17 March 2009

Mengundurkan Pemilu

Koran Tempo, 24 March 2004


Refly Harun

· Peneliti Pusat Studi Hukum Dan Tata Negara UI

Kurang dari setengah bulan pelaksanaan pemilu 5 April nanti, pro dan kontra tentang jadi tidaknya pemilu masih menghiasi halaman-halaman media cetak dan elektronik. Hal ini antara lain dipicu oleh tersendat-sendatnya pencetakan dan distribusi surat suara. Masyarakat, lagi-lagi tecermin dari pemberitaan media, jadi bertanya-tanya apakah pemilu jadi dilaksanakan pada 5 April atau tidak. Tidak kurang Presiden Megawati perlu memerintahkan jajaran eksekutif di bawahnya untuk all out mengamankan pemilu. Dalam beberapa kali kesempatan Megawati menyatakan bahwa pemilu adalah pertaruhan akan kelanjutan reformasi dan karenanya harus diamankan.

Kendati begitu, publik masih ragu. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), misalnya, pernah mewacanakan penundaan atau pengunduran jadwal pemilu. Persoalan yang segera menarik perhatian adalah apa konsekuensi hukumnya andai pemilu betul-betul ditunda atau diundurkan jadwalnya? Untuk menjawab pertanyaan ini dalam perspektif hukum, terlebih dulu perlu diketahui dasar-dasar hukum pelaksanaan Pemilu 2004.

Sangat membahagiakan, ihwal pemilu sudah tercantum dalam konstitusi, yaitu Bab VIIB Pasal 22E Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada 9 November 2001. Pasal 22E antara lain mengandung ketentuan bahwa (1) pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali; (2) pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD; (3) pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Pasal 22E UUD 1945 itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) serta UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden (UU Pilpres).

Terkait dengan jadwal pemilu, konstitusi hanya menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Tidak ditegaskan kapan tanggal pasti pelaksanaan pemilu. Kedua undang-undang di atas pun tidak menjabarkan makna lima tahun sekali itu. Pasal 4 UU Pemilu, misalnya, hanya menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan.

Kaidah tentang jadwal pemilihan (pencoblosan) dalam UU Pilpres terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan. Lalu, Pasal 4 UU Pilpres menyatakan bahwa pemungutan suara untuk pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan selambat-lambatnya tiga bulan setelah pengumuman hasil pemilu bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD. Itulah sebabnya, pemilu presiden/wakil presiden dilaksanakan pada 5 Juli, tepat tiga bulan setelah pemilu legislatif.

Dengan perhitungan Pemilu 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999, Pemilu 2004 seharusnya dilaksanakan juga pada 7 Juni 2004 agar tepat hitungan lima tahun sebagaimana dimaktubkan dalam konstitusi. Tapi nyatanya Pemilu 2004 ditetapkan pelaksanaannya pada 5 April, kurang satu bulan dua hari untuk menjadi lima tahun.

Pemilu di atas hanya berlaku untuk pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Untuk pemilihan presiden, belum ada preseden pemilihan umum. Yang ada sebelumnya adalah pemilihan (tidak umum) oleh para anggota MPR. Pemilihan terakhir terjadi pada 20 Oktober 1999. Bila pemilihan itu dijadikan patokan, pemilihan berikutnya baru dilaksanakan pada 20 Oktober 2004. Sementara itu, jadwal yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum adalah 5 Juli untuk pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama dan 20 September untuk putaran kedua.

Konvensi ketatanegaraan kita ternyata tidak mempraktekkan waktu tertentu untuk pemilu. Pemilu 1955 dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (untuk memilih anggota Konstituante). Pemilu berikutnya dilaksanakan (berturut-turut) pada 5 Juli 1971, 2 Mei 1977, 4 Mei 1982, 23 April 1987, 9 Juni 1992, 29 Mei 1997, dan 7 Juni 1999.

Tidak hanya tanggal pelaksanaan pemilu yang berubah-ubah, kalender lima tahunan pun pernah dilabrak. Dari Pemilu 1955 ke Pemilu 1971 berjarak 16 tahun, dari Pemilu 1971-1977 berjarak enam tahun, dan dari Pemilu 1997 ke Pemilu 1999 justru hanya berjarak dua tahun.

Masalahnya, di manakah dapat ditemukan penentuan jadwal Pemilu 2004, terutama untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang sudah di depan mata, yaitu 5 April 2004? Ihwal itu dapat ditemukan dalam Keputusan KPU No. 636 Tahun 2003 tentang Perubahan terhadap Keputusan KPU No. 100 Tahun 2003 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2004 yang ditetapkan pada 13 November 2003.

Angka 6 lampiran keputusan itu menyebutkan bahwa pemungutan suara dan penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara/Kelompok Pemungutan Suara Luar Negeri) di TPS/TPSLN (Tempat Pemungutan Suara/Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri) dilaksanakan secara serentak pada 5 April 2004.

Jelas, dasar hukum penetapan tanggal pencoblosan tersebut tidak berada di wilayah konstitusi atau undang-undang, melainkan "hanya" di keputusan KPU. Dengan demikian, seandainya jadwal pemilu digeser ke tanggal lain, KPU tinggal merevisi keputusannya, asal tetap dilaksanakan tahun ini (2004). Soal merevisi keputusan yang dibuat, KPU sudah melakukannya berkali-kali dan relatif tidak mengundang persoalan pelik. Hanya untuk penundaan pemilu ini mungkin perlu sangat diperhatikan dampak politik dan gejolak ekonomi yang bakal timbul. Uang untuk sosialisasi bahwa pemilu legislatif dilaksanakan pada 5 April, misalnya, sudah tersedot puluhan miliar.

UU Pemilu sendiri sebenarnya juga menyediakan mekanisme penundaan pemilu (secara nasional), yaitu bila pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40 persen jumlah provinsi atau 50 persen dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Sementara itu, penundaan pemilu di daerah tertentu dapat dilakukan bila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana alam yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.

Terhadap penundaan pemilu itu dapat dilakukan pemilu lanjutan (bila penundaan terjadi ketika sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan) dan pemilu susulan (bila yang tidak dapat dilaksanakan adalah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu).

Kesimpulannya, menunda atau mengundurkan jadwal pemilu adalah masalah hukum yang biasa saja. Tapi, saya pribadi--dan mudah-mudahan sebagian terbesar rakyat Indonesia--menginginkan pemilu tetap dilaksanakan 5 April. Karena itu, dalam waktu yang tersisa, kita semua harus all out mengamankan pemilu.

Lebih dari itu, kita berharap, semoga pemilu nanti membawa pencerahan bagi bangsa ini yang telah lama sakit, agar kita tidak lagi menjadi, meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah, bangsa yang menyebalkan.

No comments: