17 March 2009

Amrozi dan Konstitusionalitas Hukuman Mati

Publushed by Koran Tempo, August 2006


Oleh Refly Harun

Staf Ahli Mahkamah Konstitusi;

Mahasiswa Program Human Rights Notre Dame University, AS


“The death penalty is the ultimate cruel, inhuman and degrading punishment. It violates the right to life.” (Amnesty International)


Bila tidak segera mengajukan peninjauan kembali (PK), jejak hidup Amrozi dkk., para terpidana peristiwa Bom Bali hampir empat tahun lalu, akan segera berakhir. Berakhir diujung senapan regu tembak. Begitulah yang dapat dibaca dari pemberitaan media akhir-akhir ini.

Setiap kali terjadi eksekusi hukuman mati, setiap kali pula muncul polemik terhadapnya. Banyak yang kontra terhadap hukuman ini, tetapi tidak sedikit pula yang pro. Mereka yang kontra biasanya dilandasi pemikiran bahwa hukuman mati tidak serta-merta menurunkan angka kejahatan. It has never been shown to deter crime more effectively than other punishments, tulis Amnesti International (AI) dalam website mereka. Yang masih pro hukuman mati akan melihatnya dari sudut hak asasi manusia korban yang telah dilanggar pelaku. Beberapa pihak juga akan melihatnya dari nilai-nilai agama yang notabene membolehkan hukuman jenis ini.

Pro dan kontra terhadap hukuman mati tersebut sudah berlangsung panjang dan tampaknya tidak akan berkesudahan. Hukum positif kita (the existing laws) sendiri masih menganut hukuman mati. Tidak hanya pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang peninggalan Belanda yang masih mengakui hal itu, undang-undang baru juga demikian – Perlu dicatat Belanda sendiri sudah menghapuskan hukuman mati dan termasuk negara yang paling aktif mengimbau penghapusan hukuman ini. Undang-undang mengenai kejahatan narkoba dan korupsi, misalnya, adalah contoh-contoh ketentuan hukum yang masih mengakui hukuman mati.

Tidak bisa dimungkiri, tren global saat ini memang mengarah pada penghapusan hukuman mati. Seperti yang dicatat AI, ketika Konferensi Internasional tentang Hukuman Mati (International Conference on the Death Penalty) diselenggarakan di Stockholm, Swedia, pada 1977, hanya 16 negara yang telah menghapuskan hukuman mati. Kini jumlah itu sudah berkembang menjadi 87 negara. Yang terbaru adalah Filipina, yang menghapuskan hukuman mati pada Juni lalu. Setiap tahun sejak 1997, Komisi HAM PBB selalu mengeluarkan resolusi yang menyerukan agar negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati melakukan moratorium eksekusi. Resolusi terakhir pada April 2005 disokong oleh 81 anggota PBB yang merupakan dukungan tertinggi selama ini.

Kendati demikian, angka terhukum mati masih sangat banyak. Diperkirakan lebih dari 20 ribu orang di seluruh dunia sedang menunggu eksekusi. Sepanjang 2005, 2.148 orang di 22 negara telah dieksekusi, 94 persen di antaranya terjadi di China, Iran, Saudi Arabia, dan –menariknya—Amerika Serikat, negeri yang paling getol berteriak lantang tentang penegakan HAM. Sepanjang 2005 pula, 5.186 orang telah dijatuhi hukum mati di 53 negara.

Uji Konstitusionalitas

Bila diletakkan dalam kerangka konstitusi kita, ada pendapat bahwa hukuman mati seharusnya dihapuskan. Pendapat itu didasarkan pada bunyi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Bagi Hakim Konstitusi Achmad Roestandi (2004) ketujuh HAM yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) tersebut adalah mutlak (lihat dalam Refly Harun et. al. [ed] Menjaga Denyut Nadi Konstitusi hal. 51). Dengan konstruksi berpikir demikian, pemberlakuan hukum mati dalam sejumlah undang-undang harus dianggap batal demi hukum (null and void). Hal ini sesuai dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang secara hierarkis berada di atas [supreme] dapat mengenyampingkan hukum yang berada di bawahnya).

Persoalannya, hingga saat ini belum ada pihak yang mengajukan pengujian undang-undang yang memuat pasal-pasal hukuman mati ke MK. Para aktivis HAM yang dulu paling getol meneriakkan penghapusan hukum mati tidak jua mempelopori hal ini. Namun, perlu dicatat, yang mengajukan pengujian sebaiknya terpidana mati sendiri agar mudah memenuhi kriteria legal standing sebagai pemohon yang dirugikan hak konstitusionalnya, walaupun tidak berarti para aktivis atau lembaga HAM tidak perlu ikut mengajukan. Memang agak ironis, kalaupun MK mengabulkan permohonan, terpidana mati tersebut belum tentu dapat menikmati buah perjuangan mereka. Sebab, putusan MK berlaku ke depan (prospektif), tidak surut (retroaktif). Tetapi, paling tidak, pemohon tersebut telah ‘berjasa’ pada mereka-mereka yang diancam hukuman mati di masa depan.

Adalah sangat menarik menanti putusan MK seandainya ada pihak yang mengajukan pengujian pasal-pasal hukuman mati. Sejauh ini, dari tujuh HAM yang dinilai mutlak oleh Hakim Konstitusi Achmad Roestandi tersebut, baru hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroaktif) saja yang telah dimintakan pengujian. Pertama pengujian terhadap UU Nomor 16 Tahun 2003 (UU Bom Bali) dan kedua pengujian terhadap UU Nomor 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM).

Kedua undang-undang yang diuji tersebut memang mengandung ketentuan retroaktif, tetapi putusan MK ternyata berbeda. Permohonan pengujian Bom Bali dikabulkan MK, tetapi tidak demikian halnya dengan UU Pengadilan HAM (khusus Pasal 43 ayat [1] mengenai eksistensi pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran HAM di masa lalu). Sejauh ini belum ada putusan mengenai tafsir atas hak untuk hidup (right to life) sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Terlepas dari belum ada kasus yang masuk, berdasarkan putusan pengujian UU Pengadilan HAM, dapat disimpulkan bahwa MK menganut aliran pikiran bahwa HAM yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak bersifat mutlak. Paling tidak, ada enam orang hakim yang berpandangan demikian (karena ada tiga orang hakim yang mengajukan pendapat berbeda, termasuk Achmad Roestandi). MK telah mengaitkan eksistensi Pasal 28I ayat (1) dengan Pasal 28J ayat (2) yang berisi ketentuan mengenai pembatasan HAM.

Sebagai penutup, sebelum makin banyak terpidana mati dieksekusi, ada baiknya segera diajukan uji konstitutsionalitas hukuman mati ke MK. Harus ada kejelasan apakah hukuman mati bertentangan dengan konstitusi atau tidak.***


Washington DC, 1 Agustus 2006

No comments: