17 March 2009

Katakan Tidak pada Rezim MA

Published by Jurnal Nasional, October 2008


Oleh Refly Harun

Pengamat Hukum, Mantan Staf Ahli MK


“Karena itu, dapat dikatakan bahwa pada pokoknya bukanlah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menerapkan sesuatu norma hukum yang seharusnya bersifat umum dan abstrak ke dalam suatu peristiwa konkret, karena hal tersebut sudah seharusnya merupakan wilayah kewenangan hakim melalui proses peradilan atau kewenangan pejabat tata usaha negara melalui proses pengambilan keputusan menurut ketentuan hukum administrasi negara.”

Kalimat di atas tertuang dalam Putusan MK Nomor 013/PUU-I/2003 yang dibacakan pada sidang tanggal 23 Juli 2004 terhadap pengujian UU Nomor 16 Tahun 2003. Undang-undang tersebut berisi penerapan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorsime untuk peristiwa bom di Bali tanggal 12 Oktober 2003, yang dikeluarkan setelah adanya peristiwa Bom Bali dan diberlakukan secara surut (retroaktif) kepada pelaku. Dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 undang-undang itu pun kemudian dibatalkan. Salah satu alasan pembatalan, undang-undang sebagai produk legislatif berisi kaidah-kaidah hukum mengatur yang bersifat umum dan abstrak (abstract and general norms), tidak seharusnya memuat kaidah-kaidah yang bersifat individual dan konkret (individual and concrete norms).

Gonjang-ganjing tentang perpanjangan usia pensiun hakim agung dari 65 ke 70 tahun yang muncul belakangan ini mengingatkan saya kembali pada putusan MK tersebut. Kendati tidak sama persis, revisi UU Mahkamah Agung (MA) yang saat ini digodok DPR sepertinya khusus ditujukan kepada pribadi-pribadi tertentu, terutama Ketua MA Bagir Manan yang akan memasuki masa pensiun. Bagir Manan seharusnya sudah pensiun dua tahun lalu, tetapi kemudian diperpanjang (oleh dirinya sendiri) sesuai dengan ketentuan yang ada hingga berusia 67 tahun. Tidak ada celah untuk memperpanjang lagi masa kekuasaan Bagir Manan, kecuali dengan perubahan undang-undang. Bila perubahan batas usia 70 tahun gol, Bagir akan bercokol di tampuk kekuasaan MK untuk tiga tahun ke depan.

Sejumlah komponen society mengkritik langkah memperpanjang usia pensiun tersebut. Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, melakukan aksi teatrikal di depan Gedung MA, menggambarkan bahwa MA saat ini telah menjadi kumpulan orang-orang jompo. Karena desakan-desakan itulah, DPR kemudian belum mengegolkan perpanjangan usia pensiun tersebut, paling tidak hingga saat ini. Itu artinya di atas kertas peluang Bagir untuk terus bercokol pupus sudah.

Bagi saya, masalah di MA saat ini bukan soal memperpanjang atau tidak memperpanjang usia pensiun hakim agung, melainkan masalah kepercayaan (trust). Selama tujuh tahun menjabat sebagai Ketua MA, Bagir tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. MA belum muncul sebagai lembaga yang dapat dipercaya. Publik masih tetap mempersepsi MA sebagai pusat jual beli perkara, suap-menyuap, dan citra negatif lainnya. Bagir Manan dan MA sendiri pernah jatuh pada titik nadir ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengobok-obok kantor Bagir Manan terkait dengan kasus suap yang melanda salah seorang hakim agung dalam kasus yang melibatkan pengusaha Probosutedjo. Saat itu, Bagir ditengarai juga terlibat dalam kasus tersebut.

Dengan catatan yang buruk tersebut, wajar bila komponen society menolak keberlangsungan kepemimpinan Bagir dengan entry point perpanjangan usia hakim agung. Seharusnya tidak ada reward bagi mereka yang tidak perform dalam melaksanakan tugasnya. Bagir dan MA telah mengkhianati satu agenda reformasi yang mahapenting, yaitu pemberantasan kourpsi. Sebagai garda atau benteng terakhir penjaga keadilan, MA berperan penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Alih-alih menjalankan fungsinya dengan benar, Bagir dan MA yang dipimpinnya justru menjadi pengganjal luar biasa agenda pemberantasan korupsi. Bagir dan MA tidak menjadi part of solution dalam pemberantasan korupsi, melainkan part of problem.

Sangat mengherankan bila pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah) tiba-tiba merasa penting bersegera menuntaskan masa perpanjangan usia hakim yang akan memberikan peluang Bagir untuk terus bercokol. Ada apa dengan DPR dan pemerintah? Pertanyaan ini kiranya wajar dilontarkan.

Spekulasi yang beredar, istana (baca: Presiden SBY) merasa ’nyaman’ dengan Bagir Manan. Bagir dianggap orang yang bisa diajak bekerja sama dengan istana. Inilah yang membedakan Bagir dengan Ketua MK Jimly Asshiddiqie yang akhirnya terjungkal lantaran (salah satunya) rekayasa istana melalui hakim-hakim konstitusi yang dipilih Presiden. Jimly dinilai terlalu independen dan putusan-putusan MK dinilai sering merepotkan pemerintah, salah satunya putusan bertubi-tubi tentang anggaran pendidikan minimal 20 persen.

Posisi Jimly yang kuat di publik membuat istana tidak mudah untuk menekan Ketua MK tersebut. Hal sebaliknya terjadi dengan Bagir. Posisinya yang lemah di mata publik karena sejumlah kasus menyebabkan Bagir lebih mudah untuk dipengaruhi dan ditekan kekuasaan di luar yudikatif. Seorang rekan beberapa hari lalu mengirimkan SMS kepada saya bahwa ektsekutif (Presiden) telah campur tangan dalam kekuasaan yudikatif. Pernyataan tersebut terkait dengan dua fenomena, yaitu pemilihan Ketua MK dan isu tentang perpanjangan usia hakim agung.

Dari pihak DPR, kepentingan memperpanjang rezim Bagir dkk bisa dikaitkan dengan banyaknya permasalahan hukum yang saat ini melanda para anggota DPR. Bila diobok-obok lebih jauh, bisa jadi yang terlibat dalam skandal tidak hanya segelintir anggota DPR seperti Alamin Nasution, Yusuf Faishal, dan Sarjan Taher, melainkan mayoritas wakil rakyat. Setelah merasa ’kebobolan’ dengan KPK karena ternyata tidak mau berkompromi, DPR tampaknya tetap ingin memelihara hubungan baik dengan Bagir Manan dan rezimnya di MA. Terlebih beberapa anggota Komisi III yang saat ini menggodok UU MA adalah mantan pengacara (beberapa di antaranya malah masih berpraktik diam-diam sebagai pengacara meskipun ada larangan) yang tetap ingin memelihara hubungan baik yang sudah terpelihara selama ini.

Agenda pemberantasan korupsi dalam bahaya bila institusi-institusi kunci seperti Presiden, DPR, dan MA tidak berkepentingan, bahkan merasa terganggu. Menghadapi fenomena seperti ini, tidak bisa tidak, segenap unsur civil society harus menyatukan tekad untuk menyatakan tidak pada rezim MA yang saat ini berkuasa. Sekali lagi, bukan karena perkara usia, melainkan trust yang sudah tida ada.***


Jakarta, 14 Oktober 2008

No comments: