17 March 2009

Nasib Pilkada Pascaputusan MK

Published by Koran Tempo, 29 March 2005


Oleh Refly Harun

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul


Ada segudang suka cita, tetapi ada pula segunung kekecewaan terhadap putusan pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang dibacakan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), 22 Maret lalu. Suka cita, karena MK telah mengabulkan beberapa permohonan yang diharapkan dapat memperkuat demokrasi lokal dalam konteks pemilihan kepada daerah secara langsung (pilkada langsung). Kecewa, karena putusan MK terasa seperti setengah-setengah, kompromistis, tanggung, tidak tuntas, bahkan ada yang mengatakan ‘banci’.

Setidaknya ada empat hal pokok yang dikabulkan MK. Pertama, yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak hanya menjadi hak eksklusif partai atau gabungan yang memiliki kursi di DPRD, melainkan juga hak partai-partai yang tidak mendapatkan satu kursi pun, sepanjang partai atau gabungan partai yang dimaksud memperoleh minimal 15 persen suara dalam Pemilu 2004. Dengan putusan ini, semakin terbukalah kesempatan bagi tokoh-tokoh nonpartai untuk dicalonkan sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepada daerah dengan mengendarai parpol gurem.

Kedua, komisi pemilihan umum daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pilkada langsung tidak bertanggung jawab kepada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), melainkan langsung kepada rakyat. Ketiga, KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran pilkada kepada DPRD, tetapi pertanggungjawaban tersebut menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Keempat, pembatalan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hak DPRD, melainkan hak KPUD sendiri sebagai penyelenggara dan penanggung jawab pilkada.

Materi putusan kedua, ketiga, dan keempat sangat strategis bagi proses penyelenggaraan pilkada langsung karena KPUD bebas atau dibebaskan dari intervensi kekuatan-kekuatan politik yang ada di DPRD. Klausul semula yang menyatakan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD baik dalam penyelenggaran pilkada maupun dalam penggunaan anggaran dikhawatirkan akan membuka pintu politisasi terhadap hasil pilkada. Seandainya hasil pilkada tidak sesuai dengan konfigurasi kekuatan mayoritas di DPRD, parlemen lokal bisa menyatakan bahwa hasil pilkada tidak sah. Hal ini tentu akan berbahaya bagi proses demokrasi di tingkat lokal karena suara rakyat yang tercermin dari hasil pilkada dapat dikalahkan oleh kekuatan oligarkis di DPRD.

Hingga titik ini putusan MK sangat menguntungkan bagi pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Namun, kesan tanggung itu memang tidak bisa dihindari. Saya setuju pendapat Wahidah Suaib dan Hadar Gumay dari Jamppi (Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia) dan Cetro (Centre for Electoral Reform) – keduanya termasuk para pemohon pengujian -- dalam diskusi di KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional), Kamis, 24 April. Bagi Wahidah, primadona permohonan sebenarnya adalah ditutupnya pintu intervensi pemerintah pusat dalam pilkada. Dalam bahasa Hadar, MK hanya menutup pintu kecil (DPRD), tetapi tetap mebiarkan pintu besar terbuka (pemerintah pusat). Seandainya pintu besar ini ditutup pula, tentu putusan MK akan disambut hanya dengan segunung suka cita, tanpa ada guratan duka cita.

Dalam melihat peran regulasi pemerintah pusat dalam pilkada terkesan MK terlalu menyederhanakan persoalan, bahwa pembuatan peraturan pemerintah (PP) dalam konteks pilkada terserah pembentuk undang-undang. Bila pembentuk undang-undang menyerahkan hal tersebut kepada pemerintah, hal itu tidak salah. Sebab, sesuai dengan amanat konstitusi, PP memang diproduksi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat [2] UUD 1945). Seandainya dinilai bertentangan dengan undang-undang, PP bisa diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Namun, tidak keliru pula seandainya pembentuk undang-undang menyerahkan peran regulasi kepada KPU.

Terlihat di sini bahwa putusan MK tidak didasari oleh paradigma yang jelas terhadap praktek demokrasi yang coba dikembangkan sejak 1999, yaitu memisahkan sama sekali rezim pemilu dengan rezim pemerintahan. Pengalaman traumatis berpuluh-puluh tahun selama rezim Orde Baru, di mana pemerintah bisa mengobok-obok proses pemilu untuk memenangkan partai yang didukung, telah menyebabkan munculnya KPU sebagai lembaga yang independen, nasional, dan mandiri yang diakui hingga aras konstitusi. Wujud independensi itu antara lain kewenangan regulasi untuk membuat aturan lanjut terhadap ketentuan undang-undang di bidang pemilu dalam jubah keputusan KPU. Dalam soal regulasi ini pemerintah sama sekali tidak campur tangan. Dengan praktek yang demikian, seperti diakui oleh MK sendiri, Pemilu 2004 relatif sukses.

Mengikuti jalan pikiran MK, PP memang sekadar menjalankan undang-undang yang bisa dibatalkan bila bertentangan dengan aturan di atasnya. Namun, yang tidak boleh dilupakan, PP selama ini telah berkembang menjadi “bola liar” untuk memperbesar kekuasaan pemerintah. Loop holes yang tercipta dari kelemahan drafting undang-undang telah dimanfaatkan pembuat PP. PP juga dapat mendelegasikan soal-soal lain dalam jubah peraturan yang lebih rendah, seperti peraturan presiden (perpres), bahkan peraturan menteri (kepmen).

Dalam konteks pilkada, PP Nomor 6 Tahun 2005 telah memunculkan norma-norma baru yang sebenarnya tidak diatur dalam UU Pemda. Misalnya, materi penundaan pilkada dan pelaksanaan pilkada langsung di Papua -- sangat mengherankan bahwa PP mengatur pilkada langsung di Papua, padahal UU Otonomi Khusus Papua menentukan bahwa kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

Secara teoretis, kewenangan pemerintah pusat dalam konteks pilkada hanyalah membuat PP. Namun, dengan pintu masuk sebagai regulator (pembuat PP), pemerintah pusat (baca: Depdagri) telah menyusun sejumlah kegiatan yang mereka interpretasikan sebagai pekerjaan mereka, seperti sosialisasi pilkada, pendataan pemilih, pembentukan desk pilkada, mengumpulkan KPUD-KPUD, dan lain sebagainya. Depdagri juga telah mengajukan dana pilkada lebih dari Rp 1 triliun kepada DPR. Dana itu nanti akan dikontrol oleh Depdagri sendiri. KPUD yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pilkada nanti harus “mengemis” kepada Depdagri agar jatah APBN mereka segera digelontorkan.

Depdagri juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa tanggung jawab pelaksanaan pilkada provinsi berada pada menteri dalam negeri (mendagri) dan dilaporkan kepada presiden. Sementara tanggung jawab pelaksanaan pilkada kabupaten/kota berada pada gubernur dan dilaporkan kepada mendagri. Belakangan, karena adanya putusan MK, Mendagri M. Ma’ruf menyatakan akan merevisi aturan tersebut (Kompas, 24/3/2005). Artinya, bila tidak ada putusan MK, aturan itu akan berjalan. Padahal, UU Pemda tidak menyebut atau menyatakan bahwa eksekutf tingkat pusat dan daerah menjadi penanggung jawab pilkada, karena aturan itu membuka pintu intervensi oleh eksekutif terhadap penyelenggaraan pilkada.

Sekarang, apa yang harus dilakukan setelah muncul putusan “setengah hati” MK? Harus diakui, ada segi-segi positif dari pertimbangan hukum MK yang bisa diadvokasi bagi demokratisasi lokal. MK menyatakan bahwa di masa depan sebaiknya pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu. Pertimbangan hukum ini telah menolak argumentasi DPR bahwa bila pilkada masuk rezim pemilu justru akan bertentangan dengan konstitusi. Itu artinya penyelenggara pilkada berada di tangan KPU secara nasional, tidak di tangan KPUD secara sendiri-sendiri; regulasi pilkada di tangan KPU, tidak di tangan pemerintah pusat, dan; sengketa hasil pemilu diselesaikan oleh MK, tidak oleh MA.

Bila pertimbangan hukum MK tersebut diletakkan dalam konteks rencana dibuatnya Perppu Pilkada, ada spekulasi yang menarik: mungkinkah pertimbangan hukum MK yang katanya untuk “masa depan” itu direalisasikan dalam jubah hukum perppu? Harapan ini memang seperti menggantang asap. Namun, bila pemerintah kemudian ternyata mau mengeluarkan perppu jenis demikian, sungguh pemerintah yang sekarang patut diacungi jempol.

Kalaupun kemudian ternyata tidak --dan sepertinya memang tidak-- harapan akan “masa depan” sudah bisa digulirkan dari sekarang dengan mewacanakan pembuatan undang-undang pilkada tersendiri dengan mengeluarkannya dari rezim UU Pemda.***

Jakarta, 25 Maret 2005

Refly Harun

No comments: