Published by Koran Tempo, 6 April 2004
Refly Harun
· Peneliti pada Pusat Studi Hukum Tata Negara UI
Beberapa tokoh masyarakat telah berkumpul dan mencetuskan prakarsa membangun Aliansi Besar untuk Perubahan di gedung Graha Niaga,
Sayang, aliansi tidak menyebut politikus atau partai apa yang bermasalah dan bakal mengundang oposisi besar seandainya mereka berkuasa kembali. Hal ini bisa dimaklumi karena tidak mungkin aliansi menyebut hal itu secara eksplisit. Tetapi, publik dapat mafhum bila yang disodorkan dua partai besar yang saat ini berkuasa atau berpotensi kembali untuk berkuasa: PDIP dan Golkar.
Berdasarkan hasil-hasil jajak pendapat dari lembaga-lembaga survei (LSI, IRI, IFES, Soegeng Sarjadi Syndicate, Mars, dan lain-lain), PDIP dan Golkar sangat berpeluang memenangkan Pemilu 2004. Bahkan ada indikasi kuat PDIP dan Golkar bersanding untuk pemilihan presiden 5 Juli nanti.
Bagi sebagian pengamat--seperti Denny J.A.--seandainya PDIP dan Golkar menghindar bertanding lalu bersanding untuk pemilihan presiden, selesailah pemilihan pucuk pimpinan eksekutif tertinggi dalam sekali putaran. Tidak akan ada putaran kedua. Kalkulasi itu didorong oleh kenyataan survei bahwa suara PDIP dan Golkar, bila digabungkan, sudah lebih dari 50 persen, syarat untuk menang langsung pemilihan presiden sekali putaran saja.
Begitu bebas dari cengkeraman hukum melalui putusan kasasi MA, Januari lalu, Akbar Tandjung pernah menyambut spekulasi bersanding dengan PDIP, bahwa dirinya siap menjadi wakil presiden, pernyataan yang kemudian memancing "kemarahan" calon presiden konvensi Partai Golkar seperti Surya Paloh. Akbar dianggap telah merendahkan Partai Golkar dengan menyatakan kesiapannya itu. Walaupun kemudian Akbar meralat kembali kesediaannya itu, spekulasi bahwa Golkar akan "bermain mata" dengan PDIP tidak juga surut. Terlebih Taufiq Kiemas selalu menggaungkan kemungkinan koalisi dengan Golkar dan juga NU.
Selain fenomena "kawin" Golkar-PDIP itu, panggung Pemilu 2004 juga diwarnai revivalisasi kekuatan Orde Baru dalam wujud Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Meskipun dalam hasil-hasil survei PKPB belum banyak diperhitungkan--Siti "Tutut" Hardijanti Indra Rukmana sudah mulai masuk bursa calon presiden, paling tidak menurut survei IFES--ada satu soal yang perlu dikemukakan, ternyata bangsa ini memiliki ingatan pendek saja terhadap sejarah. Kita seperti menderita amnesia sejarah.
Masih segar dalam ingatan kita ketika pada era 1998-1999 para aktivis partai berupaya menghapus jejak kegolkaran mereka--sehingga muncullah Golkar dengan paradigma baru--dan keordebaruan mereka. Sesuatu yang berhubungan dengan Soeharto dan keluarga Cendana dijauhi. Jangankan untuk mengkampanyekan "pilihlah saya", untuk tampil di publik saja para anggota keluarga Cendana menghindar.
Kini, setelah
Calon-calon presiden konvensi Partai Golkar--yang dalam berkampanye saling sikut di antara mereka--sepakat bahwa Golkar adalah partai berpengalaman lebih dari 30 tahun dan karenanya layak dipilih. Hal ini, misalnya, terlihat dari kampanye distortif Prabowo Subianto tentang
Hasil survei yang mengunggulkan PDIP dan Golkar serta revivalisasi keordebaruan adalah fenomena yang menakutkan. Dua fenomena ini layaknya mimpi buruk dalam ritual pesta demokrasi bernama pemilu. Mengerikan saat membayangkan segi tiga Golkar-PDIP-PKPB benar-benar berkuasa lagi dan memimpin kembali
Ini mungkin penilaian subyektif, tetapi bagaimanapun fakta dan sejarah tidak bisa dilupakan begitu saja. Ketika Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, hasil akhir yang dicapai adalah kehancuran bangsa. Utang luar negeri menumpuk, korupsi merajalela, dan
Di era pemerintahan PDIP, semula harapan membubung tinggi. Tetapi, lama-kelamaan kalangan kritis melihat Partai Moncong Putih ini tak berbeda jauh dengan Golkar, terutama dalam agenda pemberantasan korupsi. Ketika berpidato menyambut kemenangan partainya pada 28 Juli 1999 Megawati pernah menjanjikan untuk mendatangkan era kebebasan bagi Aceh. Namun, justru pada masa pemerintahan Megalah invasi terhadap Aceh dilakukan secara besar-besaran.
Dalam agenda pemberantasan korupsi Mega sejak awal terlihat ragu-ragu. Hal ini ditunjukkan dengan penunjukan Jaksa Agung M.A. Rachman yang justru ditengarai terlibat korupsi berdasarkan laporan KPKPN. Mega bergeming ketika ada tuntutan masyarakat agar M.A. Rachman diberhentikan. Sejumlah daftar kegagalan pemerintahan Megawati bisa dikemukakan, yang pada intinya menunjukkan bahwa Mega dan PDIP bukanlah lilin harapan bagi masa depan bangsa.
Dalam beberapa kesempatan, para fungsionaris PDIP kerap menyalahkan Orde Baru sebagai penyebab dari semua kehancuran bangsa. Itu tidak salah, tetapi pemerintahan Megawati bisa dikatakan tidak dapat memberikan harapan lagi bagi
Menghadapi ancaman kembali berkuasanya PDIP dan Golkar (ditambah PKPB) aliansi yang digagas tokoh semacam Cak Nur itu penting adanya. Tanpa aliansi besar itu sangat muskil untuk menghadang kekuatan tiga partai bergelimang duit itu. Seandainya aliansi sudah terlambat untuk menghadang kemenangan PDIP dan Golkar di pemilu legislatif, aliansi harus diarahkan pada pemilihan presiden 5 Juli nanti. Yang penting, kekuatan di luar PDIP, Golkar, dan PKPB mau maju bersama. Jangan biarkan publik kembali cemas akan hasil pemilu, ritual demokrasi yang ternyata tidak pernah membawa perubahan.
No comments:
Post a Comment