21 March 2009

Buruk Legislasi Undang-Undang Dibelah

Koran Jakarta, 28 Februari 2009

Oleh Refly Harun
Peneliti Senior Cetro; Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris

Untuk keempat kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008). Putusan paling akhir adalah dikabulkannya pengujian pasal tentang pembredelan pers pada 24 Februari 2009. Sebelumnya, pada 1 Juli 2008, MK mengabulkan sebagian tuntutan DPD bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di daerah yang diwakilinya. Putusan berikutnya pada 10 Juli 2008, MK mengabulkan pembatalan Pasal 316d mengenai tiket gratis parpol pemilik kursi di DPR untuk mengikuti Pemilu 2009. Yang menyita paling banyak perhatian adalah pembatalan Pasal 214 mengenai penetapan caleg terpilih dari sistem kuota 30 persen dan nomor urut ke suara terbanyak, 19 Desember 2008.

Banyaknya ketentuan yang dibatalkan menyiratkan satu hal: betapa buruknya kualitas legislasi DPR. Pernyataan ini tidak berlebihan bila mengambil contoh UU Pemilu. Diajukan oleh pemerintah pada Mei 2007, UU Pemilu baru bisa diselesaikan pada 3 Maret 2008 (kurang lebih 9 bulan). Rencana paripurna yang telah dijadwalkan terus-menerus diundur karena ketidaksepakatan fraksi-fraksi di DPR mengenai beberapa materi. Awalnya, rapat paripurna pengesahan RUU akan digelar pada 27 Desember 2007, tetapi gagal dilaksanakan karena pembahasan jauh dari selesai. Anggota DPR keburu reses. Rapat paripurna lalu dijadwalkan pada 26 Februari 2008, tetapi lagi-lagi gagal. Pada 28 Februari rapat paripurna berhasil dilaksanakan, tetapi belum semua materi sempat diputuskan. Rapat paripurna pun dilanjutkan pada 3 Maret 2008 dan berhasil mengakhiri debat panjang RUU Pemilu.

Meski RUU sudah diketok palu, beberapa anggota DPR yang tergabung dalam tim sinkronisasi masih terus bekerja untuk menyempurnakan draf yang sudah disetujui dalam rapat paripurna tersebut. Masalahnya, belum semua pasal tersusun rapi, terutama pasal yang divoting, yaitu mengenai penentuan perolehan kursi parpol untuk pemilihan anggota DPR. Tidak heran kemudian undang-undang itu sendiri baru ditandatangani dan diundangkan pada 31 Maret 2008, padahal tahapan Pemilu 2009 sudah harus dimulai pada 5 April 2008.

Skandal besar sebenarnya telah terjadi pada waktu persetujuan RUU Pemilu. Pasal RUU yang disetujui berjumlah 316, tetapi yang kemudian diserahkan ke presiden, ditandatangani, dan kemudian diundangkan berjumlah 320. Memang tidak ada penambahan pasal-pasal baru yang substantif di belakang pintu selain dari yang ditetapkan dalam rapat paripurna. Terjadinya penambahan pasal diakibatkan sinkronisasi yang dilakukan tim sinkronisasi. Walaupun demikian, hal ini tetaplah skandal besar. Dari sisi legal making process hal seperti ini jelas tidak bisa dibenarkan.

Seharusnya, menjelang rapat paripurna, semua draf harus sempurna. Tidak hanya jumlah pasal dan kata-kata yang tercantum dalam pasal, bahkan bila perlu sampai titik dan koma, termasuk penggunaan huruf besar dan huruf kecil. Titik-koma dan penggunaan huruf besar-huruf kecil bukan perkara sepele dalam suatu legal drafting. Penggunaan tanda baca yang berbeda dapat memunculkan arti yang berbeda pula. Dengan proses legislasi yang amburadul, tidak heran bila UU Pemilu kemudian menuai banyak gugatan dari pihak-pihak yang merasa tidak puas. Dikabulkannya pengujian telah menunjukkan bahwa undang-undang yang dihasilkan memang bermasalah, beberapa materi mengandung suatu ketentuan yang bertentangan dengan konstitusi.

Dari banyaknya undang-undang yang diuji dan kemudian dikabulkan, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Pertama, soal rasionalitas. Membuat undang-undang tidak boleh diartikan sekadar kuat-kuatan suara. Harus ada rasionalitas yang dapat diterima di balik pengajuan suatu ketentuan. Dalam kasus Pasal 214 UU Pemilu, jelas rasionalitas itu tidak bekerja. Bagaimana mungkin ada drafting yang menyatakan bahwa bila ada dua kandidat yang mencapai minimal 30 persen, sementara kursi satu, dikembalikan ke nomor urut. Tidak peduli kandidat yang nomor urut di bawah perolehan suaranya lebih banyak. Jelas pasal ini tidak rasional dan menimbulkan ketidakpastian serta dampak yang buruk bila diterapkan. Kepentingan elite parpol jelas tergambar di sini. Hal ini merupakan kolaborasi elite di DPR untuk membelokkan kehendak mayoritas rakyat terhadap calon.

Kedua, yang tak kalah pentingnya adalah soal teknis pembentukan undang-undang. Bagi saya, legal making process di DPR saat ini sangat bermasalah: tidak efektif dan tidak efisien. Para anggota DPR banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak substansial. Bahkan, kadang-kadang pembentukan undang-undang adalah cara bagi-bagi kesenangan, misalnya dengan mengadakan studi banding ke negara lain yang belum tentu bermanfaat secara langsung dengan proses pembentukan undang-undang. Dalam satu-dua kasus, seperti yang pernah diceritakan seorang anggota DPR, studi banding dilakukan setelah pembahasan undang-undang selesai!

Persoalan efektif dan efisien itu terkait dengan metode pembahasan suatu RUU. Beberapa contoh yang bisa dikemukakan, misalnya, mengenai pembuatan daftar inventarisasi masalah (DIM). Bila suatu RUU datang dari pemerintah, 10 fraksi harus membuat DIM. Hampir semua hal dikomentari di dalam DIM sehingga menghasilkan tumpukan kertas yang luar biasa tebalnya. Seharusnya fraksi membicarakan hal-hal substansial saja yang merupakan ide pokok suatu undang-undang, setelah itu diserahkan ke legal drafter untuk merumuskannya secara baik. Tidak perlu para anggota DPR sendiri yang merumuskan hingga titik-koma.

Contoh lain mengenai kehadiran para anggota DPR yang membahas RUU. Sering yang datang orang yang berbeda sehingga pembahasan yang sudah dilakukan sebelumnya terpaksa diulang kembali. Atau, para anggota yang hadir tidak terlalu mengerti mengenai materi yang dibahas. Mereka melontarkan suatu pendapat tanpa terlebih dulu membaca materi yang ada. Seharusnya, para anggota DPR tidak perlu bertindak seperti ‘tukang’ membuat undang-undang. Fungsi utama mereka adalah mewakili kepentingan rakyat. Soal-soal teknis bisa diserahkan kepada staf ahli. Masalahnya, karena datang rapat berarti uang, sering peran staf ahli tidak terlalu berguna. Dengan catatan, datang pun kadang sekadar mengisi daftar hadir untuk pertanggungjawaban administrasi keuangan.

Di masa depan, bila hal-hal substansial dan teknis tersebut tidak dibenahi, produk legislasi DPR akan bertambah buruk. Dampak lanjutannya akan makin banyak undang-undang yangh diajukan ke MK untuk dimintakan pembatalan. Bukan tidak mungkin pula, makin banyak pengujian yang dikabulkan. Karena itu, proses pembuatan undang-undang harus segera dibenahi, terutama oleh DPR periode baru mendatang. Jangan sampai buruk legislasi mengakibatkan banyak undang-undang dibelah!

Birmingham, 26 Februari 2009

No comments: