17 March 2009

Saat Dewi Keadilan Menolak Tundur

Published by the Indonesian media.
Kompas, 26 February 2004


By Refly Harun
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI; Asisten Hakim Konstitusi

SPEKTAKULER! Itulah kata yang pantas bagi putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai permohonan pengujian Pasal 60g UU No 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum, Selasa (24/2). Putusan dikabulkannya
permohonan itu membuktikan hukum masih ada dan masih bisa mengatasi
kepentingan politik.
Memang ada perasaan tidak obyektif menilai putusan itu karena
saya bekerja di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, nurani saya tak
kuasa menyatakan bila kali ini sang dewi keadilan (hukum) menolak
tunduk di kaki dewa kekuasaan (politik), sebagaimana kerap terjadi
dalam dunia hukum selama ini.

***
KEPUTUSAN itu tidak seperti hasil kasasi Akbar Tandjung yang
diputus bebas Mahkamah Agung (MA), paling tidak dalam menarik
perhatian publik. Namun, putusan yang dibacakan selama 1 jam 54 menit
di kantor MK di Jalan Medan Merdeka Barat No 7 itu juga penting
karena menyangkut jutaan eks PKI yang selama ini dipinggirkan dari
politik maupun ekonomi.
Dalam putusannya, majelis hakim MK menyatakan Pasal 60g
bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam UUD
1945, karena itu menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sejak dibacakan. Pasal 60g berbunyi, "Calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat:
[g] bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat
langsung atau tak langsung G30S PKI atau organisasi terlarang
lainnya."
Alasan dikabulkannya permohonan seperti yang dapat disimak dari
putusan MK antara lain, pertama, UUD 1945 tidak membenarkan
diskriminasi berdasar perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan
keyakinan politik. Adapun Pasal 60g melarang sekelompok warga negara
berdasarkan keyakinan politik yang pernah dianut.
Kedua, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih
(right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin
konstitusi. Karena itu, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak
dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.
Ketiga, pembatasan hak untuk dipilih dalam Pasal 60g semata-mata
bersifat politis, sedangkan yang dibolehkan UUD 1945 dengan
maksud "semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
Keempat, pelarangan terhadap eks PKI mengandung nuansa hukuman
politik. Padahal, sebagai negara hukum, tiap pelarangan yang
berkaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus
didasarkan atas pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

***
SALAH seorang hakim, H Achmad Roestandi SH, berbeda pendapat
(dissenting opinion) terhadap putusan ini. Baginya, pelarangan itu
sah karena bersifat situasional, tidak permanen, dikaitkan dengan
intensitas peluang penyebaran kembali paham (ideologi) komunisme/
marxisme/leninisme dan konsolidasi PKI. Dan pembuat UU (DPR dan
pemerintah), menurut dia, memiliki hak untuk membuat pertimbangan
atas pembatasan itu.
Menurut Roestandi, yang secara jelas-jelas tidak boleh dikurangi
HAM-nya dalam UUD 1945 adalah hak-hak yang tercantum dalam Pasal 28I,
yaitu (1) hak hidup, (2) hak untuk tidak disiksa, (3) hak kemerdekaan
pikiran dari hati nurani, (4) hak beragama, (5) hak untuk tidak
diperbudak, (6) hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan (7)
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Di luar
ketujuh hak tersebut bisa dikurangi asal untuk sementara waktu
(nonpermanen).
Ketentuan Pasal 60 huruf g itu, menurut saya, amat tidak adil.
Dalam pasal yang sama (ayat yang berbeda), misalnya, ada ketentuan,
calon anggota legislatif (caleg) harus tidak sedang menjalani pidana
penjara berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih. Melalui penafsiran terbalik bisa dikatakan
seorang koruptor yang sudah dihukum pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi, tetapi masih mengajukan upaya kasasi ke MA, bisa diajukan
sebagai caleg karena putusannya belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Atau sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi ancaman
perbuatannya kurang dari lima tahun. Di sini jelas-jelas ada aroma
tidak adil. Seorang anggota PKI yang secara jelas tidak tahu apa
kesalahannya (kecuali pernah cap jempol menjadi anggota PKI) dilarang
menjadi caleg, padahal ia tidak pernah nyolong uang negara!
Selain itu, kekhawatiran pelarangan eks PKI terlalu berlebihan
karena dalam pasal yang sama ada ketentuan, tiap caleg harus setia
kepada Pancasila dan UUD 1945 serta cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945. Secara teoretis, mereka yang menyatakan setia kepada Pancasila
dan UUD 1945 serta cita-cita Proklamasi tidak mungkin mengembangkan
ajaran atau ideologi komunis. Bagi yang ingin menonjolkan keyakinan
beragama, syarat menjadi caleg juga harus bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Artinya, seorang ateis, komunis atau bukan, tidak memenuhi
syarat sebagai caleg karena pasti tidak bertakwa kepada Tuhan.
Bila larangan terhadap eks PKI karena PKI pernah melakukan
pemberontakan terhadap NKRI, bahkan dua kali, pelarangan yang sama
seharusnya berlaku pula bagi eks DI/TII, eks PRRI/Permesta, bahkan
eks GAM, yang semuanya pernah dan sebagian masih melakukan
pemberontakan. Amat mengherankan UU Pemilu tidak mencantumkan,
misalnya, anggota GAM atau eks GAM sebagai pihak yang dilarang
sebagai caleg.
***
PERSOALAN yang menarik adalah implikasi hukum dari putusan MK,
apakah caleg yang telah digugurkan KPU/KPUD bisa mengajukan gugatan
ke penyelenggara pemilu agar mereka dimasukkan kembali sebagai caleg.
Hal ini amat bergantung pada itikad KPU/KPUD sendiri. Sekadar
pegangan, asas universalitas hukum adalah nonretroaktif, yaitu
ketentuan hukum tidak boleh berlaku mundur. Namun, untuk kepentingan
pencari keadilan sering didalilkan, bila ada dua ketentuan yang
berlaku, ketentuan yang paling menguntungkan sang pencari keadilan
yang diterapkan.
Dalam hal ini, ada perubahan hukum terhadap syarat-syarat menjadi
caleg. Sebelumnya, ada restriksi terhadap para anggota PKI, sekarang
ketentuan ini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Artinya, KPU/KPUD bisa saja mengembalikan posisi para caleg yang
digugurkan karena persyaratan Pasal 60g itu.
Bagaimana bila KPU tidak mau mengembalikan mereka ke dalam daftar
caleg? Selain asas nonretrokatif, ada cantolan hukum yang bisa
digunakan untuk menopang tindakan itu, yaitu Pasal 59 UU No 24
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), yang berbunyi, "Undang-undang
yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan
dengan UUD 1945".
Dengan bersandarkan ketentuan ini, tindakan KPU yang mencoret
caleg yang terindikasi PKI sah menurut hukum positif yang berlaku
sebelum adanya putusan MK. Ketua MK Jimly Asshiddiqie sendiri
menyatakan, putusan MK itu berlaku sejak diputuskan, tidak berlaku
surut. Misalnya, KPU sudah mengeluarkan keputusan tentang penetapan
caleg sebelum putusan MK dibacakan, keputusan itu tetap sah karena
didasarkan pada hukum positif yang berlaku. Seandainya caleg-caleg
yang terindikasi PKI tetap tak puas, jalan satu-satunya yang bisa
dilakukan adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
atas tindakan KPU mencoret mereka dari daftar caleg.
Terlepas dari semua pro-kontra yang mungkin bakal mengiringi
putusan MK itu di hari- hari mendatang, saya pribadi merasa bangga
dengan putusan itu. Sudah saatnya supremasi hukum lebih dikedepankan
ketimbang pertimbangan-pertimbangan politik yang kerap mewarnai
keputusan hukum. Jangan lagi dewi keadilan terpuruk di kaki dewa
kekuasaan. Sudah saatnya ruang sidang pengadilan menjadi tempat orang
mencari keadilan, bukan pembenaran ketidakadilan.

No comments: