This article was published by the Indonesian media
Kompas, 12 August 2003
Refly Harun
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
SEBUAH institusi yang diharapkan menjadi benteng terakhir penjaga
konstitusi (the guardian of constitution) mencari sembilan orang
hakim konstitusi.
Syarat: 1) warga negara Republik Indonesia; 2) berpendidikan
sarjana hukum; 3) berusia sekurang-kurangnya 40 tahun dan tidak lebih
dari 67 tahun; 4) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasar
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau
lebih; 5) tidak sedang dinyatakan pailit berdasar putusan pengadilan;
6) mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya
sepuluh tahun.
Calon yang diinginkan memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Bila
Anda memiliki kualifikasi itu, ajukan lamaran ke Mahkamah Agung (MA),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Presiden sebelum 17 Agustus 2003.
***
ITULAH iklan yang harus segera dikeluarkan setelah Rancangan
Undang-undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) disetujui DPR dan
pemerintah menjadi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dalam
Rapat Paripurna Luar Biasa DPR, Rabu (6/8) pukul 23.15 (Kompas, 7/8).
Pekerjaan mendesak yang harus dilakukan kini adalah mencari sembilan
hakim konstitusi. Menurut Pasal 24C Ayat (3) Perubahan Ketiga UUD
1945, kesembilan hakim konstitusi itu diajukan masing-masing tiga
orang oleh MA, DPR, dan Presiden, tentu tidak dengan mengabaikan
aspirasi publik.
Namun, apa boleh buat, publik saat ini di-fait accompli DPR dan
pemerintah. Bagaimana tidak, waktu yang tersisa sebelum hakim
konstitusi dipilih hingga paling lambat 17 Agustus tinggal 11 hari
(dihitung sejak RUU MK disetujui). Waktu akan kian berkurang karena
sebuah RUU masih memerlukan tanda tangan Presiden dan pengundangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LN RI) sebelum berlaku
efektif.
Pertanyaannya, dalam waktu tersisa apa yang bisa dilakukan? Yang
jelas mencari sembilan orang yang memenuhi segala kriteria, baik yang
ditetapkan dalam konstitusi maupun UU MK. Masalahnya, kriteria yang
ditetapkan konstitusi tidak jelas dan tidak bisa dikuantifikasi.
Bagaimana mengukur seseorang memiliki integritas? Apa yang dimaksud
tidak tercela? Bagaimana mengukur seseorang itu adil? Siapa yang bisa
menguji seseorang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan? Lalu,
institusi mana yang bisa menyatakan bahwa seseorang negarawan atau
bukan? Hanya syarat tidak merangkap sebagai pejabat negara saja yang
bisa diterapkan secara mudah.
Karena itu, syarat yang ditambahkan dalam UU MK menjadi penting.
Memang akan memunculkan persoalan apakah syarat tambahan itu tidak
mereduksi ketentuan dalam konstitusi. Ketika UU Pemilu
Presiden/Wapres (UU Pilpres) disetujui DPR, pakar hukum tata negara
Prof Harun Alrasid berteriak, syarat tambahan dalam UU Pilpres
inkonstitusional, karena syarat jabatan presiden seharusnya merupakan
materi konstitusi bukan undang-undang. Undang-undang hanya
mengelaborasi lebih lanjut secara teknis syarat yang ditetapkan
konstitusi. Misalnya, syarat mampu secara rohani dan jasmani dalam
konstitusi, oleh undang-undang bisa dielaborasi lebih lanjut,
pemenuhan syarat itu bisa ditunjukkan dengan surat keterangan dokter.
Hal yang sama juga berlaku bagi syarat hakim konstitusi dalam
Pasal 24C Ayat (5) Perubahan Ketiga UUD 1945. Undang- undang harus
mengatur hal-hal teknis agar syarat berintegritas, tidak tercela,
adil, negarawan, dan menguasai konstitusi dan ketatanegaraan ada
parameternya. Dengan demikian, publik bisa menilai siapa saja yang
bisa memenuhi kriteria itu.
***
BILA dicermati, syarat yang tercantum dalam UU MK bukan elaborasi
ketentuan konstitusi. UU MK secara "cerdas" membedakan syarat saat
menjadi hakim konstitusi dan syarat untuk dapat diangkat menjadi
hakim konstitusi. Syarat yang tercantum dalam konstitusi oleh UU MK
dikualifikasi sebagai syarat saat menjadi hakim konstitusi. Artinya,
setelah seseorang terpilih menjadi hakim konstitusi, ia seharusnya
sosok berintegritas, tidak tercela, adil, negarawan, serta menguasai
konstitusi dan ketanegaraan, plus tidak merangkap sebagai pejabat
negara.
Soal rangkap jabatan, dielaborasi dalam Pasal 17 UU MK, hakim
konstitusi dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
anggota partai politik, pengusaha, advokat, dan pegawai negeri.
Pelarangan jabatan ini merupakan keadaan setelah seorang terpilih
sebagai hakim konstitusi. Syarat ini menjadi penting hanya dalam hal
pemakzulan (impeachment) hakim konstitusi.
Di sinilah pintarnya politisi kita memainkan aturan dalam undang-
undang. Dengan ketentuan tidak merangkap anggota partai politik hanya
pada keadaan setelah diangkat sebagai hakim konstitusi, maka anggota
DPR dapat menjadi hakim konstitusi sepanjang ia memenuhi syarat
sebagai WNI, sarjana hukum, minimal 40 tahun dan belum 67 tahun,
tidak dipidana penjara, tidak pailit, dan memiliki pengalaman kerja
di bidang hukum minimal 10 tahun.
Pengalaman sebagai anggota DPR (bidang legislasi) konon termasuk
pengalaman kerja di bidang hukum. Yang penting setelah terpilih,
anggota DPR yang bersangkutan melepaskan posisinya sebagai anggota
DPR dan keluar dari keanggotaan partai politik.
Celakanya, UU MK tidak menyediakan mekanisme cukup bagi
partisipasi publik (lack of public participation). UU MK hanya
menyebutkan, pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara
transparan dan partisipatif (Pasal 19). Penjelasan pasal itu
menyatakan, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik
cetak maupun elektronik sehingga masyarakat mempunyai kesempatan
untuk ikut memberi masukan. Tidak ada ketentuan yang mewajibkan tiga
lembaga negara pengaju hakim konstitusi terikat atau paling tidak
memperhatikan masukan dari masyarakat. Apalagi UU MK menentukan tata
cara pengajuan, seleksi, dan pemilihan hakim konstitusi diatur oleh
masing-masing lembaga yang berwenang mengajukan (Pasal 20 Ayat [1]).
Artinya, 99,9 persen hakim konstitusi bakal ditentukan oleh keinginan
MA, DPR, dan Presiden sendiri.
Saya berharap dalam waktu yang tersisa, MA, DPR, dan Presiden,
betul-betul mencari hakim konstitusi yang memenuhi segala kriteria
dan mereka adalah sosok yang ada dalam wilayah imajinasi publik.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), misalnya, telah
menyebarkan kuesioner di lima kota besar (Jakarta, Yogyakarta, Medan,
Denpasar, dan Padang), mengenai siapa yang pantas jadi hakim
konstitusi. Hasilnya, 44 orang dinilai layak menjadi hakim konstitusi
16 March 2009
Dicari, Sembilan Hakim Konstitusi (Wanted, Nine Constitutional Justices)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment