17 March 2009

Gonjang-Ganjing Capres Independen

Published by Media Indonesia, September 2007


Oleh Refly Harun

Analis Hukum Konstitusi; Alumnus University of Notre Dame, AS


Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah mengembuskan tuntutan kontroversial mengenai dibukanya calon presiden perseorangan untuk Pemilu 2009. Seperti yang disampaikan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, usulan DPD mengenai hal tersebut didasarkan pada aspirasi yang berkembang di masyaraka. Ide ini ternyata digelindingkan juga oleh tokoh-tokoh nasional yang hadir dalam acara peresmian gedung Mahkamah Konstitusi (MK), 14 Agustus lalu, seperti Akbar Tandjung dan Amien Rais.

Tidak bisa dimungkiri, sedikit banyak hal tersebut pastilah juga karena dampak dari putusan MK yang membuka pintu calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Dalam putusan yang dibacakan pada 23 Juli lalu, MK menyatakan bahwa menutup pintu bagi calon perseorangan dan hanya membuka pintu bagi pencalonan oleh partai politik bertentangan dengan konstitusi. Alasannya, pintu calon perseorangan telah dibuka di daerah Aceh. Bila pintu itu ditutup bagi daerah selain Aceh maka daerah-daerah lain akan menikmati hak yang kurang dibandingkan dengan masyarakat di Serambi Mekah tersebut. Hal ini mengingkari prinsip kesamaan (equality) yang dijamin oleh UUD 1945.

Disebut kontroversial karena apa yang diusulkan tersebut, dapat dikatakan, di luar mainstream pemikiran hukum tatanegara saat ini. Bicara capres perseorangan, mayoritas ahli hukum tatanegara dan politisi akan menyatakan bahwa UUD 1945 telah menutup pintu bagi ide tersebut. Alasannya, Pasal 6A ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Seperti dikutip Media Indonesia (21/8), Lukman Hakim Seafudin, Ketua Fraksi PPP di DPR yang juga salah seorang tokoh perumus perubahan UUD 1945 dalam kurun waktu 1999-2002, menyatakan, “"Kalau mau ada capres perseorangan, pasal itu (Pasal 6A ayat [2]) harus diamandemen. Jika tidak diubah, tidak ada peluang bagi capres independen. MK, DPR, dan Presiden tidak berhak mengamandemen konstitusi. Itu kewenangan MPR.”

Ketika mengomentari mengenai spekulasi mengenai capres perseorangan pascaputusan MK, Denny Indrayana misalnya menulis, “Meski berhasil membuka kunci monopoli pencalonan kepala daerah oleh parpol, MK hanya dapat menguji konstitusionalitas undang-undang atas Undang-Undang Dasar. MK tidak dapat menyoal problematika dalam konstitusi itu sendiri. Maka, monopoli pencalonan presiden oleh parpol, yang diatur Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, tidak dapat ditembus MK, kecuali pasal itu diubah MPR. Maka, peluang calon presiden perseorangan tetap tertutup.” (Kompas, 30/7). Pendapat Lukman Hakim dan Denny itu bisa dikatakan mewakili pendapat mayoritas ahli hukum tatanegara dan politisi. Tulisan ini justru berpendapat sebaliknya. Senada dengan pendapat DPD, pintu calon perseorangan belum tertutup sama sekali.

Penafsiran Teks

Untuk mengetahui makna hakiki dari sebuah teks konstitusi diperlukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation). Dalam bahasa Hess (2006), penafsiran konstitusi adalah “the specific way that judges understand the text of the constitution - what they believe it means.” Goldsworthy (2006) menggarisbawahi mengapa suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan, yaitu karena sering ketentuan suatu konstitusi, seperti halnya bentuk hukum lainnya, bersifat ambigu, kontradiktif, tidak cukup jelas, bahkan tidak memberikan penjelasan apa-apa terhadap sengketa-sengketa konstitusional.

Ada banyak metode penafsiran konstitusi yang dikenal. Dua di antaranya adalah textual method (terxtualism) dan historical method (original intent). Penafsiran pertama mengetahui makna konstitusi melalui kata-kata yang secara aktual tertera dalam suatu dokumen tertulis. Seperti dicatat Kommers (2004), “textualism is based on the unremarkable claim that constitutional interpretation must begin with the written word.”

Metode yang kedua adalah mengetahui makna suatu teks konstitusi dengan menelusuri sejarah perumusan teks tersebut, yaitu apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh para pembentuk teks (framers). Mengutip Kommers lagi, “some judges and scholars have argued that the aim of constitutional interpretation is to discover what the founders intended the provision at hand to mean. Once discovered, intent governs the case.”

Diletakkan pada metode penafsiran sejarah, sulit untuk dibantah bahwa kehendak the second founding parents pada gelombang reformasi konstitusi 1999-2002 adalah calon presiden hanya boleh diajukan oleh parpol. Kehendak ini bisa dipahami karena wakil-wakil dari parpol mendominasi keanggotaan MPR, badan yang memiliki kewenangan konstitusional untuk mengubah dan atau menetapkan konstitusi. Intensi ini kemudian dirumuskan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Diletakkan dalam konteks pendapat yang dikemukakan Kommers, original intent bahwa hanya parpol yang dapat mengajukan calon perseorangan seharusnya menjadi guide dalam menafsirkan ketentuan Pasal 6A ayat (2).

Namun, marilah kita lihat apa yang tertera dalam Pasal 6A ayat (2) dalam perspektif penafsiran lain. Pasal itu menyatakan bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Melalui metode penafsiran tekstual, pasal ini bisa diartikan bahwa yang diatur adalah waktu pengajuan capres oleh parpol, yaitu sebelum pemilu, bukan norma bahwa hanya parpol yang boleh mengajukan capres. Pasal ini sama sekali tidak mengatur bahwa hanya parpol yang bisa mengajukan capres. Bila pengajuan hanya monopoli parpol, teks pasal tersebut seharusnya berbunyi lebih tegas seperti: ”Pasangan capres dan cawapres hanya boleh diajukan parpol atau gabungan parpol...”. Di luar Pasal 6A ayat (2) tidak terdapat ketentuan UUD 1945 yang mengindikasikan bahwa hanya parpol yang boleh mengajukan capres.

Bagaimana dengan calon independen atau perseorangan? Jelas bahwa UUD 1945 tidak mengaturnya. Namun, sesuatu yang tidak diatur dalam konstitusi tidak berarti inkonstitusional. Bila doktrinnya seperti itu, banyak hal yang harus dianggap inkonstitutional dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Contohnya jabatan wakil kepala daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menyebutkan mengenai pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Pasal tersebut sama sekali tidak menyinggung mengenai pemilihan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota. Praktik yang berkembang selama ini, hampir tidak ada yang mempersoalkan bahwa jabatan wakil kepala daerah merupakan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi.

Seandainya UU Pilpres nanti menerima usulan DPD untuk mengadopsi calon perseorangan, berdasarkan textual interpretation, hal itu sama sekali tidak bisa dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Kendati harus diakui, ide untuk mengadopsi calon perseorangan jelas tidak mudah untuk diakomodasi mengingat hegemoni parpol dalam pembentukan undang-undang. Parpol akan menolak mentah-mentah gagasan mengadopsi capres independen. Tidak hanya karena keyakinan bahwa UUD 1945 telah menutup pintu, melainkan juga karena parpol tetap ingin memonopoli proses rekrutmen politik untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun, dengan mengabaikan realitas yang ada, seandainya ada perjuangan untuk memasukkan ketentuan capres independen dalan norma undang-undang, yang perlu digarisbawahi, hal itu tidak perlu dicapai dengan mengubah konstitusi terlebih dulu. UUD 1945 sama sekali tidak melarang calon presiden independen!


Jakarta, 3 September 2007

No comments: