17 March 2009

Menggugat Judicial Review Surat Edaran KPU

Published by Koran Tempo, 11 August 2004


Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul


BAGAIMANA bila Mahkamah Agung (MA) akhirnya membatalkan Surat Edaran KPU Nomor 1151/15/VII/2004 (SE 1151) mengenai surat suara yang dicoblos tembus? Apakah perlu dilakukan penghitungan ulang secara nasional hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 5 Juli lalu?

Pertanyaan ini sangat menggugah publik dan penting untuk dijawab. Terutama bila dikaitakan dengan permohonan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Wiranto-Salahuddin Wahid yang saat ini sedang dalam proses pemeriksaan bukti. Salah satu petitum permohonan itu, memerintahkan KPU untuk melakukan penghitungan suara ulang secara nasional dari tingkat TPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, hingga KPU Provinsi. Berikut catatan krusial saya atas permohonan judicial review itu.

Secara yuridis, dikabulkan apalagi ditolaknya permohonan judicial review SE 1151 tidak akan berpengaruh pada hasil pilpres yang sudah diumumkan KPU pada 26 Juli lalu. Andaipun MA mengabulkan permohonan judicial review SE 1151, putusan tersebut tidak berlaku surut. SE 1151 hanya batal sejak putusan dibacakan dan untuk masa yang akan datang. Dalam konteks pilpres, surat edaran itu misalnya tidak bisa lagi dijadikan landasan dalam penghitungan suara pilpres putaran kedua. Namun, semua tindakan hukum yang diambil sebelum SE 1151 dibatalkan tetap sah.

Hal ini analog dengan putusan judicial review oleh MK terhadap suatu undang-undang. Pasal 58 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa UU yang diuji oleh MK tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Lalu, Pasal 47 menyatakan putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (tidak sejak UU tersebut disahkan atau diundangkan).

UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Mahkamah Agung (UU MA) sayangnya tidak mengatur mengenai hal ini. Pasal 31 UU MA hanya menyebutkan antara lain wewenang MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan MA tidak sah, menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tidak dijelaskan sejak kapan hal itu terjadi, juga bagaimana status peraturan yang diuji tersebut. Kendati demikian, interpretasi yuridis memungkinkan untuk menganalogikan judicial review oleh MK dengan judicial review oleh MA.

Judicial review SE 1151 sebenarnya akan berdampak dalam hal dikabulkan bila proses penghitungan suara belum selesai. Tetapi, begitu proses penghitungan suara selesai, pembatalan sudah tidak ada artinya karena putusan tidak berlaku surut.

***

Saya pribadi berpendapat, MA seharusnya menolak judicial review SE 1151. Menilik objek gugatan (surat edaran KPU), saya menilai SE 1151 tidak bisa dimintakan pengujian (judicial review). Alasannya, surat edaran tersebut (dan surat-surat edaran lainnya) bukan peraturan seperti halnya undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan KPU, dan lain-lain peraturan yang bisa dimintakan pengujian.

RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU P3) menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: (1) UUD 1945, (2) UU/Perpu, (3) Peraturan Pemerintah, (4) Peraturan Presiden, dan (5) Peraturan Daerah. RUU P3 telah disetujui DPR pada 24 Mei 2004 dan seharusnya sudah disahkan Presiden. Namun, dari informasi yang saya peroleh dari Sekretariat Negara, sampai tulisan ini dibuat, Presiden Megawati belum menandatanganinya. Kendati demikian, dengan atau tanpa pengesahan Presiden, RUU tersebut tetap sah menjadi undang-undang setelah 30 hari dan sudah bisa menjadi landasan yuridis (Pasal 20 ayat [5] UUD 1945).

Pasal 7 ayat (4) RUU P3 menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan selain lima poin di atas diakui keberadaannya dan mengikat secara hukum sepanjang diperintahkan peraturan yang lebih tinggi. Dalam konteks pemilu, keputusan KPU termasuk di dalamnya karena pembentukannya diperintahkan undang-undang (UU Pemilu dan UU Pilpres).

Surat edaran dengan demikian tidak termasuk dalam kategori peraturan sehingga tidak dapat dimintakan pengujian. Sejatinya surat edaran hanyalah penjelasan dari pembentuk peraturan (regulator). Ia tidak mengandung norma hukum baru dari pembentuk peraturan.

Melalui Surat Edaran 1151 KPU bermaksud menjelaskan makna Pasal 26 Keputusan KPU Nomor 37 Tahun 2004 mengenai materi suara sah. Pasal 26 itu sendiri adalah eloborasi dari ketentuan Pasal 56 UU Pilpres (UU Nomor 23 Tahun 2003).

Tidak sedikit yang menilai materi Surat Edaran 1151 bertentangan dengan UU Pilpres dan Keputusan KPU Nomor 37. Saya menilai tidak ada yang salah dengan surat tersebut. Baik UU Pilpres maupun Keputusan KPU Nomor 37 sama mengatur mengenai suara sah, yaitu bila dicoblos pada kotak/garis kotak yang memuat nomor, foto, dan nama pasangan atau salah satu calon.

Pertanyaannya, bagaimana kalau coblosan itu tembus ke halaman lain dari surat suara, tetapi tidak mengenai nomor, foto, atau nama calon lain? Baik UU Pilpres maupun Keputusan KPU tidak mengatur soal tersebut. Soal inilah yang dijelaskan melalui Surat Edaran 1151, bahwa coblos tembus itu sah.

Ketika Surat Edaran 1151 keluar pada 5 Juli lalu, Direktur Eksekutif KIPP Ray Rangkuti menelepon. “Bung Refly, apa pendapat Anda mengenai surat edaran tersebut.” “Saya setuju,” jawab saya. Argumentasi saya waktu itu, sah-tidaknya suara harus dikembalikan kepada kehendak pemilih. Dalam kasus coblos tembus, pemilih telah berkehendak untuk memilih salah satu calon, namun coblosan yang dilakukan tembus hingga ke halaman lain dari surat suara. Ini problem teknis yang tidak bisa ditimpakan akibatnya kepada pemilih.

Kesalahan –kalaupun ingin dikatakan demikian—terletak pada petugas yang tidak memberikan penjalasan kepada pemilih agar membuka surat suara lebar-lebar terlebih dulu, atau pada teknis melipat surat suara. Namun, semua kesalahan teknis dari penyelenggara pemilu itu tidak boleh membuat suara rakyat menjadi hangus. Hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) adalah hak yang dijamin konstitusi (constitutional rights). Problem-problem teknis tersebut tidak boleh membuat hak yang dijamin konstitusi tersebut terabaikan.

***

Satu isu krusial yang digaungkan tim Wiranto seandainya judicial review mereka diterima MA adalah penghitungan suara ulang secara nasional. Keinginan itu diselipkan pula dalam permohonan sengketa hasil pemilu ke MK.

Bila dibaca secara cermat, UU Pilpres sama sekali tidak menyediakan instrumen penghitungan ulang secara nasional. Yang ada penghitungan ulang surat suara di TPS tertentu karena empat sebab, (1) penghitungan dilakukan secara tertutup; (2) penghitungan dilakukan di tempat yang kurang penerangan; (3) saksi, panwas, pemantau, dan masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan secara jelas; (4) penghitungan dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan, dan; (5) ada inkonsistensi dalam menentukan surat suara yang sah/tidak sah.

UU Pilpres menyediakan pula instrumen penghitungan ulang secara bertingkat. Bila terjadi perbedaan data jumlah surat suara dari TPS, penghitungan ulang dilakukan di PPS. Bila terjadi perbedaan di PPS, penghitungan ulang di PPK. Penghitungan ulang tersebut diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambat-lambatnya 20 hari setelah hari pemungutan suara.

Sementara bila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekap hasil penghitungan suara pada satu tingkat di bawahnya. Tidak jelas, apakah pihak Wiranto menggunakan instrumen ini atau tidak dalam proses penghitungan suara. Yang jelas, instrumen penghitungan ulang secara nasional memang tidak dikenal (dan memang tidak bisa dibayangkan dampaknya bila hal itu harus dilakukan –yang jelas MK tidak mungkin menyelesaikan perkara dalam waktu 14 hari).

Upaya hukum yang dijalankan pihak Wiranto ke MA (judicial review) dan ke MK (meminta penghitungan ulang secara nasional) bagaimanapun patut dihargai untuk proses pembelajaran. Namun, dengan hitungan-hitungan yuridis, permohonan tersebut kiranya bakal sulit membawa Wiranto ke tujuan akhir: masuk pada putaran kedua. Begitulah di atas kertas. Di atas lapangan, sungguh kita tidak tahu.***

Jakarta, 4 Agustus 2004

No comments: