20 July 2009

Menimbang Sistem Campuran

Considering A Mixed System

Published by Indonesian media
Media Indonesia, 24 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform

Tiga kali pemilu pada era Reformasi –Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009—terbilang sukses, terlepas dari segala kekurangan dan kecurangan yang terjadi. Lembaga semacam the Carter Center, misalnya, turut memuji pelaksanaan pemilu-pemilu di era Reformasi. Untuk Pemilu 2009, lembaga yang dibangun oleh mantan Presiden AS Jimmy Carter tersebut menulis dalam situs mereka, “The Carter Center congratulates the people, political parties, and National Election Commission (KPU) of Indonesia on the generally peaceful April 9, 2009, legislative elections, the third since the country's democratic transition from the New Order of former President Soeharto.”

(The Carter Center mengucapkan selamat kepada rakyat Indonesia, partai politik, dan KPU atas terselenggaranya pemilu legislatif 9 April 2009 yang relatif damai, pemilu ketiga sejak transisi demokrasi dari Orde Barunya mantan Presiden Soeharto).

Pujian seperti itu tentu tidak bisa menghilangkan fakta begitu bermasalahnya pemilu-pemilu di era Refomasi. Banyaknya parpol yang bertanding, penerapan sistem pemilu proporsional terbuka yang membingungkan pemilih, penghitungan suara yang lambat dan penuh kecurangan hingga menghadirkan raturan kasus di Mahkamah Konstitusi (MK), terlalu tersentralisasinya pelaksanaan pemilu di tangan KPU hingga membuat lembaga itu kalang-kabut sendiri, kualitas calon terpilih yang meragukan, adalah sebagian soal yang segera membutuhkan jawaban.

Pelaksanaan pemilu seperti ini tidak bisa dipertahankan, harus dilakukan langkah-langkah perbaikan. Salah satunya dengan meninjau ulang sistem pemilu yang ada. Sebagai wacana awal mengubah sistem pemilu, tulisan ini mengajukan sistem pemilu campuran (mixed system) seperti banyak diterapkan negara-negara demokrasi baru di Afrika dan bekas Uni Soviet (www.aceproject.org) untuk menggantikan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak Pemilu 1955. Sistem ini pernah ditawarkan Centre for Electoral Reform (Cetro) menjelang Pemilu 2004, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang memadai saat itu.

Kompromi Dua Ekstrem
Perdebatan tentang sistem pemilu sering bergerak dalam kutub ekstrem. Mereka yang menilai sistem proporsional bermasalah segera tertarik dengan sistem mayoritarian (pluralitas-mayoritas), atau yang secara salah kaprah disebut dengan sistem distrik. Demikian pula sebaliknya. Padahal, baik sistem proporsional maupun sistem distrik tidak sepenuhnya baik dan memang tidak ada sistem pemilu yang sempurna. Setiap sistem pemilu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan bergantung pada kebutuhan di mana sistem itu diterapkan.

Di Indonesia, kebutuhan paling nyata adalah menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel di satu sisi dan penguatan sistem kepartaian di sisi lain, yang pada gilirannya berujung pada penguatan sistem pemerintahan presidensial. Sistem distrik kerap dianggap lebih berdaya untuk menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel, tetapi lemah dalam penguatan sistem kepartaian karena peranan partai menjadi lebih minim. Sistem proporsional dinilai sebaliknya, partai terlalu dominan dan calon kurang mendapatkan insentif untuk berdekat-dekatan dengan konstituen. Bagi mereka, berada di lingkaran elite partai jauh lebih strategis dan menentukan.

Untuk mengompromikan keduanya, Indonesia menerapkan sistem proporsional dengan daftar terbuka sejak Pemilu 2004. Dari segi pelaksanaan, sistem ini ternyata sangat rumit, memunculkan banyak ketidakpastian karena proses atau rantai penghitungan suara yang terlalu panjang dan lama, plus biaya pemilu yang sangat mahal. Dari sisi hasil, ditambah dengan penerapan suara terbanyak, sistem ini hanya menghasilkan calon populer tanpa kejelasan kapasitas dan track record.

Dengan mixed system diharapkan terjembatani masalah popularitas dan kapasitas, termasuk masalah akuntabalitas dan penguatan parpol. Mixed system adalah sistem pemilu yang menerapkan sekaligus sistem proporsional (tertutup) dan sistem distrik. Kursi disediakan melalui dua jalur, jalur distrik dan jalur proporsional. Persentasi kursi kedua jalur tersebut bervariasi di antara negara-negara yang menerapkan sistem ini. Di Lesotho pascakonflik, misalnya, kursi dibagi ke dalam 80 kursi distrik dan 40 kursi proporsional, sementara di Jerman ada 299 masing-masing kursi untuk jalur distrik dan proporsional.

Dengan jumlah kursi DPR sekarang sebanyak 560, dengan mixed system bisa dibuat 280 kursi distrik dan 280 kursi proporsional (fifty-fifty). Nantinya akan ada 280 distrik pemilihan untuk anggota DPR. Setiap distrik hanya merebutkan satu kursi (single member district).

Pemilih akan diberikan satu surat suara yang memuat dua kolom, yaitu kolom lambang parpol (untuk kursi proporsional) dan kolom nama-nama calon (untuk kursi distrik). Bila ada 38 parpol yang ikut pemilu seperti Pemilu 2009, surat suara hanya akan memuat 38 lambang parpol dan maksimal 38 nama calon. Dikatakan maksimal karena setiap parpol hanya boleh mengajukan satu calon untuk setiap kursi distrik, tetapi bisa juga parpol tidak memiliki calon di distrik tertentu. Dengan demikian mudah bagi pemilih untuk mengenal para caleg, terlebih bila parpol yang ikut semakin sedikit.

Pemilih diharuskan memilih parpol dan caleg sekaligus. Caleg yang dipilih tidak harus berasal dari parpol yang dipilih. Bisa jadi pemilih memilih parpol A, tetapi calegnya dari parpol B. Caleg yang mendapatkan suara terbanyak di distrik langsung terpilh karena mendapatkan mandat langsung dari rakyat (the winner takes all).

Untuk kursi proporsional yang berjumlah 280 akan ditentukan berdasarkan proporsi perolehan suara masing-masing parpol. Caleg yang terpilih ditentukan dari daftar yang diajukan parpol seperti Pemilu 1999 atau pemilu-pemilu di era Orde Baru. Mereka nantinya akan disebar ke dapil sehingga satu dapil akan diwakili dua orang, satu dari kursi distrik dan satu dari kursi proporsional. Penyebaran ke dapil terhadap kursi proporsional adalah soal teknis yang bisa dibahas kemudian.

Untuk penyederhanaan parpol, parliamentary threshold (PT) tetap bisa diterapkan. Misalnya, hanya parpol yang memperoleh minimal 3% suara yang berhak atas kursi proporsional. Bila diterapkan pada hasil Pemilu 2009, berarti hanya sembilan parpol yang memperoleh kursi proporsional. Sembilan parpol inilah yang akan terwakili di parlemen dan membentuk fraksi. Calon dari parpol lain yang terpilih melalui kursi distrik tidak dibolehkan membentuk fraksi sendiri. Mereka harus bergabung dengan fraksi yang dibentuk parpol yang lolos PT. Tujuannya tidak lain adalah agar ada penyederhanaan jumlah parpol di parlemen. Secara teoretis, kursi-kursi distrik pun akan dikuasai oleh parpol yang lolos PT sehingga tidak ada urgensinya memberikan hak bagi caleg-caleg yang terpilih dari kursi distrik untuk membentuk fraksi tersendiri.

Dengan mixed system, parpol bisa mengompromikan popularitas dan kualitas caleg. Caleg populer dapat dinominasikan untuk kursi distrik, sedangkan yang berkualitas namun kurang populer dapat dinominasikan untuk kursi proporsional. Intinya, calon tidak boleh dinominasikan untuk kursi distrik dan proporsional sekaligus. Cara ini akan mengompromikan dua kebutuhan DPR, yaitu ada caleg yang memang dikenal konstituennya dan berjuang bagi kepentingan mereka, tetapi ada pula caleg yang memang berkualitas sehingga mampu menjalankan tugas-tugas DPR secara baik di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Tulisan ini baru merupakan lontaran awal. Eksplanasi lebih jauh tentang kelebihan dan juga kekurangan mixed system bisa diberikan dan tentu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, sistem pemilu saat ini, yang menyebabkan inflasi caleg dan kerumitan pelaksanaan pemilu plus calon terpilih yang mengecewakan, tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada terobosan-terobosan brilian untuk memperbaiki keadaan sekarang demi pemilu yang lebih baik di masa datang.***

11 July 2009

Pemilu Pro (Hak) Rakyat

Election Pro People's Rights

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 11 July 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Refrom (Cetro),
Petitioner of Judicial Review

Prosesi Pemilu 2009 bisa dikatakan hampir usai. Pemenangnya sudah bisa ditentukan, karena hasil hitung cepat lembaga survei plus hitung cepat ala KPU mengindikasikan hal yang sama: pasangan SBY-Boediono menang dengan persentase sekitar 60 persen dengan tingkat persebaran di atas 20 persen di semua provinsi. Angka ini cukup melampaui ambang batas konstitusional untuk menjadikan pemilu presiden lebih cepat (selesai) lebih baik, sehingga tidak perlu (di)lanjutkan dengan putaran kedua.

Prosesi pemilu tinggal menunggu hasil penghitungan manual yang akan ditetapkan dalam beberapa hari ke depan, plus pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober 2009. Terlepas dari segala kekurangan dan (barangkali) kecurangan yang ada, Pemilu 2009 makin memperkuat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Penting untuk terus-menerus menggemakan bahwa Indonesia negeri demokratis terbesar ketiga di dunia, karena faktanya banyak orang luar yang tidak tahu. Ketika di India (2006), iseng-iseng saya tanyakan kepada seorang rekan di sana mengenai jumlah penduduk Indonesia. Awalnya, dia menolak menyebut angka karena tidak punya ide apa-apa. "I have no idea," katanya. Namun, ketika saya mendesaknya untuk menebak, dia menyebut jumlah yang membuat dahi berkernyit: seratus ribu! "How could you think like that?" "Indonesia kan negara kecil," katanya. Oh, my God!

Keberhasilan pelaksanaan pemilu di Indonesia, terutama pemilu presiden, bisa jadi akan membuat masyarakat dunia lebih mengenal Indonesia. Pemilu presiden di Indonesia setidaknya tidak seperti di Iran, yang berakhir dengan demonstrasi dan anarki--yang untungnya sudah terselesaikan saat ini. Dalam hari-hari ke depan, mudah-mudahan situasi kondusif ini terpelihara hingga pelantikan presiden terpilih 20 Oktober nanti. Seandainya ada protes atas kecurangan, sebaiknya hal tersebut disalurkan ke instrumen hukum yang ada, dari mekanisme tindak pidana pemilu di pengadilan negeri hingga sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Menyatakan Pemilu 2009 mulus-mulus saja terlalu naif. Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) adalah contoh konkret betapa Pemilu 2009 sarat masalah. Hampir saja pemilu presiden tertunda bila tidak ada putusan MK di injury time yang membolehkan penggunaan KTP dan paspor bagi pemilih yang tidak tercantum dalam DPT. Putusan tersebut menjadi solusi terhadap keinginan menunda pemilu yang kencang disuarakan sejumlah pihak, termasuk pasangan calon.

Kendati demikian, putusan tersebut tetap memunculkan persoalan karena mengandung ketentuan teknis-administratif yang berpotensi menghilangkan hak pemilih, yaitu syarat kartu keluarga (KK) yang mengiringi KTP dan ketentuan hanya memilih di wilayah RW di mana KTP dikeluarkan. Dari pemberitaan media, terbukti banyak warga negara yang akhirnya tidak memilih karena sedang berada di rantau pada hari pencontrengan, atau memang tidak memiliki KTP setempat.

Cara pandang salah
Ada cara pandang yang salah di kalangan penyelenggara negara, mulai DPR, KPU, Bawaslu, hingga MK. Yang dikembangkan adalah perspektif “mencurigai” warga negara, bukan “melindungi” hak warga negara. Cara pandang mereka kurang-lebih begini: bila tidak ada pembatasan, akan ada mobilisasi pemilih, atau mereka yang memiliki lebih dari satu KTP bisa memilih berkali-kali, padahal surat suara terbatas. Lebih dari itu, pemilu akan berlangsung curang karena pada dasarnya setiap warga negara hanya boleh memilih satu kali.

Pertanyaannya: bagaimana dengan warga negara yang berwatak baik, yang ingin menyalurkan haknya hanya satu kali, tapi tidak tercantum dalam DPT dan tidak memiliki KTP setempat? Mereka sudah pasti terhalang untuk memilih. Ketika memantau pelaksanaan pemilu presiden 8 Juli lalu, di salah satu TPS di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, saya menyaksikan seorang warga yang terpaksa gigit jari karena membawa KTP Sumedang, Jawa Barat. Petugas KPPS menyatakan, kalau mau memilih sebaiknya pulang ke Sumedang. Petugas KPPS tersebut tidak salah. MK yang salah karena cara pandang yang mencurigai tadi plus dilanda kekhawatiran yang tak beralasan.

Soal ketersediaan surat suara, dari beberapa TPS yang saya pantau, rata-rata surat suara berlebih. Kelebihannya bahkan mencapai jumlah ratusan. TPS tempat saya memilih di Kebon Jeruk kelebihan sekitar 250 surat suara. Mengenai skenario kelebihan surat suara ini, dalam banyak kesempatan saya menyatakan bahwa kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan. Undang-undang memang menentukan bahwa KPU hanya boleh mencetak 102 persen surat suara dari jumlah DPT yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, tindak pidana yang dapat dihukum penjara dan denda. Namun, jumlah DPT yang 176-an juta tersebut harus dikurangi beberapa hal: pemilih yang sudah meninggal dunia, yang masih aktif sebagai TNI/Polri, yang di bawah umur, dan--yang jumlahnya lebih banyak—yang tercatat dua atau tiga kali. Angka DPT juga harus dikurangi dengan jumlah mereka yang tidak datang ke TPS karena golput.

Angka pengurang kelima komponen ini sudah pasti jutaan. Bila pemilih dengan KTP juga berjumlah jutaan, sesungguhnya akan terjadi keseimbangan yang tidak perlu membuat penyelenggara pemilu khawatir mengenai ketersediaan surat suara. Perihal kemungkinan warga negara memilih berkali-kali karena, misalnya, memiliki lebih dari satu KTP, kekhawatiran itu juga tidak pada tempatnya. Ada tinta pemilu yang pengadaan dan penggunaannya seharusnya bisa menghalangi seseorang memilih lebih dari satu kali. Kalau tidak, buat apa ada tinta pemilu yang menghabiskan miliaran rupiah.

Masalahnya, adanya tinta ini seolah dilupakan oleh KPU, Bawaslu, MK, bahkan publik. Yang terjadi di lapangan kemudian, petugas KPPS tidak benar-benar mencelupkan tangan pemilih di kubangan tinta untuk memastikan bahwa seperempat atau sepertiga jari kelingking kiri tercelup, termasuk kuku, yang tidak mudah terhapus dalam jangka waktu singkat. Bahkan ada petugas KPPS yang hanya menuangkan tinta ke dalam bantalan stempel. Warga yang sudah memilih bukan mencelupkan jari ke botol tinta, melainkan hanya mengoleskan tangannya ke bantalan tersebut, tanpa menyentuh kuku.

Prosesi Pemilu 2009 hampir berakhir dengan pemenang yang telah bisa ditentukan. Bagi kepentingan masa depan, saatnya mulai memikirkan reformasi pemilu. Hal itu bisa dimulai dengan membalik paradigma, dari paradigma “mencurigai” ke paradigma “melayani” hak pemilih. Pemilu harus lebih berorientasi kepada pelayanan hak-hak rakyat karena dalam pemilu inilah rakyat diperhatikan oleh calon wakil atau calon pemimpinnya. Soal-soal teknis-administratif selanjutnya untuk memastikan hak digunakan secara benar (proper) adalah kewajiban negara, terutama penyelenggara pemilu. Pemilu di masa-masa mendatang mudah-mudahan menjadi pemilu yang lebih pro-hak rakyat. Lebih cepat kesadaran ini muncul, lebih baik. Tak perlu kita lanjutkan hal-hal buruk yang muncul selama prosesi Pemilu 2009.***

Menegakkan Hak Pemilih

Struggle for People's Voting Rights

Published by Indonesian media
Kompas, 6 July 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (Cetro), Petitioner of Judicial Review

"If we cannot secure all our rights, let us secure what we can." Thomas Jefferson, 1787

Kata-kata Thomas Jefferson itu pas untuk menggambarkan perjuangan ”setengah” panjang untuk melindungi hak warga negara yang terlalaikan penyelenggara pemilu, yang mencapai titik kulminasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi, Senin (6/7/2009).

Hari ini, semua warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah diharapkan dapat menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan kedua presiden secara langsung dalam sejarah Indonesia.
Tercecer

Yang dapat memilih termasuk mereka yang tercecer tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan. Dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu, diperkirakan jutaan warga negara tidak dapat memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Ada banyak spekulasi mengenai jumlah. Ada yang menyebutkan angka 40 juta, ada yang menyebut angka yang lebih kecil. Namun, jumlah bukan pangkal persoalan. Berapa pun itu, asal dia warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan atau sudah menikah seharusnya dapat memilih.

Negara, melalui penyelenggara pemilu, harus mampu menjamin terpenuhinya hak memilih warga karena—meminjam MK—hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi karena soal-soal teknis administratif.

Faktanya, kendati KPU sudah berlari kencang untuk mendata semua pemilih yang memenuhi syarat (eligible voters) pascakisruh DPT pada pemilihan 9 April, tetap saja masih banyak yang tercecer.

Negara tidak lagi mampu melindungi hak warga negara, maka harus ada yang mau bertindak, persis seperti yang dikatakan Jefferson, ”Bila tidak mampu melindungi semua hak, lindungi saja apa yang kita bisa.”

Judicial review ke MK adalah pilihan logis setelah tuntutan keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi gayung yang tidak bersambut.

Empat jalan
Sebagai peneliti di Centre for Electoral Reform (Cetro), ada empat jalan yang semula saya wacanakan untuk melindungi hak pemilih non-DPT, yaitu revisi terbatas UU Pilpres, perppu, judicial review, dan peraturan KPU. Yang paling aman adalah melakukan revisi terbatas atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Revisi perlu dilakukan karena ada ketentuan dalam UU Pilpres yang memblokade pemilih non-DPT untuk melaksanakan haknya, yaitu Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1).

Kedua ketentuan itu pada dasarnya menyatakan, pemilih yang memenuhi syarat (usia 17 tahun dan/atau sudah kawin) baru dapat memilih bila tercantum dalam daftar pemilih. Daftar pemilih yang dimaksud adalah DPT dan daftar pemilih tambahan.

Masalahnya, kewajiban mendaftar ada pada penyelenggara pemilu, bukan pemilih bersangkutan. Sistem pendaftaran pemilih di Indonesia menganut stelsel pasif. Semua warga yang memenuhi syarat harus didaftar oleh penyelenggara pemilu, suka atau tidak. Amat tidak adil dan mencederai akal sehat saat kelalaian penyelenggara pemilu untuk mendaftar warga negara ditimpakan akibatnya kepada warga negara itu, berupa penghilangan hak untuk memilih.

Mengharapkan DPR mau concern dengan soal hak warga negara melalui revisi undang-undang yang mereka buat agaknya jauh panggang dari api. Itu sebabnya, usul untuk revisi terbatas pasca-Pileg 9 April dibuang jauh-jauh.

Pilihan berikut adalah meminta Presiden mengeluarkan perppu. Cetro telah menggelar konferensi pers 5 Juni 2009 yang meminta Presiden SBY mengeluarkan perppu, yang intinya membolehkan pemilih non-DPT memilih sepanjang menunjukkan identitas yang sah. Sejumlah komponen masyarakat juga menyuarakan soal ini, termasuk Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Presiden bergeming, KPU dan Bawaslu juga tak mau berinisiatif.

Akhirnya jalan ketiga ditempuh, berupa pengajuan judicial review terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1) UU Pilpres. Bersama seorang rekan yang juga tidak bisa memilih pada Pileg 9 April lalu, Maheswara Prabandono, saya bertindak sebagai pemohon. Permohonan diajukan pada 16 Juni, tetapi baru diregistrasi 24 Juni. Ketua MK Mahfud MD malah sempat mewacanakan untuk tidak memproses permohonan itu karena tidak cukup waktu.

Harian Kompas memuat tanggapan saya atas pernyataan Mahfud. Saya katakan, MK tidak profesional. Faktanya MK pernah memutuskan perkara yang diajukan mantan Presiden Abdurrahman hanya dalam waktu tiga hari sejak diajukan menjelang Pilpres 2004. Kritikan itu berbuah karena pada 2 Juli saya menerima telepon panggilan sidang yang akan diadakan 6 Juli.

Cerita selanjutnya telah diketahui publik, MK mengabulkan sebagian tuntutan. Mereka yang non-DPT dapat memilih dengan menunjukkan KTP/paspor.

Masalah
Sayang, putusan itu masih menyisakan masalah. Sebagian saudara kita yang non-DPT tetap tidak bisa memilih. Mereka antara lain mahasiswa perantau, pekerja rantau, atau siapa saja yang masih menggenggam KTP asal. Mereka bisa memilih bila pulang kampung, sesuatu yang mungkin sulit dilakukan untuk pencontrengan.

Akibatnya, putusan MK seperti setengah hati. Lembaga pelindung hak konstitusi warga itu hanya menjebol sebagian dinding blokade karena memiliki perspektif sama dengan unsur negara lainnya: pilpres akan curang bila semua dinding penghalang dijebol.

Maka, hari ini, masih akan ada saudara-saudara kita yang tetap tidak bisa memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Kendati demikian, mereka tetap berhak atas servis dari presiden yang akan ditentukan pemenangnya hari ini oleh kita yang memilih.***

Mari Berpesta Hari Ini

Lets Have the Party in Today's Election


Refly Harun

Constitutional Law Expert and Election Observer, Centre for Electoral Reform (Cetro)

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 8 July 2009

Hari ini, 8 Juli 2009, lebih dari seratus tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan menunaikan haknya dalam pemilihan presiden secara langsung.

Tiga pasang kandidat saling bersaing untuk merebut kepemimpinan politik lima tahun ke depan: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto.Siapa pun yang menang, mereka akan menjadi presiden kita, presiden Indonesia, bukan hanya presiden pendukung, apalagi tim sukses. Pemungutan suara hari ini terasa lebih spesial karena ada kado istimewa dari Mahkamah Konstitusi (MK), berupa putusan yang membolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilihan tambahan untuk menggunakan haknya dengan menunjukkan KTP atau paspor.

Putusan yang dibacakan pada sidang 6 Juli lalu itu diperkirakan dapat menyelamatkan jutaan warga yang tadinya bakal kehilangan hak memilih, yang jumlahnya tidak sedikit—bahkan ada yang menyebut hingga 49 juta. Putusan MK itu lebih bernilai bila warga negara berduyun-duyun ke tempat pemungutan suara (TPS) yang akan dibuka pada pukul 8–13.00. Khusus kepada pemilih non-DPT, giliran mereka memilih baru pukul 12.00 hingga TPS ditutup pada pukul 13.00.

Di antara kita, tentu ada yang skeptis terhadap prosesi bernama pemilu. Mereka menilai pemilu tidak menghasilkan apa-apa, kecuali hiruk-pikuk yang tak berkesudahan dan perpecahan di mana-mana. Terhadap pendapat demikian, kita tetap harus menghormati. Di alam demokrasi ini, memilih atau tidak memilih dalam pemilu adalah hak, belum dikonstruksikan sebagai kewajiban sebagaimana di Australia.

Putusan MK baru sebatas melindungi hak bagi warga non-DPT, tetapi soal penggunaan terpulang pada pemilih sendiri. Namun alangkah baiknya bila kita memberi makna atas putusan tersebut dengan datang ke TPS, menentukan pilihan terhadap satu dari tiga calon yang ada,siapa pun dia.

Tradisi Gentleman
Seperti halnya pemilu legislatif yang diselenggarakan pada 9 April lalu, pemenang pemilu kali ini pun pasti sudah bisa ditentukan, bahkan jauh lebih mudah dan cepat karena hanya menyangkut perkara tiga pasang calon yang namanya tertera di kertas suara (ballot paper).

Alangkah indahnya bila yang menang dan yang kalah tetap dapat bertegur sapa. Ketika kalah dalam pemilihan presiden AS 2008, John McCain segera menelepon Barrack Obama yang baru ditahbiskan sebagai pemenang. Di depan pendukungnya pada malam setelah pemungutan suara, McCain berujar, “I wish godspeed to the man who was my former opponent and will be my president.” (Saya mendoakan segala kebaikan kepada mantan pesaing dan yang akan menjadi presiden saya).

Dilanjutkan lagi McCain, ”These are difficult times for our country. And I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face.” (Saat ini adalah masa-masa yang sulit bagi negara kita. Dan saja berjanji kepadanya malam ini untuk mencurahkan segenap upaya dalam membantunya memimpin kita keluar dari tantangan yang kita hadapi).

Penghargaan yang sama juga keluar dari mulut Obama terhadap McCain. “I just received a very gracious call from Senator McCain. He fought long and hard in this campaign, and he’s fought even longer and harder for the country he loves. He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine,…”(Saya baru saja mendapat telepon yang bersahabat dari Senator McCain.Dia berjuang keras dalam kampanye ini.

Dia bahkan telah berjuang lebih lama dan lebih keras bagi negara yang dia cintai. Dia telah berkorban untuk Amerika yang sebagian besar dari kita membayangkannya pun tidak). Sayangnya, tradisi politik Indonesia jauh dari sikap gentleman. Mereka yang kalah dengan begitu mudahnya menyatakan bahwa pemilu curang. Tidak pernah ada sikap yang mau mengakui kemenangan lawan. Sore setelah TPS ditutup pada pukul 13.00, rakyat kembali akan menyaksikan apakah tradisi politik tersebut telah berubah.

Apakah yang kalah akan menelepon pemenang dan mengucapkan selamat atas kemenangannya, ataukah buru-buru menyatakan pemilu berlangsung curang dan penuh rekayasa sang pemenang. Jawabannya tidak butuh lama, cukup beberapa jam setelah TPS ditutup pada pukul 13.00 hari ini.

Tugas Bersama
Kecurangan dalam bahasa sang pecundang bisa jadi dipicu oleh titik krusial tertentu, salah satunya putusan MK.Kendati putusan tersebut disambut dengan sukacita oleh banyak warga, termasuk oleh kandidat sendiri, bisa jadi justru akan menjadi sasaran tembak kalau pelaksanaannya tidak dikawal dengan baik.

Mereka yang merasa memiliki KTP tiba-tiba merasa berhak untuk memilih berkali-kali dengan identitas yang mereka miliki. Bisa jadi di lapangan banyak yang tidak peduli bahwa putusan MK membatasi pemilik KTP untuk memilih di wilayah RT/RW di mana KTP tersebut dikeluarkan, tidak di sembarang tempat. Mereka tetap memaksa untuk memilih dan bila tidak diizinkan akan memunculkan protes yang akhirnya akan mencederai prosesi Pilpres 2009.

Saya sendiri sebenarnya menyesalkan putusan MK tersebut yang masih setengah hati. Filosofi putusan kurang bisa dicerna nalar yang sehat. Di satu sisi, MK menyatakan bahwa hak memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dihilangkan hanya karena persoalan teknis-administratif. Di sisi lain, masih membuat pembatasan tertentu yang berpotensi menghilangkan hak memilih warga negara yang kebetulan sedang berada jauh di luar wilayah KTP yang dia punyai.

Masalah yang tidak kalah krusialnya adalah sampainya informasi ke publik dan petugas KPPS akan putusan MK.KPU harus betul-betul memastikan bahwa informasi tersebut sampai ke jajaran pelaksana pemilu di tingkat bawah, selain kepada pemilih.Komunikasi harus terus dijaga hingga hari ini ketika lebih dari seratus juta warga akan memilih.Tugas KPU menjadi jauh lebih ringan karena sejak putusan dibacakan, secara terus-menerus media massa memberitakan.

Selain KPU dan jajarannya, komponen yang tidak kalah penting adalah Bawaslu dan jajarannya. Pengawasan pemilu harus berjalan dengan baik di semua tingkatan. Tidak ada alasan bila pengawasan lebih buruk karena faktanya pilpres jauh lebih sederhana dibanding pemilihan legislatif.Adanya pengawas lapangan sejak Pemilu 2009 sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pengawasan.

Bila pengawasan masih lemah juga, tentu menjadi pertanyaan besar di kemudian hari untuk mempertahankan eksistensi para pengawas pemilu, yang di banyak negara bahkan tidak dibutuhkan. Yang tak juga kalah pentingnya adalah peran saksi-saksi dari pasangan calon. Pemilihan anggota legislatif pasti tidak sama dengan pemilihan presiden. Dalam pemilihan anggota legislatif, bisa jadi kandidat tidak punya saksi yang memadai sehingga tidak berdaya apa-apa ketika suara yang didapat dicurangi, baik oleh pesaing dari partai lain maupun rekan dari partai sendiri.

Fenomena yang jamak dalam pemilihan anggota legislatif adalah seringnya kecurangan terjadi bukan antarparpol, melainkan antarcaleg dari parpol yang sama atau berbeda. Pasangan capres seharusnya memiliki saksi di semua TPS. Tidak ada gunanya iklan puluhan miliar yang telah digelontorkan bila suara tidak dikawal, bila mereka tidak menghadirkan saksi di setiap TPS. Dalam alam demokrasi seperti saat ini, rasanya agak mustahil bila ada satu kekuatan yang bisa menentukan hasil pemilihan. Yang ada adalah mental jelek kandidat untuk mencari kambing hitam bila hasil pemilu tidak memuaskannya.

Hari ini, lebih dari seratus juta warga akan memilih.Mereka yang memilih tersebut tentu ingin menyaksikan Pilpres 2009 berakhir indah. Pemilu dan pilpres sejatinya adalah pesta, pesta rakyat. Karena itu, marilah kita berpesta hari ini dengan mendatangi TPS-TPS sekaligus menyaksikan penghitungan suara.(*)

Menggagas E-Voting

To Propose E-Voting

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 11 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Inilah ilustrasi pemilu kita. Pemungutan suara dilakukan pada 9 April 2009. Hasilnya baru diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) satu bulan kemudian pada 9 Mei 2009, waktu maksimal yang disediakan undang-undang. Itu pun masih menyisakan masalah di Nias Selatan, yang hasil pemilunya tak bisa ditetapkan hingga tenggat akhir penetapan hasil pemilu secara nasional oleh KPU terlampaui. KPU menetapkan suara pemilu anggota DPR minus Nias Selatan, yang membuat Badan Pengawas Pemilu meradang, menganggap bahwa penetapan tersebut tidak sah.

Masalah selesai? Tidak. Masih ada hampir 700 sengketa hasil pemilu yang dibagi dalam 69 berkas perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga pertengahan Juni, MK akan menyidangkan ratusan perkara tersebut, yang jumlah persisnya pun tidak diketahui karena saking banyaknya kasus yang masuk. Putusan MK yang mengabulkan permohonan akan mengubah perolehan suara yang telah ditetapkan pada 9 Mei lalu.

Ketidakpastian pemilu berlangsung sangat lama. Yang paling memprihatinkan, apa yang ditetapkan KPU bisa jadi tak semuanya mencerminkan pilihan rakyat. Suara yang ditetapkan KPU bisa jadi merupakan suara yang telah direkayasa. Terlebih penetapan calon anggota legislatif terpilih menggunakan mekanisme suara terbanyak. Satu suara bisa sangat menentukan kursi teraih atau melayang.

Semua karut-marut ini antara lain disebabkan oleh proses pemungutan suara dan penghitungan suara yang rumit, berbelit, dan berjenjang, sehingga berpotensi terjadi kecurangan. Rumit, karena pemilu legislatif 9 April memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sekaligus. Banyak parpol yang bertanding dan terlalu banyak calon legislator yang tercantum dalam surat suara. Mayoritas calon tersebut tidak dikenal oleh pemilih.

Tidak mudah bagi pemilih untuk menentukan pilihannya, terutama pilihan terhadap calon legislator yang mayoritas tidak mereka kenal. Tidak mudah pula bagi petugas KPPS, PPK, dan KPUD untuk menyelesaikan penghitungan suara karena yang dihitung bukan hanya perolehan suara parpol tapi juga masing-masing calon legislator.

Electronic voting
Tulisan ini merekomendasikan perbaikan pemungutan dan penghitungan suara. Untuk pemungutan suara, saya terinspirasi oleh pemilu India, yang telah menerapkan electronic voting (e-voting). Penerapan e-voting dapat dipahami untuk pemilu sebesar India, yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia--Indonesia terbesar ketiga setelah Amerika Serikat. Dengan pemilih (eligible voters) lebih dari 700 juta, memang tidak mudah melakukan penghitungan suara bila e-voting tidak diterapkan.

Untuk konteks Indonesia, kendati pemilih “cuma” 170-an juta, pemilu kita lebih kompleks dibanding India. India menerapkan sistem pluralitas-mayoritas dengan varian first past the post (FPTP), sistem pemilu yang paling sederhana di dunia. Sedangkan Indonesia menerapkan proportional representation system (PR system) dengan varian opened-list PR system yang jauh lebih kompleks dari sisi penghitungan suara. Bukan hanya suara parpol yang dihitung, tapi juga suara calon dari setiap parpol. Ditambah dengan banyaknya parpol yang ikut pemilu--hingga 38 parpol--kesulitan pemungutan dan penghitungan suara tersebut bertambah-tambah. Pada titik ini, e-voting makin urgen.

Yang dimaksudkan sebagai e-voting bukanlah online voting. E-voting hanyalah menggantikan fungsi surat suara. Sebelumnya pemilih diberi surat suara dan harus melakukan pencontrengan, sedangkan dengan e-voting mereka hanya datang ke bilik suara dan melakukan “pemencetan”. Di bilik suara akan ada semacam mesin yang menggantikan surat suara. Mereka tinggal memencet parpol dan calon yang tertera di mesin tersebut. Mesin inilah yang kemudian akan dibawa ke KPUD untuk dilakukan rekapitulasi penghitungan suara.

Dengan e-voting, rantai penghitungan suara bisa dipangkas secara signifikan. Penghitungan suara tidak perlu dilakukan di tiap TPS, begitu pula tidak perlu ada penghitungan di PPK. Untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, penghitungan pertama dan terakhir cukup di KPU kabupaten/kota. Untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi, penghitungan pertama dan terakhir cukup dilakukan di KPU provinsi. KPU hanya mengumumkan perolehan yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi tersebut, tanpa melakukan rekapitulasi lagi.

Penghitungan satu kali itu--yang dipraktekkan di Inggris, misalnya--lebih mudah dilakukan bila menerapkan e-voting. Seluruh mesin pemungutan suara tinggal dikumpulkan di KPUD dan dibuka hasilnya serta direkapitulasi di suatu tempat--di Inggris, mereka menggunakan indoor stadium sebagai counting center.

Bagi peserta pemilu, penghitungan satu kali tidak hanya mereduksi secara signifikan potensi kecurangan, tapi juga memperingan ongkos pengawalan suara karena saksi yang dibutuhkan cukup untuk satu tingkat penghitungan. Terlebih bila individu calon legislator juga berkepentingan mengawal suara bila sistem suara terbanyak tetap dipertahankan.

Posibilitas dan tantangan
Ada empat soal yang menyangkut bisa-tidaknya e-voting diterapkan. Pertama, ketersediaan alat yang dimaksudkan. Kedua, ongkos yang dibutuhkan. Ketiga, kemauan politik pembentuk undang-undang. Keempat, penerimaan masyarakat.

Untuk ketersediaan alat, bila di dalam negeri tidak tersedia alat yang dimaksudkan, mungkin bisa diimpor dari India yang jelas-jelas telah mempraktekkannya. Namun, mengingat ini teknologi sederhana, rasanya dan seharusnya tidak sulit untuk diadakan di dalam negeri. Terlebih, berdasarkan informasi yang ada, beberapa daerah sudah pernah mempraktekkan e-voting untuk pemilihan kepala desa.

Mengenai ongkos yang dibutuhkan, e-voting harus lebih murah dibanding cara tradisional. Harus dihitung secara cermat apakah pengadaan mesin bisa lebih memangkas biaya ketimbang mencetak surat suara plus ongkos rekapitulasi yang berjenjang. Secara teoretis, ongkos tersebut seharusnya lebih murah karena banyak yang bisa dipangkas dengan e-voting. Bukan hanya biaya surat suara, tapi juga tenaga manusia yang dibutuhkan untuk mendistribusikan dan melipat surat suara tersebut.

Yang terberat adalah soal kemauan politik DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Problem utamanya adalah soal trust (kepercayaan) dan kebiasaan melihat pemilu sebagai proyek. Penghematan biaya pemilu sering tidak didukung karena berarti banyak yang tidak kebagian proyek lagi. Selain itu, ada soal trust yang tak pernah selesai, yaitu apakah mesin itu bisa dipercaya seratus persen, tidakkah nantinya malah bisa direkayasa. Soal-soal seperti ini seharusnya tidak menghalangi langkah perbaikan pemilu ke depan bila ada niat untuk memperbaiki karut-marut pemilu.

Terakhir, dari sisi masyarakat, perubahan dari mencoblos, lalu mencontreng, dan kemungkinan memencet atau menekan tombol, bisa jadi persoalan, terlebih di daerah-daerah tertentu yang tingkat pendidikannya sangat minim. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah segera menyelesaikan Undang-Undang Pemilu yang baru agar ada waktu untuk sosialisasi. Skenario terbaik, RUU Pemilu diajukan pada 2010 dan disahkan pada 2011, sehingga ada waktu tiga tahun untuk sosialisasi Pemilu 2014. Sebagai langkah awal, e-voting bisa juga diujicobakan dalam pilkada.

E-voting adalah alternatif perbaikan yang perlu didiskusikan lebih lanjut untung-ruginya. Semua pihak yang terlibat dan berkepentingan terhadap pemilu seyogianya secara serius memikirkan langkah perbaikan ke depan. Bila tidak, pemilu di Indonesia akan terus-menerus diwarnai kecurangan, yang pada gilirannya akan menyebabkan pemilu kehilangan makna dan kepercayaan sebagai sarana paling demokratis untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin.***

02 June 2009

Pekerjaan Rumah DPD Baru

A Homework for New Senators


Published by Indonesia media

Koran Jakarta, 2 June 2009


Refly Harun

Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)


Hasil Pemilu 2009 mengabarkan bahwa hanya ¼ dari 128 anggota DPD yang terpilih lagi. Berarti, 3/4 anggota DPD akan merupakan wajah-wajah baru, walaupun sebagian di antaranya hasil daur ulang dari caleg parpol yang berekspansi ke DPD karena tidak bisa lagi menjadi caleg melalui parpol lantaran aturan internal parpol yang bersangkutan.


Di Sumatera Selatan, misalnya, dari empat calon yang terpilih, hanya Asmawati yang merupakan wajah lama, tiga lainnya wajah baru, termasuk Percha Leanpuri, seorang dara berusia 23 tahun yang perolehan suaranya tiga kali lipat dari pemenang kedua (Aidil Fitrisyah).


Sudah tentu ini bukan berita baik bagi penguatan DPD. Dari sisi kewenangan, problem utama DPD saat ini adalah tumpulnya kekuasaan yang mereka miliki. Problem ini berkelindan dengan kenyataan masih ’hijaunya’ anggota DPD. Hal ini dapat dimaklumi karena DPD lembaga baru.


Seiring berjalannya waktu, beberapa anggota mulai terlihat lincah dalam kancah politik nasional. Lobi-lobi dengan saudara tua (baca: DPR) mulai bisa dijalankan, terlebih menyangkut agenda perubahan UUD 1945. Sayangnya, hasil pemilu bicara lain: mereka yang mulai ’lincah’ banyak yang tidak terpilih lagi. DPD harus memulai lagi kampanye dari pemain-pemain baru. Padahal, perubahan konstitusi bukanlah agenda yang mudah diwujudkan di tengah kepuasaan DPR atas desain konstitusional saat ini.


Perjuangan DPD bagi perubahan UUD 1945 ibarat membangkitkan batang terendam. Dikatakan KC Wheare (1971), perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tata caranya, melainkan juga pada kelompok-kelompok sosial dan politik yang dominan di masyarakat; apakah mereka puas atau setuju dengan pengorganisasian dan distribusi kekuasaan yang terdapat dalam konstitusi tersebut.


Setelah mengalami perubahan dalam kurun waktu 1999-2002 yang menyebabkannya menjadi lebih demokratis, UUD 1945 masih terus digugat. Banyak yang beranggapan bahwa perubahan yang telah dilakukan tidak cukup. Masih diperlukan perubahan lain untuk memparipurnakan empat perubahan yang telah dilakukan sebelumnya.


Yang paling kencang menyuarakan perubahan adalah DPD. Tidak berhenti di situ, DPD juga telah menyiapkan draf perubahan UUD 1945 secara lebih komprehensif setelah gagal memajukan perubahan Pasal 22D yang mengatur tentang DPD pada 2007. Draf itu telah ’dijajakan’ ke berbagai kalangan untuk mendapatkan dukungan. Survei yang pernah dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2007 dan 2008, misalnya, menunjukkan bahwa mayoritas rakyat menghendaki perubahan tersebut.


Betapapun besar dukungan, ujung dari perubahan yang diusulkan berada di tangan DPR. DPR-lah yang akan memainkan peran determinan berhasil atau tidaknya perubahan konstitusi. Desain konstitusional kita memang menyebutkan bahwa MPR-lah yang memiliki kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Namun, yang tidak boleh dilupakan, mayoritas MPR berasal dari anggota DPR. Jumlah anggota DPR dalam MPR lebih dari 2/3, sebuah persyaratan yang dibutuhkan untuk terjadinya sidang perubahan UUD 1945.


Masalahnya, meminjam Wheare, DPR telah merasa puas dengan desain konstitusional sekarang. Bandul kekuasaan yang tadinya lebih berat ke eksekutif (executive heavy) telah bergerak secara ekstrem ke pemberatan legislatif (legislative heavy). Pemberatan tersebut makin menjadi-jadi ketika sejumlah undang-undang yang diamanatkan konstitusi dibuat. Contoh paling nyata adalah betapa hampir semua pejabat publik harus melalui uji kepatutan dan kelayakan DPR bila ingin duduk. Bahkan, DPR tidak hanya menguji, melainkan ikut pula memilih.


Dengan desain ketatanegaraan yang lebih berat ke legislatif, tidak ada insentif bagi DPR untuk mendukung amandemen yang coba disorongkan DPD. DPR sudah sangat menikmati kekuasaan yang ada dan terlihat tidak berkeinginan membagi kekuasaan tersebut kepada lembaga lain.

Kebutuhan Objektif

Pada titik ini, sesungguhnya dibutuhkan sikap kenegarawanan anggota DPR untuk melihat perubahan konstitusi dari sisi yang obyektif. Tidak boleh melihatnya dengan kaca mata memperkuat atau melemahkan lembaga tertentu. Reformasi konstitusi 1999-2002 memang telah memunculkan konstitusi yang relatif lebih demokratis, tetapi bukan tanpa soal.


Masalah yang paling mendasar dan sesungguhnya agak teknis adalah betapa UUD 1945 menjadi semakin ’amburadul’ perwajahannya setelah diubah. Naskah asli tetap dibiarkan apa adanya, lalu kemudian hasil amandemen dilampirkan seperti model perubahan konstitusi di AS. Lampiran tersebut lebih banyak dan tebal dibandingkan naskah asli.


Untuk mempermudah lalu kemudian dibuatlah kompilasi naskah asli dengan naskah perubahan. Naskah kompilasi yang sesungguhnya tidak resmi itulah yang saat ini dibaca dan dipegang mulai dari murid-murid sekolah, mahasiswa perguruan tinggi, hingga masyarakat umum ketika belajar atau membaca UUD 1945. Buku-buku konstitusi hari ini mulai menghilangkan versi resmi UUD 1945, yaitu naskah asli ditambah dengan lampiran berupa Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002).


Dari sisi teknis, kebutuhan amandemen konstitusi saat ini adalah menyatukan naskah asli dan semua naskah perubahan ke dalam suatu sistematika yang harmonis, tidak tercerai berai. Lalu, dari sisi substantif adalah menyisir satu demi satu problem konstitusional yang ada.


Salah satu problem konstitusional yang tidak bisa dimungkiri adalah keberadaan DPD. Lembaga ini betul-betul menjadi lembaga yang tidak memiliki ujung kekuasaan. Ia bisa mengusulkan rancangan undang-undang, tetapi dipakai atau tidak tergantung DPR. Dapat memberikan pertimbangan atau membahas suatu rancangan undang-undang, lagi-lagi dipakai atau tidak tergantung kebijakan DPR. Terakhir, DPD mengawasi pelaksanaan undang-undang, tetapi hasil pengawasan tersebut berujung juga di DPR. Dipakai atau tidak hasilnya, DPR juga yang menentukan.


Pertanyaan yang menggoda, untuk apa mempertahankan lembaga yang tidak memiliki daya konstitusional tersebut? Tidak heran bila sejumlah anggota DPD pernah menyuarakan pembubaran DPD di tengah keputusasaan mereka terhadap daya konstitusional DPD.


Bila kita bersepakat dengan desain bikameral kelembagaan parlemen Indonesia, penguatan DPD sesungguhnya menjadi suatu conditio sine qua non. Pada titik ini, bukan pembubaran yang seharusnya disorongkan melainkan penguatan. Dan penguatan tersebut sesungguhnya tidak sekadar penguatan lembaga DPD an sich, melainkan desain konstitusional kita, yaitu sistem presidensial.


PR perubahan UUD 1945 tersebut selayaknya dilanjutkan oleh DPD periode 2009-2014. Pemain-pemain baru DPD harus segera mengalami proses inisiasi yang cukup dengan agenda ini. Isu perubahan UUD 1945 haruslah menjadi common platform DPD setiap periode sampai perubahan tersebut terwujud. Bila tidak, tak ada gunanya mempertahankan keberadaan DPD.***

31 May 2009

Memperjuangkan Hak Pemilih Non-DPT

Defending Citizen's Voting Rights

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 1 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer
at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Karut-marut daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu Legislatif 9 April 2009 menyebabkan semua pihak tersentil. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab berlari kencang. Sejumlah paket sosialisasi digeber, termasuk kampanye masif di televisi dengan sejumlah bintang sinteron terkenal.

Pemerintah yang merasa tersentil juga menggerakkan aparatnya di level terbawah untuk membantu pemutakhiran daftar pemilih. Seperti yang saya rasakan, RT memberikan formulir dan setelah nama-nama didaftar, daftar nama tersebut diberikan lagi ke warga untuk dicek apakah namanya sudah tercantum atau tidak.

DPR juga merasa peduli dan bertindak seperti pahlawan kesiangan dengan menyetujui penggunaan hak angket. Meski DPT merupakan domain KPU, DPR tetap merasa perlu mengarahkan penyelidikan ke pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyediaan data pemilih ketimbang meminta pertanggungjawaban KPU secara langsung.

Stelsel Pasif-Aktif
Bagaimana hasil dari semua reaksi dari ketersentilan itu? Adakah semua warga negara yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah akan tercantum dalam daftar pemilih?

Meminjam ungkapan penyanyi rock Candil dari band Seurieus, KPU juga manusia. Kendati sudah berlari kencang dan bekerja setengah gila, pastilah masih ada warga negara yang masih tercecer, tidak terncamun dalam DPT. Misalnya, mereka yang hidup di gubuk-gubuk liar atau di kolong jembatan dan tanpa identitas kependudukan. Mereka juga warga negara dan memiliki hak untuk memilih presidennya pada 8 Juli nanti. Siapa tahu sang presiden betul-betul memenuhi janjinya untuk menyejahterakan rakyat, termasuk mereka yang terpinggirkan tersebut.

Sistem pendaftaran pemilih di Indonesia berstelsel pasif-aktif. Semua warga negara yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah wajib didaftar dalam daftar pemilih, tak peduli apakah mereka berkenan didaftar atau tidak. Setelah didaftar, apakah akan menggunakan hak memilihnya atau tidak, hal itu merupakan hak dari pemilih yang bersangkutan. Inilah yang dimaksud dengan stelsel pasif. Namun, UU Pilpres juga meminta warga negara untuk secara aktif mengecek apakah mereka sudah tercantum dalam daftar pemilih sementara (DPS) atau tidak sebelum ditetapkan menjadi DPT. Inilah sisi aktifnya.

Mereka yang tidak tercantum dalam daftar pemilih akan kehilangan haknya untuk memilih karena UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menentukan hanya mereka yang terdaftar yang dapat memilih. Inilah ironi dari sistem pendaftaran pemilih di Indonesia. Di satu sisi kewajiban mendaftar diberikan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya), tetapi di sisi lain, bila tidak terdaftar, seorang warga negara tidak bisa memilih. Kelalaian KPU mendaftar ditimpakan konsekuensinya kepada warga negara.

Bila sitemnya stelsel aktif, bisa dipahami bila mereka yang tidak terdaftar tidak bisa memilih. Dalam stelsel aktif, untuk dapat memilih, warga negara memang harus mendaftarkan diri, bukan didaftarkan. Artinya, keinginan untuk memilih diukur dari tindakan mereka mendaftarkan diri. Tidak mendaftar sama artinya tidak berkeinginan untuk memilih. Memang, dalam titik ini pun harus dicatat peran penyelenggara pemilu dalam hal voter information dan voter education agar pemilih tergerak mendaftar.

Aturan dalam Pasal 28 UU Pilpres yang menyatakan bahwa warga negara harus tercantum dalam daftar pemilih telah menghilangkan hak pemilih. Mereka yang tidak tercantum dalam daftar pemilih belum tentu tidak berkeinginan memilih. Bisa saja mereka tidak tahu informasi karena sosialisi buruk dari KPU atau baru kembali dari bepergian dan sebab-sebab lainnya. Karena hak memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia, hal itu tidak boleh dihilangkan dengan mudahnya.

Inskonstitusional
Karenanya Pasal 28 UU Pilpres dan pasal-pasal terkait harus dieliminasi. Caranya dengan melakukan revisi terbatas UU Pilpres. Bila revisi sulit dilaksanakan karena berbelitnya birokrasi pembentukan undang-undang di DPR, jalan perppu harus segera diwacanakan. Presiden harus mengeluarkan perppu tentang penghapusan Pasal 28 tersebut. Warga negara yang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap bisa memilih sepanjang memperlihatkan identitas kependudukan yang sah di semua TPS di negeri ini, termasuk di TPS luar negeri.

Bila presiden pun tidak tergerak untuk melindungi hak rakyat dengan mengeluarkan perppu, jalan yang saya tawarkan adalah pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diharapkan MK mau menganulir ketentuan Pasal 28 dan pasal-pasal terkait dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, terutama menghilangkan hak konstitusional pemilih yang dijamin konstitusi dan sejumlah undang-undang.

Bila ketiga jalan juga gagal –revisi terbatas, perppu, dan pengujian undang-undang—harus ada keberanian dari KPU untuk membolehkan mereka yang tidak tercantum dalam DPT untuk memilih sebagai langkah melindungi hak pilih warga negara. Yang penting KPU dapat membuat mekanisme sedemikan rupa agar mereka yang tidak tercantum tersebut tidak memilih berkali-kali, menjadi ghost voter untuk memenangkan pasangan calon.

Caranya, antara lain, tinta pemilu harus betul-betul berkualitas, tidak gampang dihapus. Petugas KPPS betul-betul memastikan bahwa jari pemilih tercelup ke dalam tinta dan tidak menyediakan tisu atau kain pembersih karena akan menyebabkan tinta mudah hilang.

Cara lain, mereka yang tidak terdaftar tersebut diberikan kesempatan memilih setelah semua pemilih terdaftar menggunakan haknya atau menjelang TPS ditutup sehingga mereka tidak sempat bergerak ke TPS lain.

Banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk melindungi hak pilih warga negara yang tidak tercantum dalam DPT. Banyaknya warga negara yang harus kehilangan hak memilihnya lantaran tidak tercantum dalam DPT sebagaimana terjadi dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 harus menjadi pelajaran barharga bagi semua pihak untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Hanya keledai yang mau terjerambab pada lubang yang sama. Kita makhluk berpikir, bukan keledai.***

Kampanye Minus Larangan

Campaign Minus Borders


Published by Indonesian media

Jurnal Nasional, 1 June 2009



Refly Harun

Constitutional Law Expert and Election Observer, Centre for Electoral Reform (Cetro)

Pada 29 Mei lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang kemudian dilanjutkan dengan pengundian nomor urut calon keesokan harinya. Artinya, baru pada 29 Mei ada pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2009. Sebelumnya hanyalah bakal calon presiden dan wakil presiden.

UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menentukan bahwa kampanye dimulai tiga hari setelah pasangan calon presiden dan wakil presiden ditetapkan. Dengan demikian, masa kampanye baru dimulai pada 2 Juni (esok hari).

Faktanya, semua bakal pasangan calon telah melakukan kampanye sebelum 2 Juni, terutama kampanye melalui media cetak dan media elektronik. Sebagai otoritas penyelenggara pemilu, KPU tidak dapat menegur curi start seperti itu karena UU Pilpres tidak menjangkau kampanye yang dilakukan oleh bakal pasangan calon. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga tidak mampu mengejar dari aspek pidana pemilunya karena, sekali lagi, kegiatan tersebut belum dikategorikan kampanye menurut aturan formal.

UU Pilpres mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon (Pasal 1 angka 22). Ketika Mega-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto belum ditetapkan sebagai pasangan calon maka unsur kampanye belum terpenuhi. Segala kegiatan yang mereka lakukan tidak bisa dikategorikan sebagai kampanye, tidak juga dapat diartikan sebagai curi start kampanye. Curi start kampanye hanya terjadi sejak pasangan calon ditetapkan pada 29 Mei hingga sebelum 2 Juni.

Etika adalah jawaban dari masalah ini. Bila hukum formal tidak dapat menjangkau, seyogianya setiap pasangan calon menghormati etika berpemilihan untuk tidak memanfaatkan lubang-lubang (loop holes) peraturan. Sayangnya, etika itu semakin jauh dari kegiatan berpemilu kita. Bahkan, ketika undang-undang jelas-jelas melarang kampanye setalah 29 Mei dan sebelum 2 Juni, masih saja ada iklan yang berbau kampanye terselubung, yaitu iklan mengenai kegiatan kemasyarakatan salah satu calon.

Namun, tidak bisa begitu saja pasangan calon atau tim sukses dipersalahkan atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, baik dengan memanfaatkan celah peraturan maupun yang kasat mata, karena undang-undang sendiri sering tidak realistis dan terlalu banyak mengatur. Di masa depan sebaiknya tidak dimuat lagi aturan yang menyatakan bahwa kampanye baru dimulai tiga hari setelah ditetapkan sebagai calon. Setiap saat calon atau bakal calon sebaiknya diperbolehkan berkampanye (kampanye dalam pengertian material, bukan formil).

Juga tidak diperlukan aturan larangan kampanye di masa tenang selama tiga hari sebagaimana diatur dalam UU Pilpres karena potensi pelanggaran juga akan terjadi di masa ini. Contohnya, kampanye dengan menggunakan SMS (short message service) pada masa tenang. Kampanye jenis ini susah untuk dihindarkan. Ketika pemilu legislatif lalu, masih ada pimpinan parpol yang berkampanye secara terselubung di masa tenang dengan berpura-pura bersikap tulus untuk mengajak agar jangan golput dan mengimbau bahwa kalah-menang adalah soal biasa. Iklan itu bahkan terus ditayangkan hingga pagi menjelang pencontrengan. Sekali lagi, ini suatu contoh pintarnya politisi memanfaatkan celah aturan.

Pelanggaran curi start kampanye atau kampanye di masa tenang terjadi karena ada aturan yang melarangnya. Seandainya tidak ada aturan yang melarang, kegiatan tersebut tidak menjadi pelanggaran. Karena itu, yang terbaik adalah menghilangkan larangan tersebut di dalam undang-undang. Di negara-negara lain bahkan pada hari ‘H' pun kampanye tidak dilarang. Yang dilarang adalah kampanye pada radius tertentu di tempat pemungutan suara (polling station). TPS harus steril dari simbol-simbol atau kegiatan kampanye peserta pemilu. Tujuannya tidak lain untuk ketertiban dalam proses pemungutan suara.

Filosofi masa tenang bahwa pemilih diberikan kesempatan untuk berpikir tenang sebelum memutuskan pilihannya terlalu merendahkan kecerdasan pemilih. Pemilih pasti sudah punya preferensi. Mereka yang masih swing voter pun tidak memerlukan waktu khusus -apalagi selama tiga hari-untuk memutuskan pilihannya. Mereka sering hanya butuh waktu beberapa menit untuk menentukan pilihan, yaitu ketika berada di bilik suara. Sebelumnya, sangat mungkin mereka tidak terlalu berpikir mengenai pilihan mereka.

Kampanye Negatif dan Hitam

Satu soal lagi yang menonjol dalam kampanye adalah kecenderungan pasangan calon atau tim sukses untuk saling menyerang. Bahasa sehari-harinya kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign).

UU Pilpres sesungguhnya melarang dua bentuk kampanye tersebut. Dalam pasal tentang larangan kampanye, misalnya, ditegaskan bahwa tidak boleh menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau pasangan calon yang lain (Pasal 41 ayat [1] huruf c).

Yang membedakan negative campaign dan black campaign adalah soal fakta. Negative campaign didasarkan pada fakta yang ada (faktual), sementara black campaign bisa dikatakan mengada-ada (fitnah). Negara-negara lain, terutama negara maju, hanya melarang black campaign, tidak negative campaign. Namun, UU Pilpres rupanya melarang untuk menjelek-jelekkan calon lain meskipun hal tersebut bersifat faktual.

Di masa depan, sekali lagi, saya melihat untuk melonggarkan larangan kampanye. Hanya black campaign yang seharusnya dilarang, tetapi tidak negative campaign. Pasangan calon harus siap untuk "diobok-obok" track record-nya baik oleh kompetitor maupun masyarakat karena dalam panggung pilpres yang kita cari adalah pemimpin terbaik. Mereka harus siap dibuka semua borok masa lalunya agar masyarakat tahu seperti apa mereka sesungguhnya.

Satu hal yang perlu dicatat, kendati negative campaign diperbolehkan, belum tentu hal tersebut menjadi sarana efektif. Buktinya, ketika Mega diserang dalam Pemilu 1999 oleh AM Saefuddin (PPP) setelah "bersembahyang" di sebuah pura di Bali, PDIP tetap melaju dan Bali solid di belakang Mega. Demikian pula, ketika banyak pihak meragukan "keproislaman" SBY pada Pemilu 2004, ia tetap melaju dan menang. Artinya, dalam memilah persoalan dan memilih calon, masyarakat cukup cerdas. Mereka tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu negatif dan murahan. Bahkan, ada kecenderungan pihak yang diserang justru jadi pemenang. Jadi, buat apa terlalu banyak larangan.***

30 April 2009

Kurang dan Curang Pemilu 2009

Weakness and Fraud in 2009 Election

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 1 May 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)


Kurang dan curang adalah dua kata dalam bahasa Indonesia. Bila ditambah dengan awalan ke- dan akhiran –an menjadi kekurangan dan kecurangan. Dari segi susunan huruf yang membentuk, perbedaan keduanya sangat tipis, hanya menyangkut huruf c dan huruf k. Untunglah, di keyboard komputer letak c dan k berjauhan sehingga potensi untuk saling tertukar terbilang kecil.

Ini membedakan dengan huruf b dan n yang letaknya berdampingan. Sebuah koran pernah diamuk massa beberapa tahun lalu karena perkara b dan n tersebut. Kata yang seharusnya ‘nabi’ terketik ‘babi’. Sudah tentu maknanya jauh sekali. Satu mulia dan diagung-agungkan, sementara satunya diasoasiakan dengan sesuatu yang diharamkan, bahkan menjadi kata favorit untuk mengeluarkan makian. Terlebih, kata ‘babi’ diikuti dengan nama seseorang yang dimuliakan bagi pemeluk agama mayoritas di negeri ini.

Dari segi pengertian, curang dan kurang sudah tentu berbeda, walaupun punya napas yang sama: negatif. Kurang adalah sesuatu yang by accident. Curang, tentu saja, disengaja, by design.

Diletakkan dalam konteks Pemilu 2009 yang pemungutan suaranya sudah dilakukan pada 9 April lalu, mana yang terjadi: kurang atau curang, kekurangan atau kecurangan? Setelah hasil (hitung cepat) quick count beberapa lembaga survei diumumkan pada hari H pemilu (polling day), parpol-parpol yang kalah kontan berteriak: kecurangan telah terjadi, bahkan sistematis! Salah satu contoh yang nyata adalah banyaknya warga yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Parpol-parpol yang kalah menyatakan bahwa Pemilu 2009 terburuk sepanjang era Reformasi, bahkan ada yang ’terseleo’ menyatakan sepanjang sejarah pemilu di negeri ini.

Tentu saja berlebihan bila dikatakan terburuk sepanjang sejarah karena pemilu-pemilu era Orde Baru tidak bisa dikategorikan sebagai pemilu yang luber dan jurdil. Pemenang pemilu telah bisa diperkirakan jauh-jauh hari, dengan tingkat kemenangan yang mencengangkan.

Partai yang ditahbiskan sebagai pemenang (baca: Partai Demokrat) langsung membantah. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menantang siapa saja untuk membuktikan bila kecurangan itu memang ada dalam pidato di Cikeas, 19 April lalu.

Semua Bica Curang

Bagi saya, terlalu naif menyatakan bahwa Pemilu 2009 berlangsung mulus tanpa kecurangan. Banyak cacat yang perlu dicatat. Banyak kesalahan yang perlu diperbaiki di masa datang. Namun, terlalu naif pula mengatakan bahwa kecurangan tersebut dilakukan agen tunggal dan tersistematis, terlebih pada era demokrasi dan keterbukaan seperti sekarang.

Soal kecurangan, dengan pemilih terdaftar (registered voters) lebih dari 170 juta, penerapan sistem proporsional terbuka (proportional representation system), dan penentuan pemilih dengan suara terbanyak, tidak berlebihan bila menyebut pemilu Indonesia sebagai the most complicated election in the world. Pemilu India dan AS, negara demokrasi terbesar pertama dan kedua –Indonesia terbesar ketiga—bisa jadi diikuti jumlah pemilih potensial yang lebih banyak, tetapi sistem yang diterapkan sangat sederhana, yaitu pluralitas-mayoritas dengan varian first past the post.

Pemilu yang kompleks tidak hanya menstimulasi banyaknya kekurangan, melainkan juga berpotensi bagi terjadinya kecurangan. Pemilu yang kompleks adalah lahan subur bagi kekurangan dan kecurangan. Potensi kecurangan tidak hanya antarpartai yang bertanding, melainkan juga antarcaleg, termasuk persaingan caleg dalam satu parpol. Satu suara saja berbeda dengan caleg satu parpol, kursi bisa melayang. Bagi mayoritas caleg saat ini, kursi jauh lebih penting ketimbang kemenangan parpol.

Semua parpol dan semua caleg berpotensi melakukan kecurangan karena tidak ada lagi penguasa tunggal seperti era Orde Baru. Di lapis elite nasional, presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri berasal dari parpol yang berbeda. Ini saja sudah menyulitkan untuk membuat orkestra kecurangan sistematis. Belum lagi bila melihat penguasa lokal yang juga berasal dari parpol berbeda, bahkan ada yang dari unsur independen setelah calon perseorangan dibolehkan ikut dalam kontes pilkada sejak pertengahan 2008.

Yang perlu dicatat, kecurangan tersebut tidak khas untuk Pemilu 2009 saja. Kecurangan juga terjadi pada dua pemilu sebelumnya di era Reformasi, Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Salah satu buktinya, ada 273 perselisihan hasil pemilu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 273 perkara tersebut, 39 di antaranya dikabulkan permohonannya. Artinya, kecurangan itu nyata dan ada. Di negara-negara lain, terutama di negara-negara maju, jarang sekali ada ratusan sengketa hasil pemilu yang harus dibawa ke pengadilan.

Netralitas Aparat

Bagaimana dengan TNI? Selain parpol, hanya TNI yang memiliki jaringan hingga tingkat desa. Di era Orde Baru, ketika parpol diganjal dengan kebijakan politik massa mengambang (floating mass), hanya TNI (dulu ABRI) yang dengan leluasa mempengaruhi pemilih untuk mencoblos parpol tertentu. Mantan KSAD Jenderal Hartono, misalnya, pernah terseleo menyatakan bahwa ABRI adalah kader Golkar. Tabiat itu kini telah berubah karena zaman telah berganti.

Bagi TNI saat ini, politik sudah kurang menarik (less interesting) karena kesempatan sudah semakin sedikit. Tidak ada lagi kursi gratis di MPR dan DPR sebagaimana diberikan pada era Orde Baru dan di awal era Reformasi. Kesempatan menjadi menteri dan duta besar sudah makin berkurang karena orang-orang parpol antre untuk jabatan tersebut. Jabatan gubernur, bupati, walikota tidak mudah lagi didapat karena sudah ada pemilihan langsung yang membutuhkan modal besar plus nasib baik dalam merebut kepercayaan publik.

Khusus untuk Pemilu 2009, tiga mantan jenderal bertarung keras: SBY, Wiranto, dan Prabowo. Tiga jenderal ini adalah tokoh-tokoh yang masih memiliki pengaruh besar di TNI. Orkestra ala tentara di era Orde Baru tentu tidak mudah lagi dilaksanakan, meski panglima TNI tetap berada di bawah presiden. Loyalitas tentara, bisa jadi, terbagi-bagi di antara ‘bos’ dan ‘mantan bos’ mereka, di antara para jenderal yang bertarung. Akibat lanjutnya, sulit menerapkan skenario tunggal untuk memenangkan kekuatan tertentu karena akan terjadi check and balances sendiri di antara kekuatan tentara, yang menyebabkan mereka akhirnya berperilaku lebih netral dalam prosesi pemilu.

Saya tidak berada pada posisi untuk membenarkan atau menyalahkan, mendukung atau menyerang pihak-pihak yang bersengketa pasca-pemungutan suara 9 April lalu. Biarlah mereka menyelesaikan sendiri silang sengketa di antara mereka, sepanjang dalam jalur yang disediakan dan dibolehkan. Yang tidak boleh, protes yang berujung pada tindakan anarkistis.

Bagi kita, pemilih, yang terpenting demokrasi tidak dikorbankan. Tiga kali pemilu dalam era Reformasi telah berlangsung sukses, meski dengan segala kekurangan dan kecurangan yang ada. Ini kemenangan rakyat. Kemenangan itu tidak boleh dirampok oleh elite yang berseteru, yang tidak pernah mengajarkan untuk bersikap sportif dalam kontes politik bernama pemilu.***


14 April 2009

Menggugat Hilangnya Hak Pemilih

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 15 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Perhelatan pemungutan suara Pemilu 2009 usai sudah. Pemenang telah dikabarkan oleh banyak lembaga survei. Hasil resmi oleh Komisi Pemilihan Umum bisa jadi sekadar mengkonfirmasi apa yang telah diberitakan lembaga survei, yang tidak bersengketa menyangkut partai politik apa yang menjadi pemenang. Dengan perolehan sekitar 20 persen, Partai Demokrat dipastikan menjadi mayoritas di parlemen 2009-2014.

Soalnya adalah, bisa jadi pemenang sesungguhnya bukan Partai Demokrat, melainkan golongan putih (golput). Golputlah yang memenangi medan Pemilu 2009. Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini benar, tidak salah bila golput ditahbiskan sebagai pemenang pemilu.

Soalnya lagi, kenapa banyak yang golput? Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik--karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen--kita tidak bisa berbuat apa-apa. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis-administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya. Tulisan ini karenanya berkehendak menjawab dua masalah tersebut.

Empat pihak

Ada empat pihak yang patut disalahkan atas banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilih karena soal teknis-administratif. Pertama-tama dan yang utama adalah KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih.

Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.

Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Pihak yang ingin “menyerang” KPU tinggal menggunakan ketentuan Pasal 260 dan Pasal 311 UU Pemilu. Pasal 260 mengancam dengan ancaman hukuman penjara 12-24 bulan terhadap setiap orang (termasuk anggota KPU) yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Pasal 311 menegaskan tambahan sepertiga hukuman bila tindak pidana pemilu tersebut dilakukan penyelenggara pemilu.

Namun, siapa pun tahu, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.

Pihak ketiga yang harus disalahkan adalah partai politik. Undang-Undang Pemilu telah mengamanatkan bahwa parpol bisa meminta salinan daftar pemilih sementara (DPS) kepada panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya, parpol bisa mengecek apakah konstituen atau calon pemilih potensial mereka terdaftar. Nyatanya, banyak parpol tidak bekerja untuk itu. Bila menjelang hari pemilihan masih ada parpol yang berteriak bahwa banyak pemilihnya tidak terdaftar, teriakan itu tidak perlu didengarkan lagi. UU Pemilu telah memberikan kesempatan, tetapi parpol tidak menggunakannya. Jangan karena awak tak pandai menari, lalu lantai pula yang disalahkan.

Terakhir, kesalahan patut pula ditimpakan kepada pemilih yang bersangkutan. Undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menengok dan melongok daftar pemilih sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi DPT. Bahkan penetapan DPT bisa direvisi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2009. Maksudnya, lagi-lagi agar mereka yang tidak terdaftar dapat mendaftarkan diri. Bila pemilih tidak juga terdaftar lantaran alpa mengecek DPT, mereka harus sadar bahwa konsekuensinya adalah tidak bisa memilih.

Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.

Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin dijadikan nasi lagi. Pemilu 2009 telah berakhir dan, berapa pun yang golput, entah karena motivasi politik atau terhalang kendala teknis-administratif, tidak dapat menggagalkan keabsahan pemilu. Bila ada kecurangan, ada saluran hukum yang bisa digunakan, dari pengadilan negeri untuk tindak pidana pemilu hingga MK untuk sengketa hasil pemilu.

Sebagai kata akhir, untuk pemilihan presiden Juli nanti, ada dua hal yang harus dilakukan untuk melindungi hak pilih warga negara sebagai suplemen langkah-langkah normal seperti memutakhirkan data pemilih. Pertama, KPU dan jajarannya harus segera membuat posko pengaduan warga negara yang tidak dapat menggunakan hak memilihnya pada Pemilu 2009. Mereka yang datang ke posko pengaduan harus segera dicatat sebagai tambahan pemilih.

Kedua, KPU menerbitkan peraturan KPU yang mengakomodasi pemilih yang tidak terdaftar, kendati semua pihak telah bekerja keras untuk itu. Mereka cukup menunjukkan KTP atau tanda kependudukan yang sah kepada petugas TPS bila hendak memilih. Terhadap rekomendasi kedua ini, KPU bisa berdalih surat suara terbatas dan undang-undang telah memagari KPU bahwa hanya pemilih terdaftar yang bisa memilih. Terhadap problem jumlah surat suara, bisa saja diatur bahwa mereka yang tidak terdaftar baru diizinkan memilih bila proses pemungutan suara bagi pemilih terdaftar telah ditutup pada pukul 12.00 dan masih ada sisa surat suara yang belum terpakai.

Terhadap belenggu undang-undang, penting dicatat bahwa peraturan KPU tersebut diharapkan menjadi pemantik (trigger) bagi perubahan terbatas Undang-Undang Pemilihan Presiden atau terbitnya perpu. Bila dua instrumen hukum tersebut tidak juga terbit, sebagaimana terjadi untuk pemungutan suara 9 April, KPU harus berani melangkah lebih jauh untuk menyelamatkan hak memilih warga negara.

Bila ada pihak yang menggugat--dan rasanya tidak akan, mengingat kejadian 9 April lalu--KPU dapat berargumentasi bahwa yang mereka lakukan adalah menyelamatkan hak warga negara, sesuatu yang jauh lebih besar dan dilindungi UUD 1945 ketimbang sekadar taklid kepada ketentuan undang-undang yang faktanya menempatkan KPU pada posisi melanggar undang-undang pula, yaitu menyebabkan pemilih kehilangan haknya.***

13 April 2009

Seribu Sengketa di Mahkamah

(Thousands of Electoral Disputes in the Constitutional Court)

Published by Indonesian media,
Kompas, 14 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform

Usai sudah pesta demokratis pada 9 April lalu. Publik kini menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum dalam beberapa hari ke depan. Bagi Mahkamah Konstitusi, ”pesta” justru baru dimulai ketika KPU mengumumkan hasil pemilu secara nasional.

Saat itu hingga 3 x 24 jam ke depan, ribuan sengketa diperkirakan mengalir ke lembaga pengawal konstitusi tersebut. Ketua MK Mahfud MD memperkirakan tidak kurang dari 1.000 kasus bakal masuk. Semuanya harus diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari kerja.

Mengapa seribuan kasus karena karakter pemilu saat ini berbeda dari Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009 makin banyak pihak yang berkepentingan langsung terhadap hasil pemilu. Tidak hanya partai politik, tetapi juga ratusan ribu calon anggota legislatif yang bertebaran di seantero Nusantara. Mereka memperebutkan 18.960 kursi, yang terdiri dari 560 kursi DPR, 132 DPD, 1.998 DPRD provinsi, dan 16.270 DPRD kabupaten/kota. Dengan ketentuan suara terbanyak, satu perbedaan suara saja sudah sangat berarti dalam merebut kursi.

Kompetisi tidak sekadar antarparpol peserta pemilu atau antarcaleg dari parpol yang berbeda, tetapi juga di antara caleg dalam satu parpol. Mereka bisa saja saling menikam dalam rangka memperebutkan kursi. Bagi caleg saat ini, kursi adalah yang utama, penguatan parpol adalah soal kesekian.

Dalam beberapa kesempatan memberikan pelatihan bagi para caleg di daerah, saya sering melontarkan pertanyaan: mana yang mereka pilih, apakah parpol memperoleh lima kursi tetapi kursi tersebut tidak untuk mereka ataukah satu kursi saja dan mereka yang mendapatkannya? Selalu jawaban mereka: satu kursi! Artinya, mereka tidak terlalu peduli dengan parpol. Yang mereka pedulikan adalah diri mereka sendiri.

Pada Pemilu 2004, MK menerima 500-an perkara hasil pemilu dan yang memenuhi syarat untuk diperiksa lebih lanjut sebanyak 273 perkara. Waktu penyelesaian sengketa sekitar 40 hari (termasuk hari libur). Artinya, MK harus menyelesaikan 6-7 perkara per hari. Padahal, jumlah panel hakim yang memeriksa perkara hanya tiga karena undang-undang mensyaratkan panel hakim paling sedikit terdiri atas tiga hakim. Tak heran saat itu satu-dua hakim jatuh sakit.

Sekat formal

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang MK (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003), hanya parpol dan perseorangan calon anggota DPD yang bisa mengajukan perkara, perseorangan caleg tidak boleh. Perkara yang diajukan pun haruslah signifikan untuk memengaruhi perolehan kursi. Jika tidak, perkara tidak akan diperiksa lebih lanjut. Itulah sebabnya kasus yang masuk ”tidak banyak”, setidaknya tidak sampai ribuan.

Ketentuan formal seperti itu tetap berlaku untuk Pemilu 2009 karena UU MK belum berubah dan Peraturan MK Nomor 14 Tahun 2008 yang mengatur lebih lanjut hukum acara sengketa hasil pemilu masih mengadopsinya. Namun, ditetapkannya suara terbanyak berpotensi menyebabkan para caleg menyeberang dari garis formal tersebut.

Pada Pemilu 2004, tak banyak individu caleg yang mau menyeberang dari garis formal karena tidak mudah memperoleh 100 persen bilangan pembagi pemilihan (BPP). Untuk pemilihan anggota DPR, dari 550 orang yang terpilih, hanya Hidayat Nur Wahid (DKI) dan Saleh Djasit (Riau) yang mencapai 100 persen BPP. Selebihnya terpilih karena berkah nomor urut. Tak heran bila pada waktu itu yang komplain hanya caleg nomor 1-2 yang berpotensi mendapatkan kursi. Tentu komplain tersebut melalui pimpinan nasional parpol masing-masing karena undang-undang menentukan hanya ketua umum dan sekjen yang bisa mengajukan sengketa hasil pemilu atas nama parpol.

Dengan ditetapkannya suara terbanyak, tidak bisa tidak, komplain akan datang dari caleg nomor berapa pun. Bila yang dikomplain adalah parpol lain, hal itu tidak masalah. Pimpinan parpol mungkin akan dengan senang hati membubuhkan tanda tangannya dalam pengajuan sengketa hasil pemilu. Bagaimana bila yang dikomplain adalah rekan sendiri yang dianggap curang, yang telah menyebabkan calon lain dalam satu parpol kehilangan kursi? Tentu tidak mudah bagi pimpinan parpol untuk bersikap.

Banjir perkara

Dengan dalil hukum formal bahwa hanya parpol yang berhak mengajukan sengketa hasil pemilu, akankah MK berdiam diri bila yang bersangkutan langsung mengajukan sengketa hasil pemilu atas nama pribadi? Bila berdiam diri, sudah jelas MK tidak konsisten dengan putusannya sendiri. Dalam perkara Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, MK menerobos sekat-sekat formal untuk mencari kebenaran material. MK membuat ijtihad hukum dengan memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang, dua jenis putusan yang sebenarnya tidak dikenal dalam hukum formal sengketa hasil pilkada sebagaimana diatur dalam Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008.

Pada titik ini, MK akan menghadapi dilema. Bila sekat formal tersebut dibuka, akan terjadi banjir perkara. Skenario ribuan perkara bukan sesuatu yang mustahil. Namun, bila tetap kukuh pada aturan formal, keadilan tidak akan tercipta. Kursi akan jatuh pada caleg yang tidak berhak. Lebih jauh lagi, hal ini telah mencederai kedaulatan rakyat.

MK harus menciptakan sistem penanganan perkara pemilu yang tangguh. Skenario banjir perkara harus disiapkan. Kendati tidak secara jelas-jelas membuka sekat tersebut dalam peraturan MK, paling tidak, lembaga pengawal konstitusi itu telah siap bila ribuan caleg yang terzalimi berbondong-bondong datang ke MK untuk meminta kursi mereka kembali. MK tidak boleh berdiam diri atas nama hukum formal bila hal ini terjadi.

Namun, MK pun harus memilih dan memilah. Hanya perkara yang betul-betul serius yang diperiksa. MK tidak boleh menjadi kotak sampah keisengan para caleg yang memang khas Indonesia: siap menang, tetapi tidak pernah siap untuk kalah!***


Skenario Usai Pesta

(Scenario after Party)

Published by Indonesian media,
Republika, 14 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Pesta demokrasi Pemilu 2009 usai sudah. Pemenang sudah bisa ditentukan meski baru sebatas hasil penghitungan cepat (quick count). Pertanyaan klasik yang segera menyergap saat ini adalah bagaimana medan pertarungan pilpres Juli nanti? Siapa yang akan menantang SBY? Siapa yang paling berpeluang menang? Tulisan ini bermaksud mendiskusikan sebagian soal-soal klasik tersebut, sebagaimana juga diperbincangkan sejumlah pengamat, baik melalui tulisan maupun ulasan di televisi.

Hasil penghitungan cepat dari beberapa lembaga survei mewartakan satu hal: betapa kuatnya posisi the incumbent, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan ambang batas (presidential threshold) 20 persen kursi atau 25 persen suara, kini hanya Demokrat yang bisa melenggang ke pencalonan tanpa pusing memikirkan mitra koalisi.

Prediksi 20 persen suara bagi parpol Demokrat akan bertambah bila diterjemahkan ke dalam persentase kursi. Penyebabnya, ada 29 parpol yang tidak mencapai parliamentary threshold (PT). Bila tiap parpol rata-rata mencapai 1 persen suara saja, berarti akan ada 29 persen suara yang akan terbuang. Dengan fakta ini, 20 persen suara akan diterjemahkan sama atau lebih ke dalam persentase kursi.

Kalaupun SBY ditinggalkan semua parpol, ia akan tetap dapat melaju dalam pencalonan presiden. Namun, mengingat performa politik SBY hari ini, rasanya hampir tidak mungkin ia ditinggalkan. PKS, PAN, PKB, dan PPP sangat jelas merapat ke kubu SBY. Sementara PDIP, Gerindra, dan Hanura sudah hampir pasti menolak berkoalisi dengan Demokrat karena persoalan psikologis para pemimpinnya.

Yang menarik ditunggu adalah sikap Golkar dan Jusuf Kalla (JK). JK berada dalam dilema besar. Maju berarti hancur, tidak maju berarti menjilat ludah sendiri. Bagi JK, yang terkenal dengan sikap pragmatismenya, mundur dari pencapresan dan melirik kembali ke SBY bukan persoalan besar. Persoalannya, ia akan terus digedor dari internal Golkar yang ingin 'mendorongnya' ke jurang kekalahan. Dengan demikian, ada kesempatan untuk mengambil kepemimpinan Golkar pada 2010. Bila JK masih menjadi wakil presiden, posisi JK di Golkar akan aman. Tanpa posisi politik yang kuat, akan mudah bagi lawan-lawan politik JK menjungkalkannya dalam perhelatan Munas 2010.

Masalahnya, apakah SBY juga bersedia mengambil JK lagi sebagai wakilnya untuk pilpres mendatang. Dengan tingkat popularitas hingga hari ini, tidak masalah siapa pun wakil SBY. Ia tetap memiliki peluang paling besar untuk memenangi medan Pilpres 2009. Kalau mau jujur, selama ini JK lebih dirasakan sebagai 'kerikil' dalam pemerintahan SBY ketimbang mitra sejati.

Koalisi Pilpres
Menimbang syarat pengajuan capres yang harus memenuhi kuota 20 persen kursi atau 25 persen suara, saya memperkirakan ada tiga skenario untuk pilpres mendatang. Pertama, skenario mutakhir yang banyak dibincangkan, yaitu capres diisi oleh tiga calon: SBY, Mega, dan JK.

Majunya Mega dan JK dalam medan pilpres karena tidak ada pilihan lain. Bagi Mega, menjadi capres adalah harga mati bila ingin tetap beredar dalam peta politik Tanah Air. Bagi JK, bila nanti SBY benar-benar mengajukan talak, sudah tentu ia harus maju sendiri, dan tidak mungkin pula maju sebagai cawapres dari calon lain. Posisinya mirip seperti Hamzah Haz pada Pilpres 2004, yang 'terpaksa' maju meski sadar tidak punya peluang lagi.

Kedua, skenario status quo. Hal ini terjadi bila JK tetap dipertahankan sebagai pasangan SBY. Probabilitas skenario ini tidak tertutup sama sekali walaupun kini mengecil. Golkar makin menyadari bahwa takdir mereka adalah menjadi nomor dua, bukan nomor satu. Selain hanya menduduki posisi kedua atau ketiga dan tidak lagi nomor satu seperti Pemilu 2004, mereka juga tidak memiliki sosok populer yang bisa dijual.

Ketiga, skenario ABS, asal bukan SBY. Semua kelompok yang menolak SBY bergabung menjadi satu dan menjagokan capres yang diperkirakan paling mampu mengalahkan SBY. Skenario ketiga ini sangat menarik untuk ditunggu. Bagi saya, inilah satu-satunya yang bisa menghadang laju SBY untuk medan Pilpres 2009.

Mega punya peluang besar untuk memimpin koalisi ABS. Namun, peluang Mega untuk mengalahkan SBY terbilang kecil karena dia bukan lagi inspirational leader seperti pada Pemilu 1999. Mega cenderung menjadi kartu mati. Popularitasnya dari hari ke hari makin turun. JK juga tidak pada posisi untuk memimpin koalisi ABS karena akan sulit menjelaskan kepada publik posisinya karena ia bagian dari pemerintahan.

Hingga hari ini, kiranya hanya satu sosok yang berpeluang memimpin koalisi ABS: Prabowo. Partai Prabowo, Gerindra, memang hanya memperoleh sekitar 4 persen suara menurut beberapa lembaga survei, tetapi jangan dilupakan bahwa Gerindra adalah parpol baru. Pada Pemilu 2004, Demokrat juga memperoleh suara kurang dari 10 persen, tepatnya 7,5 persen, tetapi SBY mampu memenangi medan Pilpres 2004 setelah head to head dengan incumbent Megawati.

Bagi Prabowo, mudah baginya untuk mengambil posisi yang berbeda dengan SBY. Misalnya dalam hal isu ekonomi, ia bisa menjargonkan ekonomi kerakyatan dengan basis petani dan nelayan, ditandingkan dengan sistem ekonomi kapitalisme atau neoliberalisme seperti dituduhkan sejumlah ekonom kepada pemerintahan SBY. Dalam hal kepemimpinan, Prabowo bisa mencitrakan sebagai pemimpin yang decisive, tidak peragu, dan masih banyak lagi isu yang bisa dimainkan.

Namun, tentu saja, tidak mudah bagi Prabowo menjadi Obama dalam medan Pilpres 2009.
Posisi pemerintahan SBY saat ini sangat baik di mata rakyat. Meminjam kata Rektor Paramadina Anies Baswedan dalam talkshow di televisi, pesan pemilih jelas: continuity (lanjutkan), bukan change (perubahan).

Satu skenario yang mungkin juga terjadi, sebagai varian dari skenario ABS, adalah tidak ada calon presiden selain SBY. Semua lawan SBY menarik diri dari medan pilpres karena kecil peluang mereka untuk menang dari SBY. Diharapkan, pilpres tidak akan berlangsung karena tidak ada calon lain. Secara teoretis, mudah bagi SBY menjawab skenario ini bila memang terjadi, yaitu cukup dengan menciptakan calon boneka dari parpol-parpol pendukungnya sebagaimana terjadi dalam sejumlah pilkada yang calonnya kuat. Namun, medan pilpres akan menjadi dagelan politik. Saya berharap dan yakin, skenario ini tidak terjadi karena politikus kita (mudah-mudahan) masih berjiwa sportif. Kalah dalam pertandingan, jauh lebih baik dan terhormat ketimbang berupaya menggagalkan kompetisi karena tidak melihat peluang menang.

Hingga titik ini, saya masih tetap menyesalkan putusan MK yang menolak penghapusan presidential threshold. Andai semua parpol diberikan hak untuk mengajukan calon, saya tidak yakin akan ada 38 capres. Calon paling kurang dari 10 orang, tidak jauh dari nama-nama SBY, Mega, JK, Prabowo, Wiranto, Sri Sultan, termasuk Rizal Ramli. Merekalah yang sebenarnya paling serius maju dalam medan Pilpres 2009.

Demokrasi tidak hanya soal hasil, melainkan juga proses. Dengan tujuh calon, tidak berarti pilpres akan senantiasa dua putaran sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak yang terlalu memberatkan aspek teknis-administratif dalam penyelenggaraannya. Dengan kuatnya figur SBY, pilpres bisa jadi hanya berlangsung satu putaran. Namun, satu poin pasti didapat, demokrasi kita akan melangkah lebih maju dengan memberikan kesempatan kepada putra terbaik untuk bersaing dalam medan pilpres secara adil. Inilah yang kita tidak punya saat ini gara-gara ulah politisi di Senayan yang kemudian dikuatkan dengan putusan MK, 18 Februari lalu.***