16 March 2009

Saatnya Komisi Konstitusi Dibentuk (The Time to Form a Constitutional Commission)

This Article was published by the Indonesian Media

Sinar Harapan, 18 April 2002


Refly Harun

Mahasiswa Pascasarjana UI Jurusan Hukum Tata Negara


Ide tentang pentingnya membentuk Komisi Konstitusi untuk menuntaskan reformasi konstitusi di Indonesia kini mencuat lagi ke permukaan setelah sempat ‘mati suri’ usai berakhirnya perhelatan Sidang Tahunan MPR 2001, 9 November tahun lalu. Dalam konferensi pers di Jakarta, 15 April lalu, Koalisi Organisasi Nonpemerintah (Koalisi Ornop) menggaungkan kembali pentingnya membentuk Komisi Konstitusi. Hal itu terutama dikaitkan dengan munculnya gerakan antiamandemen yang dipelolopori anggota MPR dari PDIP, Amin Aryoso, dengan Gerakan Nurani Parlemen (GNP)-nya. Di luar GNP, ada Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK) yang dimotori Prof. Usep Ranawijaya. Baik GNP maupun FKIK menganggap amandemen UUD 1945 telah kebablasan.

Saat ini GNP telah mengumpulkan setidaknya 200 tanda tangan anggota MPR untuk menghalau Perubahan Keempat UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR 2002, yang diharapkan sebagai pamungkas dari proses amandemen yang telah berlangsung sejak Sidang Umum MPR 1999. Namun, ST MPR 2002 yang akan berlangsung pada bulan Agustus itu kini terancam deadlock karena manuver Aryoso dan kawan-kawan itu. Bahkan, ada spekulasi bakal munculnya dekrit presiden untuk memberlakukan kembali UUD 1945 yang asli (sebelum diamandemen).

Spekulasi ini muncul karena pada dasarnya Megawati dan PDIP tidak menyukai amandemen sejak awal. “From the beginning we had stated that if possible we should not amend the constitution, but the party decided to follow the democratic process and support the amendment,” kata Sekjen PDIP Soetjipto seperti dikutip The Jakarta Post edisi 10 April 2002. Melalui pintu gerakan Aryoso dan kawan-kawan itu bukan tidak mungkin Megawati dan PDIP berpikir kembali bahwa “UUD 1945 memang seharusnya tidak diamandemen”.

Kembali kepada UUD 1945 yang asli tentu bukan ide baik. Di bawah sistem UUD 1945 bangsa ini telah terjerumus ke dalam dua rezim otoriter, yaitu Orde Lama (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998). Namun, berharap MPR mampu menyempurnakan pekerjaannya dalam ST MPR 2002 seperti menegakkan benang basah. Tidak hanya gerakan Aryoso dkk. yang bakal mengganjal MPR menyempurnakan proses perubahan UUD 1945, tetapi juga hasil pekerjaan MPR selama ini. Tiga kali amandemen sejak 1999 menimbulkan banyak persoalan. Dan semua persoalan itu sejatinya harus bisa diselesaikan pada ST MPR 2002.

Yang bakal dibahas dalam ST MPR 2002 nanti tidak hanya pasal-pasal krusial yang ditunda pembahasannya dalam ST MPR 2001, seperti pasal tentang pemlihan presiden pada putaran kedua (second round) dan komposisi MPR, melainkan juga pasal-pasal yang sama sekali belum dibahas, yaitu Pasal 25 (tentang penegakan hukum) hingga Pasal 37 (tentang perubahan undang-undang dasar). Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin ST MPR 2002 bakal sukses menyepakati pasal-pasal yang tidak atau belum disepakati itu? Dua kali pengalaman sidang tahunan (ST MPR 2000 dan 2001) telah mengajarkan kepada kita betapa susahnya fraksi-fraksi di MPR mencapai kata sepakat, terutama yang berhubungan dengan pasal-pasal krusial seperti disinggung di atas. Memang, ada konsensus di antara fraksi-fraksi, bila tidak tercapai lagi kesamaan pendapat, akan dilakukan voting. Namun, voting itu sendiri bisa menjadi sumber deadlock baru.

Penulis contohkan pasal tentang pemilihan presiden secara langsung. Yang sementara ini disepakati baru pemilihan pada putaran pertama (first round). Untuk pemilihan putaran kedua (second round), fraksi-fraksi di MPR masih terbelah ke dalam dua pendapat. Ada yang menginginkan pemilihan putaran kedua dikembalikan ke rakyat, ada yang berpendapat sebaiknya hal itu dilakukan oleh MPR. Bila tidak terjadi mufakat pada ST MPR 2002, sesuai dengan konsensus, akan dilakukan voting. Aturan tentang voting itu, sebagaimana dapat kita baca dalam Pasal 37 UUD 1945, ialah harus dihadiri 2/3 anggota MPR, dan keputusan harus dengan 2/3 suara dari yang hadir.

Masalah akan muncul bilamana setelah diadakan voting tidak ada pihak yang mencapai suara 2/3. Itu artinya dua pendapat tentang pemilihan putaran kedua itu tidak ada yang diterima. Lalu, bagaimana dengan kesepakatan pemilihan putaran pertama yang sudah dicapai pada ST MPR 2001? Inilah yang penulis maksudkan sebagai sumber deadlock baru. Bagaimanapun pasal tentang pemilihan presiden itu satu paket. Bila satu pasal tidak disetujui, logikanya pasal yang lain gugur. Kecuali kalau kita ingin aturan tentang pemilihan presiden itu menggantung dalam UUD 1945.

Lima kelemahan

Terlepas dari masalah di atas, UUD 1945 yang telah diadakan perubahan sebanyak tiga kali itu sebenarnya masih memiliki beberapa kelemahan. Pertama, dari segi performa, UUD 1945 saat ini terlihat kurang baik. Lihat saja penamaan pasalnya, yang tidak jarang dimulai dari huruf a hingga i. Konstitusi negara lain, sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada yang seperti itu. Hal ini terjadi karena dalam perubahan UUD 1945 dipakai jalan amandemen, yaitu dengan melekatkan atau melampirkan naskah hasil amandemen sebagai bagian tak terpisahkan dari naskah asli. Karena yang dipakai jalan amandemen, jumlah bab dan pasal tetap dipertahankan, yaitu 16 bab dan 37 pasal. Penambahan bab dan pasal dilakukan dilakukan dengan penggunaan huruf A, B, C, dan seterusnya.

Padahal, materi yang diatur dalam amandemen itu sangat substansial, yang menata ulang kembali sistem ketatanegaraan yang ada, antara lain dengan pemilihan presiden secara langsung dan penerapan sistem perwakilan dua kamar (bikameral). Menurut penulis, yang lebih tepat dipakai sebenarnya jalan penggantian undang-undang dasar, bukan amandemen. Dengan begitu, performa konstitusi bisa dibuat lebih fleksibel, tidak harus dengan 16 bab dan 37 pasal.

Kedua, dari segi teks atau rumusan, UUD 1945 yang telah diubah itu juga tidak bisa dibilang baik. Sebagai contoh rumusan Pasal 18. Prof. Dr. Benyamin Husein berpendapat rumusan pasal itu telah menempatkan para anggota MPR, terutama yang terlibat dalam rumusan amandemen, sebagai ‘provokator’ disintegrasi, karena telah merumuskan pasal yang membagi-bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan yang lebih tepat cukup misalnya dikatakan NKRI terdiri atas daerah-derah provinsi…dst.

Ketiga, UUD 1945 yang telah diubah itu terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lebih lanjut tentang suatu hal ke dalam bentuk undang-undang. Justru hal inilah yang menjadi salah satu titik lemah UUD 1945 (sebelum diamandemen). Dalam catatan penulis, paling tidak terdapat 27 hal yang harus diatur lebih lanjut dalam UU. Rinciannya, perubahan pertama terdapat satu materi, perubahan kedua dan ketiga masing-masing 13 materi. Ini hitungan yang luar biasa, karena UUD 1945 (sebelum diamandemen) sendiri hanya mengatur 14 hal yang pengaturan lebih lanjutnya dalam bentuk undang-undang. Itu pun sudah banyak dikritik.

Apa yang salah dengan pengaturan lebih lanjut dengan undang-undang? Sejarah Orde Baru telah membuktikan bahwa pengaturan lebih lanjut oleh undang-undang seringkali mengurangi atau bahkan meniadakan materi konstitusi. Sebagai contoh, Pasal 28 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik secara lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang. Undang-undang organik Pasal 28 selama era Orde Baru itu justru menghalangi kemerdekaan warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, contohnya apa yang dikenal dengan lima paket undang-undang politik tempo hari.

Keempat, perubahan UUD 1945 dibuat dengan semangat ‘menggembosi’ kekuasaan eksekutif dan ‘menggelembungkan’ kekuasaan legislatif. Akibatnya, UUD 1945 bergerak dari ekstrem executive heavy ke legislative heavy. Ini tercermin dari rumusan pasal yang mengharuskan Presiden meminta ‘restu’ DPR terhadap hal-hal yang sebenarnya menjadi hak prerogatifnya, misalnya dalam pengangkatan dan penerimaan duta besar (Pasal 13).

Proses perumusan perubahan UUD 1945 itu sendiri berlangsung dalam kondisi yang tidak ‘fair’ di antara cabang-cabang kekuasaan negara (Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung). MPR yang memiliki wewenang konstitusional untuk melakukan perubahan UUD 1945 itu tidak lain adalah DPR plus ---anggota MPR 695, 500 di antaranya berasal dari DPR. Tidak heran kalau nuansa legislative heavy mengedepan dalam perubahan UUD 1945.

Salah satu raison d’etre dari adanya konstitusi adalah pembatasan kekuasaan negara agar hak-hak asasi rakyat terlindungi. Akan tetapi, jangan dilupakan bahwa kekuasaan negara itu tidak hanya terjelma melalui kekuasaan eksekutif (lembaga kepresidenan), melainkan juga melalui cabang-cabang kekuasaan negara yang lain (yudikatif dan legislatif). Karena itulah, di Amerika Serikat misalnya, kita mengenal checks and balances system di antara cabang-cabang kekuasaan negara. Ajaran ini mensyaratkan terjadinya keseimbangan kekuasaan di antara ketiga cabang kekuasaan itu. Tidak boleh ada cabang kekuasaan yang lebih kuat dari yang lainnya. Jadi, pergerakan UUD 1945 dari executive heavy ke legislative heavy itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Kelima, ini yang paling penting, bangunan sistem ketatanegaraan dalam UUD 1945 saat ini makin tidak jelas. Melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 diterima prinsip pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Itu artinya presiden mendapatkan legitimasinya langsung dari rakyat. Oleh karena itu ia pun harus bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Anehnya, MPR tetap mempertahankan kelembagaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) yang menjadi muara pertanggungjawaban presiden. Ini jelas inkonsisten.

Melihat kenyataan itu, ditambah dengan ancaman kelompok-kelompok antiamandemen, sudah saatnya MPR mengamanatkan pembentukan Komisi Konstitusi dalam ST MPR 2002 nanti. Komisi inilah yang akan menyiapkan rancangan konstitusi yang lebih baik daripada yang dihasilkan MPR. Masalah konstitusi kita saat ini, tidak hanya terletak pada tantangan kelompok-kelompok antiamandemen seperti dipelopori Aryoso dkk dan sulitnya mencapai kata sepakat di antara anggota MPR, melainkan juga terletak pada kemampuan Majelis menghasilkan konstitusi yang baik. Penulis, terus terang, meragukan MPR. ****

No comments: