21 March 2009

Robohnya Satu Tiang Demokrasi

(The Ruin of One Pillar to Democracy)

This article was published by Indonesian media
Koran Tempo, 5 March 2009

By Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro),
Chevening Fellow University of Birmingham, UK

Ada dua berita datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Satu berita baik, satu lagi berita buruk. Berita baik, MK membatalkan pasal tentang pembreidelan pers dalam UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008), 24 Februari 2009. Berita buruk, MK menolak pengujian UU Pilpres (UU Nomor 42 Tahun 2008), 18 Februari lalu. Tulisan ini berkehendak mengobservasi lebih lanjut berita buruk tersebut, walaupun tetap dengan memberikan penghargaan yang besar terhadap berita baik.

Putusan MK yang menolak pengujian Pasal 9 UU Pilpres tentang syarat pengajuan capres merupakan putusan terburuk dalam sejarah MK. The worst decision ever. Tidak ada nalar yang komprehensif. Argumentasi yang keluar dari MK hanyalah, syarat persentase adalah legal policy pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) berdasarkan mandat UUD 1945, bahwa tata cara pemilihan presiden selanjutnya diatur dengan undang-undang (Pasal 6A ayat [5] UUD 1945). Argumentasi ini bukanlah hal baru. Hampir semua yang menyetujui syarat persentease mencatut pasal tersebut sebagai landasan legal-konstitusional untuk memberlakukan ambang batas nominasi capres dan cawapres.

Pertanyaan yang patut dilontarkan adalah, apakah syarat pengajuan capres merupakan bagian dari tata cara, yang berarti soal teknis administratif, ataulah soal yang substantif? Bila dilihat betapa panasnya perdebatan di DPR mengenai besaran syarat pengajuan capres hingga menjadi materi akhir yang disepakati fraksi-frasi dalam pembahasan RUU Pilpres, tidak bisa tidak, hal tersebut merupakan sesuatu yang substantif. Bayangkanlah bila pada suatu saat, karena keberhasilan parliamentary threshold, hanya ada dua atau tiga fraksi di DPR dan mereka menyepakati untuk menaikkan syarat menjadi 35 persen sebagaimana pernah dilontarkan Golkar dalam tahap awal pembahasan RUU Pilpres. Itu artinya hanya akan ada dua calon presiden. Tidak akan ada calon presiden ketiga, keempat, dan seterusnya, betapa pun baik dan hebatnya sang calon, termasuk dukungan sangat besar dari rakyat.

Dengan syarat 20 persen kursi dan 25 persen saja, diperkirakan hanya akan ada maksimal tiga calon presiden, dan bukan tidak mungkin mengkrucut menjadi dua. Artinya, medan pertarungan capres akan diisi oleh calon dari partai besar saja. Padahal, calon tersebut bisa jadi tidak berasal dari suatu proses yang demokratis, sebagaimana halnya pemilihan pendahuluan (primary election) di Amerika, melainkan sekadar ditetapkan karena yang bersangktuan ketua umum atau sosok sentral partai, dan partai di Indonesia memang masih elitis-oligarkis.

Pada titik inilah saya memandang lima hakim MK yang menolak pengujian gagal memahami hakikat demokrasi. Salah satu tiang demokrasi adalah pemilu yang adil dan demokratis (fair and democratic election). Indonesia sangat dipuji dunia internasional ketika berhasil menyelenggarakan pemilu yang relatif adil dan demokratis pada 1999 dan 2004. Pada bagian akhir laporannya, the Carter Center misalnya menulis, “The Center congratulates Indonesia for the series of successful elections in 2004 and offers its support to the continuing consolidation of democracy in Indonesia.”

Pemilu yang adil dan demokatis tersebut kini telah terbajak di tahap awal karena putusan MK. Untuk pilpres mendatang, tokoh-tokoh yang saat ini sibuk berkampanye untuk merebut pole position barangkali harus menghentikan upayanya. Race pilpres mendatang rasanya hampir pasti diisi oleh tiga nama: SBY (Demokrat), Megawati (PDIP), dan salah seorang kandidat dari Partai Golkar (Jusuf Kalla?). Berdasarkan hampir semua hasil survei, Demokrat, PDIP, dan Golkar diperkirakan akan menempati posisi tiga besar.

Ada satu argumentasi yang juga kerap dikemukakan mengapa kita perlu persentase tertentu dalam pengusulan capres, yaitu memperkuat sistem presidensial. Presiden tidak boleh menjadi minority president karena akan lemah bila berhadapan dengan DPR. Logika ini bagi saya sangat sesat baik dari segi teoretis maupun fakta. Efektivitas sistem presidensial bukan tergantung dari besarnya persentase dukungan pengajuan capres, melainkan pada besarnya fraksi pendukung presiden di parlemen. Fraksi tersebut harus bersifat tetap, tidak bergantung dari satu isu ke isu lain.

Dalam konteks saat ini, pendukung presiden di DPR hanya sekitar 7 persen, yang berasal dari Fraksi Demokrat. Fraksi inilah yang secara loyal mendukung kebijakan presiden. Merapatnya Golkar ke kubu pemeritnah bukan karena ikut mengajukan pasangan SBY-Kalla melainkan karena perubahan kepemimpinan parpol. Namun, harus dicatat Fraksi Golkar tidak selalu berada di sisi pemerintah. Dalam banyak isu Golkar justru menjadi penentang kebijakan pemerintah.

Parpol yang ikut menominasikan pasangan SBY-Kalla seperti Partai Bulan Bintang (PBB) pun dalam banyak isu menjadi penentang pemerintah dan tidak bisa diharapkan loyalitasnya terus-menerus. Sebagai contoh, betapa marahnya PBB ketika SBY memberhentikan Yusril sebagai Menteri Sekretaris Negara.

Efektivitas sistem presidensial karenanya harus bisa dicapai dengan melakukan penyederhanaan jumlah parpol secara konstitusional. Dalam konteks ini sudah tepat putusan MK lain yang menolak penghapusan parliamentary threshold (PT), 13 Februari 2009. Sebab, PT adalah upaya konstitusional untuk penyederhanaan parpol. Dengan PT diperkirakan jumlah parpol di DPR berkisar 7-8 parpol saja, jauh lebih baik ketimbang 16 parpol yang ada saat ini. Di masa depan, secara alamiah diharapkan jumlah parpol hanya 3-5, yang betul-betul mencerminkan aliran politik yang ada di Indonesia. Dengan jumlah parpol yang lebih sedikit di DPR, lebih mudah bagi presiden untuk mengontrol dan bernegosiasi dengan parlemen. Maka, apa yang dikatakan Scott Mainwarning (1993), bahwa “the combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain” dengan mengambil contoh pengalaman Amerika latin adalah lebih tepat pada konteks penyederhanaan jumlah parpol, bukan pada besar tidaknya dukungan nominasi kepada presiden dan wakil presiden.

Hari-hari terakhir ini ada kegembiraan tertentu bagi saya: Birmingham dan daratan Inggris lainnya sudah mulai hangat, setelah sempat ditimpa badai salju terburuk selama 18 tahun terakhir awal Februari lalu. Namun, putusan MK sama sekali tidak memberikan kehangatan bagi demokrasi kita yang sedang berkembang. Putusan tersebut benar-benar telah merobohkan satu tiang demokrasi kita!

Birmingham, 25 Februari 2009

No comments: