17 March 2009

Menjadi Republik Titanic

Published by Koran Tempo, 27 January 2004


Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


Masih ingat film Titanic? Adegan berkasihan sepasang anak manusia berbeda status sosial, Rose (diperankan Kate Winslett) dan Jack (diperankan Leonardo Di Caprio), mungkin itulah yang paling mudah diingat dalam film ini –salah satunya adegan ketika Rose dengan bimbingan Jack merentangkan tangan di haluan kapal besar Titanic dengan background lagu My Heart Will Go On yang dibawakan secara apik oleh Celine Dion. Tetapi sesungguhnya Titanic berisi pesan moral bahwa kepongahan manusia ada batasnya. Kapal Titanic yang dipretensikan penciptanya sebagai “Tuhan pun tidak sanggup menenggelamkannya” akhirnya karam membentur bongkah gunung es di laut dingin dan ganas Samudra Atlantik.

Bila terus-menerus tidak ada perubahan, Indonesia terancam menghadapi gejala Titanic: tenggelam sebagai sebuah bangsa. Penyebabnya, transisi politik yang dimulai ketika Soeharto tumbang dan yang semula menjanjikan harapan kini telah mulai pudar. Reformasi sudah menjadi slogan mati dan kerap dipelesetkan menjadi repot-nasi. Masyarakat pun lantas rindu pada era sebelum reformasi dan menganggap era itu lebih baik dari masa kini. Gejala ini terllihat dengan munculnya partai baru yang secara terang-terangan mengusung aktor-aktor Orde Baru sebagai calon pemimpin, seperti Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dipimpin Jenderal (Pur) Hartono, mantan KSAD dan Mendagri di era Orde Baru. Hartono secara terang-terangan menjagokan Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Mbak Tutut) sebagai calon presiden. “Senyum” dan “Kesantunan” Tutut, menurut Hartono, “dirindukan” rakyat. SARS (sindrom akut rindu Soeharto) pun menjadi kosa kata baru menjelang Pemilu 2004.

Salah satu yang membuat kapal Indonesia menuju fenomena Titanic adalah kegagalan institusi-institusi baru mengemban amanat era transisi. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara), MK (Mahkamah Konstitusi), TGPTK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dan terakhir KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak/belum berhasil membesarkan lilin harapan masyarakat akan era baru yang lebih baik. Padahal, raison d’etre munculnya lembaga baru di era transisi ini sendiri disebabkan lembaga-lembaga lama yang eksis sebelumnya dipandang tidak mampu lagi menuntaskan tugas-tugas mereka secara lebih bertangung jawab, terutama di mata publik. Itulah sebabnya, lembaga-lembaga lama itu lantas digantikan sebagian atau seluruh perannya oleh lembaga baru.

Gejala itu mulai terlihat ketika proses perubahan konstitusi dilakukan. Lembaga kepresidenan yang di era Orde Lama dan Orde Baru begitu kuat perannya harus menyerahkan kekuasaan membentuk undang-undang kepada DPR. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, melainkan hanya sekadar lembaga inisiator RUU. Bandul kekuasaan pun bergerak dari executive heavy ke legislative heavy. Namun, DPR tidak bisa melenggang sendiri dalam aras kekuasaan legislatif. Ia mesti berbagi peran dengan DPD, lembaga negara yang sama sekali baru, paling tidak dalam hal pembuatan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi daerah.

Di aras kekuasaan yudikatif, Mahkamah Agung (MA) harus berbagi peran dengan MK. MK mengambil peran yang belum sempat dijalankan MA yang di negara-negara dengan sistem anglo saxon (seperti AS) merupakan wewenang MA, yaitu melakukan pengujian undang-undang, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutus pembubaran parpol, dan memutus sengketa hasil pemilu, serta memberikan pendapat hukum dalam proses pemberhentian presiden (impeachment). Dengan tumpukan perkara mencapai hampir 20-an ribu perkara, MA tidak mungkin lagi dibebani tugas-tugas lain.

Yang paling anyar adalah pembentukan KPK. Hadirnya lembaga ini dilatarbelakangi ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga lama yang berwenang menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Sebagai prolog dari hadirnya KPK, telah ada lebih dulu TGPTPK yang mengemban fungsi KPK untuk sementara waktu. Selain itu, ada pula KPKPN yang eksis dalam menghalau korupsi dari sisi preventif, yaitu mengobok-obok catatan harta para penyelenggara/pejabat negara. Lembaga ini tetap eksis hingga hadirnya KPK.

Akan tetapi, lembaga-lembaga baru tersebut belum memberikan banyak harapan di era transisi ini. DPR, sang pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, justru lebih banyak menelurkan undang-undang yang kerap kedap terhadap aspirasi publik. Sementara kebijakan-kebijakan yang ditelurkan justru melawan bahkan menantang keinginan publik, terutama terkait dengan kebijakan penunjukan pejabat-pejabat publik yang harus melalui mekanisme fit and proper test yang sering dipelesetkan menjadi fee and property. DPD, sang pendamping kekuasaan legislatif, belum hadir karena masih harus menunggu Pemilu 2004, namun kekuasaan yang dimiliki sudah dikebiri terlebih dulu sehingga tampak tidak lebih dari sekadar aksesori parlemen berkamar dua yang semu ala Indonesia.

Bagaimana dengan MK? Hingga saat ini MK baru bekerja dalam memeriksa dan memutuskan perkara judicial review. Baru satu perkara yang diputus sehingga masih butuh waktu untuk menilai kinerja lembaga ini. Namun, saat rekrutmen hakim konstitusi pertengahan Agustus 2003, kekecewaan publik itu sudah mulai tertanam karena rekrutmen dinilai kurang transparan dan akuntebel.

KPK ternyata mengidap sindrom yang sama. Badan ini memang belum bekerja sehingga kinerja belum terlihat, tetapi sosok yang terpilih tak urung mengundang kekecewaan publik. Yang terpilih bukan sosok garang yang selama ini terlihat konsisten dalam agenda pemberantasan korupsi, melainkan para pensiunan di atas 60-an tahun dari lembaga-lembaga yang selama ini dinilai gagal memerangi korupsi. Tidak heran ada yang memelesetkan KPK menjadi “Komisi Pensiunan Koruptor” atau “Komisi Pelindung Koruptor”.

Bisa disimpulkan, dalam era transisi ini, lembaga-lembaga baru yang diharapkan mampu menegakkan agenda reformasi (terutama dalam memerangi korupsi dan mengembalikan kepercayaan publik) dibuat tidak berdaya terlebih dulu dengan rekrutmen personal yang tidak menjanjikan, bahkan jauh dari kepercayaan publik. Ini gejala pertama.

Gejala kedua, membunuh lembaga baru yang terlanjur melesat menjadi “anak haram” sistem yang korup. Hal ini terjadi pada dua lembaga yang sepak terjangnya sempat menjanjikan, yaitu TGPTPK dan KPKPN. Usai mengungkap kasus tiga hakim yang diduga menerima suap (Yahya Harahap, Marnis Kahar, Supraptini Sutarto), TGPTK dibubarkan melalui mekanisme judicial review PP No. 19/2000 yang menjadi dasar hukum pembentukan TGPTPK, dengan alasan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Ironisnya, yang berwenang membatalkan PP itu adalah MA yang sedang diobok-obok oleh TGPTPK melalui penungkapkan kasus tiga orang hakim yang diduga menerima suap.

KPKPN pun bernasib serupa. Melalui lembaga inilah kita mengetahui betapa fantastisnya kekayaan para anggota DPR/DPRD dan para pejabat eksekutif, yang semakin membenarkan pendapat umum bahwa “negara memang miskin, tetapi pejabatnya tidak”. KPKPN pula yang membuka secara telanjang kekayaan Jaksa Agung MA Rachman yang tidak dilaporkan dan bernilai miliaran rupiah dalam bentuk rumah dan tabungan. Padahal, Jaksa Agung justru merupakan komandan dari lembaga pemerang korupsi.

Akan tetapi, begitu KPKPN mulai bergigi, konspirasi pun muncul. Eksekutif dan legislatif sepakat melebur lembaga ini ke dalam KPK sehingga hanya menjadi subbagian dalam KPK. Ini bahasa halus dari membubarkan KPKPN. Dengan melebur KPKPN dalam KPK sama artinya membuat lembaga ini menjadi tidak bergigi lagi dalam mengungkapkan kekayaan para penyelenggara negara. (Hingga saat ini ketua dan anggota KPKPN mengajukan judicial review terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama pasal-pasal yang bermaksud meniadakan eksistensi KPKPN sebagai lembaga mandiri).

Dengan dua kecenderungan yang digambarkan di atas, wajar publik semakin skeptis dari hari ke hari terhadap institusi-institusi yang ada, baik yang lama maupun yang baru. Seandainya Pemilu 2004 pun gagal menghidangkan harapan, maka Republik ini betul-betul akan menjadi kapal Titanic yang karam, tentu minus dengan percintaan sepasang kekasih yang membuat film Titanic justru layak dikenang. Pada titik inilah kampanye publik untuk tidak memilih politkus busuk seperti digaungkan beberapa tokoh masyarakat dan LSM, 29 Desember 2003, harus didukung untuk membesarkan lilin harapan di masa depan***

No comments: