16 March 2009

Salah Kaprah Mahkamah Konstitusi (Misunderstanding about the Constitutional Court)

This Article was published by the Indonesian media
Koran Tempo, 5 August 2003



Refly Harun
  • Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia

    Marilah berandai-andai, seandainya hingga tenggat 17 Agustus 2003 Mahkamah Konstitusi tidak terbentuk, apa yang akan terjadi? Apakah akan terjadi kekosongan hukum menyangkut pelaksanaan fungsi Mahkamah, yaitu (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam hal judicial review; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan (4) memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden?

    Pertanyaan ini penting dikemukakan karena ada pemahaman yang keliru tentang eksistensi mahkamah ini, seolah-olah ia belum ada. Padahal, dari segi hukum tata negara, begitu Perubahan Ketiga UUD 1945 ditetapkan pada 9 November 2001, Mahkamah Konstitusi telah terbentuk. Yang belum ada adalah isi lembaga itu, mulai dari para hakim yang ditetapkan berjumlah sembilan orang, staf administrasi, aturan main bagi MK dalam melaksanakan tugasnya (hukum acara), sampai gedung tempat para hakim dan pegawainya berkantor.

    Soal-soal inilah yang diperintahkan konstitusi untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang (dan ketetapan presiden). Pasal 24C ayat (6) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, "Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang." Dengan demikian, sekali lagi, yang diatur dalam undang-undang itu bukan tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi.

    Kerancuan ini sama halnya dengan pemahaman tentang Komisi Konstitusi. Bagi sebagian masyarakat, Komisi ini belum ada, padahal ia sudah ada dengan ditetapkannya Tap MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi. Namun, pernyataan pembentukan itu tidak disertai dengan uraian tugas, susunan, kedudukan, kewenangan, dan keanggotaan lembaga itu sebagaimana lazimnya ketetapan tentang pembentukan suatu badan. Hal ini dapat dimaklumi karena ketetapan tentang Komisi tersebut memang hasil kompromi politik, yang celakanya dituntun oleh logika yuridis yang sesat.

    Munculnya kerancuan Mahkamah Konstitusi tidak lain bersumber dari UUD 1945 sendiri. Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambat pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Penggunaan kata "dibentuk" inilah yang mengesankan seolah-olah Mahkamah ini belum ada, dan baru akan ada setidaknya pada 17 Agustus 2003. Kalimat yang tepat sebenarnya adalah "pengisian hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum mereka terpilih segala kewenangan Mahkamah ini dijalankan oleh Mahkamah Agung." Kalau begini kalimatnya, akan sejalan dengan pasal-pasal dalam batang tubuh yang menyangkut Mahkamah Konstitusi.

    Konstitusi sendiri sebenarnya telah mengatur bagaimana cara mengisi hakim Mahkamah itu, yaitu berjumlah sembilan orang dan diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan presiden. Syaratnya, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan ketentuan ini, MA, DPR, dan presiden sudah dapat melakukan rekrutmen hakim konstitusi.

    Sayangnya, konstitusi menentukan pula bahwa pengangkatan dan pemberhentian konstitusi diatur dengan undang-undang. Karena undang-undangnya belum ada, ketiga lembaga negara itu rupanya adem ayem saja. Begitu UU-nya tidak juga selesai-selesai, ketiga lembaga itu, terutama DPR, menjadi kelabakan karena tenggat yang semakin mendekat. Hal ini tecermin dari pernyataan Ketua Komisi II DPR Agustin Teras Narang bahwa komisi yang dipimpinnya cenderung akan menyatakan tidak sanggup memilih tiga hakim konstitusi dari DPR (Koran Tempo, 1 Agustus).

    Kembali pada pertanyaan tentang terlewatinya tenggat, dalam expert meeting yang diselenggarakan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan dihadiri beberapa ahli hukum tata negara dari berbagai daerah di Jakarta, 31 Juli 2003, hal ini juga mencuat. Hampir semua berpendapat, dengan terlewatinya tenggat itu, DPR dan presiden bisa dikatakan melanggar undang-undang. Dalam bahasa Saldi Isra, dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, mereka melakukan "pelanggaran berjemaah". Tapi, tidak akan terjadi kekosongan hukum karena telah ditentukan bahwa sebelum Mahkamah Konstitusi "dibentuk", segala kewenangannya dilakukan MA. Dengan penafsiran yang dimaksud dengan dibentuk itu adalah dipilihnya hakim Mahkamah, hakim-hakim MA-lah yang akan menjalankan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

    Di kalangan ahli hukum tata negara memang muncul dua pendapat tentang eksistensi MA sebagai pengemban kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pertama, mereka yang beranggapan bahwa pengembanan wewenang itu hanya sampai sebelum 17 Agustus 2003. Kedua, yang beranggapan pengembanan itu selama Mahkamah itu belum "dibentuk" (hakim Mahkamah belum dipilih).

    Jimly Asshiddiqie termasuk yang setuju pada pendapat kedua. Bagi Jimly, pelanggaran konstitusi karena terlewati tenggat itu adalah satu soal, sedangkan pelaksanaan wewenang Mahkamah adalah soal lain. Betul DPR dan presiden melanggar, tetapi hal itu tidak menyebabkan Mahkamah Konstitusi kehilangan eksistensinya dan kekuasaannya tidak bisa lagi dijalankan MA setelah 17 Agustus 2003. Singkatnya, tidak akan ada kekosongan hukum. Karena itu, pendapat bahwa presiden sekarang tidak bisa dimakzulkan (impeachment) karena belum adanya (hakim) Mahkamah Konstitusi sama sekali keliru.

    Bila hakim Mahkamah itu tidak terpilih hingga 17 Agustus 2003, memang akan memunculkan persoalan serius berupa pelanggaran konstitusi. Kalau hal ini terjadi, akan menjadi preseden buruk bagi ketatanegaraan kita ke depan, karena dengan begitu mudahnya konstitusi dilanggar tanpa ada sanksi bagi pelanggar.

    Namun, bila dipaksakan juga pemilihan hakim Mahkamah paling lambat pada 17 Agustus 2003 (dengan terlebih dulu mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi UU Mahkamah Konstitusi), dikhawatirkan hakim yang terpilih tidak kredibel, antara lain karena tidak melewati uji publik dan fit and proper test, untuk menilai akseptabilitas dan kapabilitas sang calon.

    Alternatif mana yang harus dipilih: melanggar konstitusi untuk menghasilkan hakim konstitusi yang (mudah-mudahan) baik dan kredibel, ataukah memenuhi tenggat 17 Agustus 2003 dengan risiko hakim yang terpilih bermasalah. Saya sendiri lebih memilih alternatif kedua.

    Alasannya sederhana, seandainya yang terpilih hakim buruk, ia masih akan bisa dikoreksi dengan tidak memilihnya lagi pada periode berikutnya. Sementara itu, membiarkan pelanggaran konstitusi, walaupun yang dilanggar tampak tidak substansial, akan memunculkan preseden buruk ketatanegaraan. Nantinya dengan mudahnya lembaga-lembaga negara melakukan pelanggaran yang sama, dan sama sekali tidak ada sanksi apa-apa. Walaupun selama ini track record bangsa ini dipenuhi dengan pelecehan hukum, bahkan konstitusi (contempt of constitution), tak ada salahnya kali ini kita belajar untuk tunduk.
  • No comments: