakan bahwa Bud Johnson (Kevin Costner) adalah seorang yang apatis terhadap politik sebagai refleksi dari ketidakberuntungan hidupnya.

Sang putri berusaha memberikan semangat hidup kepadanya, termasuk dalam hal ikut memberikan suara dalam pemilihan presiden sebagai suatu kewajiban warga negara.Untuk itu, ia telah mendaftarkan ayahnya sebagai pemilih. Karena tidak ada tanda-tanda sang ayah akan memilih, sang putri yang diperankan oleh Madeline Carrol pergi sendiri ke polling station untuk memberikan suara atas nama ayahnya.

Pada saat memberikan suara, mesin pada polling station tersebut tiba-tiba saja macet. Pemberian suara telah teregistrasi, tetapi tidak bisa ditentukan untuk siapa suara tersebut. Perbedaan perolehan suara antara kandidat Republik dan Demokrat begitu tipis setelah semua hasil negara bagian dihitung.

Satu-satunya negara bagian yang belum bisa ditentukan pemenangnya adalah New Mexico di mana Bud tinggal.Penyebabnya,perolehan suara sama. Pemenang akan ditentukan oleh satu suara yang telah teregistrasi,tetapi belum bisa ditentukan untuk siapa. Suara tersebut adalah suara Bud. Siapa pun yang memenangkan New Mexico akan terpilih sebagai presiden. Bud menjadi penentu!

Dalam dunia nyata, hal ini mengingatkan kita pada Pilpres AS 2000 ketika pemenang antara George W Bush dan Al Gore ditentukan di satu negara bagian, yaitu Florida. Pilpres itu akhirnya dimenangi Bush melalui jalur hukum karena sengketa penghitungan di Florida. Dari jumlah suara pemilih (popular votes) Gore sebenarnya unggul, tetapi dari perolehan suara negara bagian (electoral college) dia kalah.

Karena sudah memberikan suara pada hari pemilihan, Bud berhak untuk mengulangi pemberian suaranya. Kelucuan-kelucuan terjadi karena ketidakjelasan orientasi politik Bud yang berkali-kali diwawancarai media sebelum mengulangi pilihannya.

Republik yang konservatif mengubah haluan politik dan beriklan menjadi prolingkungan dan properkawinan sejenis (gay marriage) karena menyangka orientasi politik Bud demikian. Sebaliknya, Demokrat berubah haluan menjadi antiaborsi (pro-life) dan antiimigran ilegal, posisi yang selama ini diambil Republik, juga karena menyangka Bud berorientasi demikian.

Film pun kemudian ditutup dengan datangnya Bud ke polling station untuk memberikan suara dengan diiringi senyum sang putri. Penonton tidak diberi tahu kandidat dari partai mana yang dipilih Bud. Hiperbola ala Swing Voter itu mungkin tidak akan terjadi baik di AS sendiri maupun di Indonesia, terlebih untuk pemilihan sebesar pilpres.

Namun, dalam hal penentuan caleg terpilih dengan sistem suara terbanyak, hal tersebut tidak mustahil terjadi. Sebagaimana diketahui, pada putusan tanggal 19 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan ketentuan Pasal 214 UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) yang mempersyaratkan perolehan minimal 30% dari BPP (bilangan pembagi pemilihan) bagi setiap caleg untuk duduk dalam kursi parlemen.

Sebagai gantinya, siapa pun caleg yang memperoleh suara terbanyak akan ditetapkan sebagai calon terpilih sepanjang parpol yang menominasikannya memperoleh kursi. Pada pemilu hari ini, ada 18.960 kursi yang diperebutkan, terdiri atas 560 kursi DPR, 132 DPD, 1.998 DPRD provinsi, dan 16.270 DPRD kabupaten/kota. Di antara 18.960 kursi tersebut, bukan tidak mungkin ada yang ditentukan dengan perbedaan satu suara saja.

Golput Tak Mengubah Keadaan
Karena memilih dalam pemilu masih dikonstruksikan sebagai hak, bukan kewajiban seperti di Australia, mereka yang golput tidak bisa dikatakan melanggar undang-undang atau melalaikan kewajiban sebagai warga negara. Terlebih, pemilu sering belum membawa perubahan apa-apa terhadap nasib bangsa, terutama nasib rakyat. Rakyat tetap tertinggal dan termiskinkan, sementara para wakil mereka langsung melesat kesejahteraannya begitu duduk di kursi parlemen, baik nasional maupun lokal. Fakta ini makin membuat rakyat skeptis terhadap pemilu. Golput pun adalah pilihan rasional bagi mereka yang skeptis tetapi sadar politik tersebut.

Masalahnya, berapa pun angka golput, hal tersebut tidak akan menyebabkan pemilu tidak sah. Belasan ribu kursi yang diperebutkan tetap akan dibagikan kepada caleg yang memperoleh suara terbanyak dari parpol yang memperoleh kursi (untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD) serta kandidat yang berada di peringkat empat teratas di setiap provinsi untuk pemilihan anggota DPD, siapa pun mereka.

Bila golput dipersepsikan dilakukan oleh mereka yang melek dan sadar politik, terjadilah apa yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, bahwa “bad politicians are sent to Washington by good people who don’t vote”. Untuk konteks Indonesia, Washington tinggal diganti dengan Senayan (untuk DPR dan DPD), DKI Jakarta, Jawa Timur (untuk DPRD provinsi), Palembang, Manokwari, (untuk DPRD kabupaten/kota), dan sebagainya.

Sederhananya, karena orang-orang yang sadar politik tersebut tidak memilih, yang memilih hanyalah para loyalis yang membabi buta terhadap parpol dan caleg, tak peduli apakah parpol dan caleg tersebut berbuat banyak bagi rakyat selama berkuasa atau tidak.

Untuk menutup tulisan ini, sebagai sesama pemilih (dan bukan pejabat negara atau anggota KPU), saya mengimbau semua pemilih untuk menggunakan hak politiknya pada hari ini. Bila Anda kesulitan memilih karena banyak parpol dan caleg yang hanya janji-janji kosong, pilihlah yang terbaik dari yang buruk tersebut, the best person among the worst. Hal ini jauh lebih baik daripada membiarkan parpol dan caleg berwatak buruk terpilih karena orang baik enggan memilih.

Ayo memilih, jangan golput! (*)

Menanti Hasil Pemilu Hari Ini

(Waiting for Today's Election Result)


Published by Indonesian media
Koran Jakarta, 9 April 2009


Refly Harun
Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro)


Pemilihan umum (pemilu) hari ini bisa jadi tidak sekadar penyaksian terhadap proses penghitungan suara, melainkan juga memberikan kabar hasil penghitungan suara. Hal ini bisa terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menjebol dinding larangan dan kriminalisasi pengumuman hasil hitung cepat pada hari “H” pemilu dalam putusan 30 Maret lalu.

Larangan, bahkan kriminalisasi aktivitas survei dan penghitungan cepat (quick count), terdapat dalam Pasal 245, 282, dan 307 UU Pemilu (UU Nomor 10/2008). Pasal 245 Ayat (2) UU Pemilu melarang pengumuman hasil survei pada masa tenang. Bila dilanggar, ancaman hukumannya pidana penjara 3-12 bulan dan denda 3-12 juta rupiah (Pasal 282). Mengenai aktivitas quick count, Pasal 245 Ayat (3) menyatakan bahwa pengumuman hasil penghitungan cepat tidak boleh dilakukan pada hari “H”. Ancaman pidana bagi pelanggar adalah 6-18 bulan dan denda sebesar 6-18 juta rupiah (Pasal 307).

Bagi lembaga survei, larangan itu jelas mengganggu dan menghambat aktivitas mereka, dan lebih dari itu bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu argumentasinya adalah ketentuan Pasal 28F Perubahan Kedua UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Larangan mengumumkan hasil survei pada minggu tenang dan pengumuman hasil quick count pada hari “H” adalah pelanggaran terhadap hak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.

Dari perspektif hukum internasional, Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan, “Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.” Ketentuan ini kurang lebih sama dengan makna yang terkandung dalam Pasal 28F UUD 1945. Indonesia telah meratifikasi ICCPR pada Oktober 2005 sehingga terikat dengan ketentuan konvensi tersebut.

Untunglah, menjelang hari “H” Pemilu, MK dengan sigap memutuskan bahwa larangan survei dan penghitungan cepat itu memang bertentangan dengan UUD 1945. Pada pemilu hari ini, pemilih bisa menanti parpol mana yang menjadi pemenang pemilu. Bagi para caleg, kepastian itu harus ditunggu dalam beberapa hari ke depan, apakah mereka bakal mengisi kursi-kursi lembaga perwakilan di DPR, DPD, dan DPRD.

Mengakui Kekalahan
Di negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS), hasil pemilu umumnya sudah diketahui pada hari pemungutan suara. Hal tersebut dikarenakan sistem pemilu yang dipakai, yaitu plurality-majority dengan varian first past the post (FPTP) memang sederhana. Hasil pemilu cukup dihitung di distrik pemilihan masing-masing dan diumumkan oleh penyelenggara pemilu lokal.

Yang terpenting juga, dalam satu distrik pemilihan hanya terdapat satu kursi yang diperebutkan dan kandidat yang bertanding juga tidak banyak. Di AS umumnya hanya dua kandidat, yaitu dari Partai Demokrat dan Partai Republik. Kalaupun ada kandidat ketiga, biasanya berasal dari calon independen. Di Inggris, dalam satu surat suara umumnya hanya lima sampai enam calon yang berasal dari parpol besar, yaitu Partai Buruh, Partai Konservatif, dan Partai Liberal-Demokrat. Kandidat lainnya berasal dari parpol kecil atau calon independen.

Kandidat yang menang atau kalah akan menyampaikan pidato kemenangan atau penerimaan kekalahan. Ketika kalah dalam Pilpres AS 2008, misalnya, John McCain mengucapkan, “I wish Godspeed to the man who was my former opponent and will be my president… These are difficult times for our country. And I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face.” (“Saya mendoakan kebaikan bagi dia (Obama) yang tadinya pesaing saya dan kini akan menjadi presiden saya.... Kini adalah saat-saat sulit bagi negara kita. Saya berjanji kepadanya malam ini untuk mencurahkan segala daya yang ada untuk membantunya dalam memimpin kita keluar dari tantangan-tantangan yang kita hadapi).

Di Indonesia, hasil pemilu baru akan diketahui secara formal ketika KPU mengumumkannya secara nasional. Undang-undang memberikan waktu hingga 30 hari ke depan sejak pemungutan suara dilakukan. Artinya, bila voting dilakukan pada 9 April, KPU diberi waktu hingga 9 Mei untuk mengumumkan hasil pemilu. Padal Pemilu 2004, waktu maksimal itu terpaksa digunakan KPU karena tidak mudahnya proses penghitungan suara. Pemungutan suara dilakukan pada 5 April 2004, tetapi hasil pemilu secara formal baru diumumkan pada 5 Mei 2004.

Melalui aktivitas hitung cepat, masyarakat diberikan informasi atau gambaran mengenai parpol mana yang keluar sebagai pemenang. Hal tersebut akan segera diketahui beberapa jam setelah pemungutan suara berakhir. Istilah qucik count sebenarnya tidak terlalu tepat, tetapi telah telanjur digunakan. Aktivitas yang dilakukan sebenarnya exit poll. Pemilih diwawancarai setelah keluar dari bilik suara menyangkut pilihan mereka.

Tiga soal mengemuka pada kegiatan exit poll, yaitu masalah sampel yang dipilih dan kedua soal kejujuran responden dalam mengungkapkan pilihannya. Soal ketiga adalah profesionalitas pewawancara itu sendiri. Selama ini, beberapa lembaga survei cukup akurat memberikan hasil penghitungan cepatnya, baik dalam Pemilu 2004 lalu maupun pada pilkada di sejumlah daerah sejak 2005.

Alangkah indahnya bila setelah mengetahui hasil penghitungan cepat pihak yang kalah langsung menyampaikan pidato ala budaya gentleman di negara-negara maju. Misalnya.dengan mengatakan, “Kami mengucapkan selamat kepada Partai A yang dinyatakan menang melalui proses penghitungan cepat. Untuk kepastiannya, marilah kita bersama-sama mengawal proses penghitungan suara agar tidak terdapat kecurangan dan menunggu hasil penghitungan resmi dari KPU.”
Sementara yang menang pun harus menyatakan bahwa hasil penghitungan cepat barulah hitungan sampel yang masih harus ditunggu kebenarannya hingga KPU mengumumkan hasil pemilu secara resmi. Untuk itu, yang dinyatakan menang mengimbau pendukungnya untuk tidak langsung merayakan kemenangan seolah-olah hasil penghitungan cepat merupakan hasil resmi.

Sayangnya, pada pemilu sebelumnya, baik di level nasional maupul lokal, mereka yang kalah langsung menolak hasil penghitungan cepat dan yang menang langsung merayakannya, seolah-olah hasil quick count adalah hasil resmi. Di sinilah pangkal keributan dimulai.

Hari ini, saya berharap mudah-mudahan elite politik kita mulai dewasa, mau menerima kekalahan dan kemenangan apa adanya. Kalah tidak berputus asa, menang tidak jumawa. Alangkah indahnya pemilu bila itu terjadi hari ini.