17 March 2009

Komisi Kebenaran Vs Komisi Pembenaran

(The Truth Commission Vs the Justification Commission)


This article was published by the Indonesia media
Koran Tempo, 17 September 2003


By Refly Harun

Researcher at Centre for Constitutional Law, University of Indonesia

If we cannot secure all our rights, let us secure what we can.

(Thomas Jefferson, 1787)



SETELAH terkatung-katung lebih dari dua tahun, Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) kembali mewacana, ditandai dengan niat DPR untuk segera membahasnya. DPR sendiri sebenarnya sudah membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR pada 9 Juli 2004, namun hingga sekarang belum pernah bekerja (Koran Tempo, 3/9/2003). RUU KKR ini penting karena akan menjadi alas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang merupakan wadah bagi proses pencarian keadilan transisional (transitional justice) di Indonesia.
Transitional justice adalah suatu keadaan yang lazim dihadapi oleh negara-negara yang baru terlepas dari rezim otoriter menuju transisi demokrasi. Tema sentral dari keadaan ini adalah pemberian keadilan bagi korban-korban pelanggaran masa lalu oleh pemerintah atau rezim yang baru. Isu transitional justice di Indonesia mengemuka begitu pintu reformasi terkuak dengan tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Korban-korban masa lalu beramai-ramai menggugat pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa saat itu, dan meminta penguasa sekarang memberikan keadilan. Ini terjadi dengan korban-korban pelanggaran HAM di Aceh, Talangsari (Lampung), Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, Peristiwa 27 Juli, dan korban/keluarga korban tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II. Bahkan, mantan anggota PKI yang dipenjarakan tanpa proses pengadilan pun juga ikut unjuk suara.
Di Indonesia transitional justice diwadahi dengan dua pintu, yaitu pengadilan hak asasi manusia dan pembentukan KKR. Pintu pertama sudah dilakukan, misalnya pengadilan terhadap pelanggaran HAM di Timor Timur, Peristiwa 27 Juli, dan yang akan datang adalah Kasus Tanjung Priok. Namun, secara umum pintu pertama ini dinilai kurang memuaskan karena pengadilan HAM ternyata hanya menjangkau pelaku-pelaku di lapangan (kroco-kroco), dan sama sekali tidak menyentuh ‘dalang’ dari sejumlah pelanggaram HAM yang terjadi di masa lalu. Padahal, diyakini bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi itu tidak sekadar by omission (pembiaran) melainkan juga by commission (didesain oleh suatu struktur tertentu).
Pada titik inilah pentingnya sebuah kehadiran KKR. Melalui KKR korban-korban pelanggaran masa lalu dapat memperjuangkan hak mereka kembali yang sudah terenggut dengan pemulihan nama baik dan kompensasi. Sementara mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM dapat dimaafkan dengan prosedur tertentu. Pertama-tama, harus ada pengakuan dari pelanggar HAM bahwa mereka telah melakukan kejahatan. Pengakuan adalah kunci untuk berekonsiliasi dengan para korban. Bila korban (keluarga korban) menerima pengakuan tersebut dan mau memaafkan maka si pelanggar HAM akan terbebas dari hukuman dan akan memperoleh pemulihan nama baik pula (rehabilitasi). Sementara si korban akan memperoleh kompensasi atas penderitaan yang telah dialami. Contoh negara yang sukses menjalankan pola KKR ini adalah Korea Selatan dan Afrika Selatan.
Akankah kesukseskan yang sama bisa diraih di Indonesia? Persoalan yang segera menghadang KKR adalah apakah mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM mau mengakui kesalahannya dan kemudian meminta maaf. Apalagi, bila hal tersebut menyangkut institusi yang masih berkuasa (baca: TNI) dan figur yang saat ini masih powerful, atau paling tidak memiliki link tertentu dengan kekuasaan sekarang.
Terlepas dari upaya DPR untuk menyegerakan persetujuan RUU KKR, proyek transitional justice di Indonesia, baik melalui pintu pengadilan HAM maupun KKR, terancam gagal, untuk tidak dikatakan sudah gagal. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, absennya figur yang kuat. Salah satu negara yang relatif berhasil menjalankan proyek transitional justice adalah Afrika Selatan dan Korea Selatan. Di kedua negara tersebut dijalankan proses rekonsiliasi (islah) antara tiga pihak, yaitu pemerintah baru sebagai fasilitator, korban (victim), dan pelaku pelanggaran masa lalu. Sedikit perbedaan terjadi pada cara untuk menuju rekonsiliasi. Di Afrika Selatan rekonsiliasi dilakukan tanpa melalui tahap pengadilan. Sementara di Korea Selatan, rekonsiliasi dijalankan dengan terlebih dahulu membawa pelanggar HAM masa lalu itu ke meja hijau. Setelah dinyatakan bersalah, baru pelaku pelanggaran HAM masa lalu itu menjalani proses rekonsiliasi dengan korban.
Proses rekonsiliasi itu bisa berhasil karena hadirnya figur Nelson Mandela di Afrika Selatan dan Kim Dae Jung di Korea Selatan. Kedua pimpinan tertinggi negara itu adalah korban-korban masa lalu yang paling riil. Keduanya untuk waktu yang lama mendekam dalam penjara sebuah rezim. Nelson Mandela dipenjarakan rezim apartheid, sementara Kim Dae Jung dibui oleh rezim Chun Do Hwan. Itulah sebabnya, ketika tampil sebagai pioner proyek transitional justice, mereka sangat legitimate.
Kita tidak memiliki figur seperti Mandela dan Dae Jung. Tokoh-tokoh reformasi seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri bukanlah korban riil dari rezim masa lalu (Orde Baru). Di era Orde Baru, ketiga tokoh tersebut sempat 'menikmati' pekerjaan dan statusnya masing-masing. Gus Dur menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, Amien Rais Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan Megawati anggota DPR selama dua periode (1987-1992 dan 1992-1997). Mereka sama sekali tidak pernah mengalami kehidupan penjara seperti yang dirasakan pemimpin-pemimpin Indonesia masa lalu (Soekarno, Hatta, Syahrir, dan masih banyak lagi).
Kedua, reformasi yang tidak tuntas. Reformasi Mei 1998 yang dipelopori mahasiswa memang berhasil menumbangkan Soeharto. Namun, elemen-elemen pendukung rezim otoriter itu (Golkar dan militer) tidak tersentuh sama sekali. Reformasi Mei 1998 hanya menumbangkan puncak gunung es, namun tidak sampai pada lereng, apalagi kaki gunung. Problem utama yang diidap oleh Reformasi Mei 1998 adalah kegagalannya menarik batas yang tegas antara pendukung rezim masa lalu dan masa sekarang.
Saat ini, ketika Megawati naik ke puncak kekuasaan, masih banyak elemen masa lalu yang terangkut dalam gerbong kereta yang ia kendalikan. Termasuk mereka yang diduga kuat terkait dengan Peristiwa 27 Juli. Mega seolah tidak mampu mengungkapkan siapa dalang dari peristiwa yang merenggut nyawa para pendukungnya itu ---hingga kini tidak pernah jelas berapa sebenarnya korban Peristiwa 27 Juli. Yang dibutuhkan Mega saat ini adalah kestabilan pemerintahan walaupun harus dengan mengorbankan korban-korban masa lalu yang berjasa besar mendongkrak popularitasnya.
Kaitannya dengan proyek transitional justice, pembedaan yang tidak tegas antara "masa lalu" dan "masa kini" itu membuat pemerintah yang baru kesulitan untuk menemukan siapa sesungguhnya pelaku-pelaku pelanggaran masa lalu itu. Sebab, pemerintahan yang sekarang tidak semuanya mencerminkan aktor-aktor masa kini. Sebagian dari mereka juga adalah aktor-aktor masa lalu, atau masih menjalin link dengan aktor-aktor masa lalu. Karena itu, mereka tidak berkepentingan untuk mengungkap pelaku-pelaku pelanggaran masa lalu. Ada kecenderungan mereka bahkan menutup-nutupinya. Akibatnya, tidak pernah jelas siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas segala pelanggaran yang telah terjadi.
Itulah yang terjadi, misalnya, dengan tragedi Trisakti, 12 Mei 1998. Hingga kini tidak jelas siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas peristiwa yang merenggut empat nyawa mahasiswa Trisakti itu. Pengadilan atas kasus Trisakti hingga kini baru sampai pada pengadilan para prajurit, sedangkan jenderal yang seharusnya bertanggung jawab tidak pernah tersentuh. Tidak heran kemudian kalau pernah muncul keinginan dari para aktivis HAM untuk membawa pelanggaran selama Mei 1998 itu ke pengadilan internasional (international tribunal) karena tidak seriusnya pemerintah menuntaskan soal itu.
Dengan dua kelemahan itu, pemerintah saat ini memang tidak bisa diharapkan menjalankan proyek transitional justice dengan tuntas. Elemen-elemen masa lalu dalam pemerintahan sekarang akan terus-menerus menghalanginya. Komisi Kebenaran, bila jadi terbentuk, bisa menjadi ’Komisi Pembenaran’, yaitu pembenaran atas masa lalu. Dan bagi mereka yang ditindas hak-haknya keadilan bakal makin menjauh. Allahualam.***

Cibitung, Bekasi, 9 September 2003


No comments: