17 March 2009

Mewadahi Tuntutan DPD

Published by Koran Tempo, 19 July 2006

Refly Harun

· Staf Ahli Mahkamah Konstitusi

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) beberapa waktu lalu kembali mendengungkan pentingnya penguatan DPD. Tuntutan ini dapat dipahami bila menyimak apa yang tertera dalam perubahan UUD 1945 sebagai hak dan kewajiban DPD. Dari semua hak dan kewajiban DPD yang tercantum dalam UUD 1945, tidak ada satu pun yang bersifat menentukan (determinan) karena semuanya bergantung pada kemauan (political will) DPR. Misalnya hak untuk mengajukan rancangan undang-undang.

Selain dibatasi hanya terhadap bidang tertentu, RUU usul inisiatif DPD itu tidak jelas nasibnya. Semuanya akan bergantung pada DPR, apakah menerima atau tidak RUU tersebut. Andai pun RUU kemudian disetujui untuk dibahas, DPD tidak bisa mengawalnya hingga ke tingkat persetujuan. Kewenangan membahas DPD ditentukan hanya pada pembicaraan awal berupa pemandangan umum terhadap RUU. Setelah itu, lembaga ini tidak diperkenankan lagi ikut dalam pembahasan karena pembicaraan selanjutnya hanya dilakukan oleh DPR dan pemerintah.

Kewenangan legislasi DPD bahkan bisa dikatakan lebih kecil ketimbang kewenangan pemerintah. Setiap RUU menghendaki persetujuan bersama DPR dan pemerintah, tidak mensyaratkan persetujuan DPD. Andai pun DPD tidak menyetujui suatu RUU yang diinisiasinya--karena misalnya telah melenceng dari konsep awal--lembaga ini tidak bisa berbuat apa-apa sepanjang DPR dan wakil pemerintah telah sepakat.

Ironi kewenangan DPD ini bisa diilustrasikan dari pengalaman Kafrawi Rahim, salah seorang ketua panitia ad hoc di DPD. Ketika terjadi pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 (Pemilihan Kepala Daerah), DPD diundang untuk memberikan pendapat. Setelah DPD menyampaikan pendapat terhadap peraturan tersebut, rapat paripurna DPR diskors untuk mempersilakan DPD meninggalkan ruang sidang. "Sakit hati saya diperlakukan seperti itu," kata Kafrawi Rahim dalam diskusi di DPD beberapa waktu lalu.

Bagi saya, mempertahankan keberadaan DPD dengan kewenangan seperti saat ini tidak ada gunanya, hanya menghambur-hamburkan uang negara. Bayangkanlah berapa biaya yang dibutuhkan untuk membentuk kelembagaan DPD, dari biaya sumber daya manusia (gaji dan tunjangan para anggota DPD berikut staf kesekretariatan) hingga bangunan fisiknya (gedung). Biaya untuk menyelenggarakan pemilu anggota DPD juga tidak bisa dibilang kecil. Para calon anggota DPD yang kemudian terpilih menjadi anggota DPD pun berkorban tidak sedikit. Medan pertarungan pemilu mereka lebih luas dibandingkan dengan para calon anggota DPR. Dalam satu provinsi, daerah pemilihan anggota DPR bisa lebih dari satu, sedangkan untuk pemilihan anggota DPD satu provinsi menjadi satu daerah pemilihan.

Dengan fakta ini, pilihan terhadap DPD hanya dua: dibubarkan atau diperkuat. Saya pribadi ingin memilih yang kedua dengan dua alasan. Pertama, keberadaan DPD buah dari reformasi untuk lebih menyeimbangkan aspirasi pusat dengan aspirasi lokal agar keputusan atau kebijakan parlemen tidak bias Jakarta lagi. Kedua, keberadaan DPD yang lemah saat ini buah dari reformasi konstitusi yang diwarnai praktek dagang sapi (tradeoff). Seperti dicatat Denny Indrayana dalam disertasinya (2005), Slamet Effendy Yusuf mengakui ide mengenai DPD dipertukarkan dengan gagasan pemilihan presiden secara langsung antara dua fraksi terbesar di MPR, Fraksi Golkar dan Fraksi PDI Perjuangan. Demi diterimanya ide pemilihan presiden secara langsung, Fraksi Golkar bersedia menerima penerapan weak bicameralism karena Fraksi PDI Perjuangan menolak strong bicameralism dengan alasan akan membawa Indonesia ke arah federalisme.

Amendemen

Pertanyaan yang segera menyergap: dengan cara apa penguatan itu dilakukan? Satu-satunya cara adalah mengubah konstitusi (UUD 1945). Namun, penting dicatat bahwa perubahan konstitusi tidak hanya harus melalui amendemen formal (formal amendment) seperti yang tertera dalam Pasal 37 Perubahan Keempat UUD 1945 yang menghendaki persetujuan mayoritas anggota MPR. Selain ketiga metode tersebut, Wheare (1971) menyebut tiga kemungkinan perubahan konstitusi: (i) melalui some primary forces, (ii) melalui judicial interpretation, dan (iii) melalui usages and conventions. Dalam kaitan dengan hal ini, perlu digarisbawahi masalah judicial interpretation dan convention.

Perubahan Ketiga UUD 1945 telah mengintroduksi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menafsirkan konstitusi. Penafsiran tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusan pengujian undang-undang, sengketa kewenangan, pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, dan pemakzulan. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian undang-undang adalah Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Banyak yang tidak sadar bahwa melalui putusan ini Mahkamah Konstitusi telah mengubah teks UUD 1945 melalui judicial interpretation. Mahkamah Konstitusi membenarkan ketentuan dalam undang-undang ini mengenai penerapan asas retroaktif terhadap pelaku kejahatan hak asasi manusia berat berupa crime against humanity dan genosida. Padahal teks dalam UUD 1945 jelas-jelas menyatakan, "...hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."

Mengenai convention (konvensi), perlu juga dicatat bahwa hal ini pun pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan kita, yaitu ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 16 Oktober 1945 mengeluarkan Maklumat Nomor X yang menyebabkan Indonesia menerapkan sistem parlementer. Padahal UUD 1945 secara tegas menyatakan, "Presiden memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar." Maklumat ini diterima dan didukung rakyat, terutama oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada pada waktu itu, sehingga menjadi konvensi ketatanegaraan yang diterima.

Dikaitkan dengan agenda penguatan DPD, seandainya dikhawatirkan bahwa formal amendments (lagi) akan membuka "kotak pandora" sehingga akan bersinggungan kembali dengan pembicaraan terhadap dasar negara yang dianggap tabu untuk dibicarakan lagi, bisa saja penguatan tersebut diwadahi melalui konvensi ketatanegaraan. Dalam hal ini, empat lembaga penting negara, MPR, DPR, DPD, serta presiden, bersepakat untuk memperkuat fungsi DPD berupa pemberian kewenangan legislatif yang setara dengan DPR. Namun, sebelumnya, harus diciptakan dulu prakondisi bahwa masyarakat memang menerima gagasan penguatan DPD tersebut.

No comments: