17 March 2009

Seratus Hari Pertama Memberantas Korupsi

Published by Koran Tempo, 1 September 2004


Oleh Refly Harun

Dosen Hukum Tatanegara Universitas Indonusa Esa Unggul


Negeri kaya korupsi, tetapi minus koruptor, itulah Indonesia. Transparansi Internasional selalu menempatkan negeri ini ke dalam negara dengan peringkat korupsi tertinggi dalam lima tahun terakhir, tetapi hanya segelintir kecil koruptor yang terjaring. Hanya sedikit kekayaan negara yang dapat diselamatkan. Janji-janji untuk memberantas korupsi selalu gencar disuarakan para pejabat publik yang akan dipilih. Tetapi, begitu terpilih, janji itu langsung terbang bersama angin, gone with the wind. Itulah nasib pemberantasan korupsi kita hingga hari ini.

Tak terkecuali ketika prosesi Pemilihan Presiden 2004, semua pasangan capres/cawapres berkomitmen untuk memberantas virus paling mematikan tersebut. Paling tidak, hal itu dapat dilihat dari paparan visi dan misi pasangan capres/cawapres yang diserahkan dan kemudian dicetak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Termasuk dalam hal ini dua pasangan capres/cawapres yang maju ke putaran kedua, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla (SBY-Kalla) serta pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim).

Pasangan SBY-Kala, yang akhirnya terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009, berkomtimen untuk melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan kronisme dalam agenda dan program kerja mereka. Komitmen itu berkali-kali pula ditegaskan SBY setelah terpilih sebagai Presiden, termasuk mengambil “sumpah“ para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) agar tidak melakukan korupsi dan kalau melakukan korupsi siap-suap “dipecat“. Sementara pasangan Mega-Hasyim dalam program kerja mereka menyatakan bahwa upaya pemberantasan KKN dilakukan dengan penetapan tata pamong yang baik secara tegas pada semua tingkat dan semua bagian.

Pertanyaan krusialnya, dari mana korupsi yang berurat-berakar dan berkibar-kibar di antero jagad nusantara itu mesti diberantas? Berikut beberapa ’saran kecil’ yang mudah-mudahan bisa berdaya kerja (workable).

Pertama, dimulai dari diri sang presiden. Lantai kotor tidak mungkin disapu oleh sapu yang juga kotor, atau piring kotor tidak mungkin diputihkan oleh air yang juga kotor, begitulah tamsilnya. Sang presiden terpilih harus mendaklarasikan secara terbuka harta kekayaan yang ia miliki saat akan menjabat. Ia harus berjanji, bahwa selama menjabat sebagai presiden ia tidak akan melakukan korupsi. Tidak akan memperkaya diri sendiri atau kerabatnya dengan cara yang menyimpang dari aturan.

Presiden terpilih juga harus melarang keras sanak-kerabat terdekatnya untuk memanfaatkan kekuasaan yang ia miliki. Bahkan, bila perlu, melarang sanak-kerabat terdekatnya untuk berbisnis selama ia menjabat presiden. Sebab, di negeri ini, kerabat pejabat yang berbisnis kerap mendapatkan kemudahan. Kita susah membedakan domain publik dan domain privat bila menyangkut kepentingan pejabat negara.

Presiden harus bekerja keras untuk memberikan contoh bahwa daerah steril KKN adalah lingkungan kepresidenan. Kantor kepresidenan harus menjadi teladan dalam pemberantasan KKN. Tanpa keteladanan itu rasanya sulit menyebarkan serum antikorupsi ke unit-unit pemerintahan yang lain. Logikanya sederhana, bila kantor presiden saja penuh dengan jejaring korupsi, apatah lagi unit-unit pemerintahan yang lain.

Kedua, ketika sampai pada bagi-bagi jabatan dengan mitra koalisi, sang presiden mengumumkan terlebih dulu kepada masyarakat calon menteri-menteri yang akan didudukkannya di kabinet untuk mendapatkan tanggapan. Tanggapan terutama seputar track record sang calon menteri selama ini, apakah yang bersangkutan berlatar belakang putih, abu-abu, atau bahkan hitam kelam. Tamsil sapu kotor tidak dapat membersihkan lantai kotor berlaku pula bagi sang calon menteri.

Calon menteri yang mendapat reaksi negatif dari publik, entah terbukti atau tidak, harus segera dicoret dan digantikan calon lain, juga dengan mekanisme meminta pendapat masyarakat. Sampai suatu ketika calon-calon yang disodorkan dianggap sosok putih-putih semua barulah sang presiden mengangkat dan melantik mereka. Politik ‘kavelingisasi’ portofolio kementerian melalui ragam koalisi parpol berpotensi mengancam terpilihnya jajaran menteri bersih. Sayang, dalam pemilihan anggota KIB, SBY memang “setengah” mengumumkan menteri-menterinya, tetapi tidak untuk mendapatkan tanggapan publik seputar track record mereka, melainkan hanta menguji ‘kecocokan’ sang Presiden dengan calon menterinya.

Ketiga, semua menteri, semua anggota kabinet, diberi mandat untuk membersihkan lingkungan kementeriannya dari virus-virus korupsi selama seratus hari pertama menjabat. Mulai dari lingkaran terdekat, para pejabat eselon Ia setingkat sekretaris jenderal atau direktur jenderal, hingga lingkaran paling jauh yang selama ini nasibnya abai diperhatikan: tukang sapu, tukang parkir, satpam, dan pekerja-pekerja kecil lainnya. SBY tidak secara eksplisit memerintahkan hal ini kepada anggota KIB. Memberantas korupsi seolah-olah hanya dibebankan kepada satu-dua pejabat saja, seperti Jaksa Agung.

Komitmen 100 hari itu harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan dengan strategi yang jitu. Reward dan punishment diperlakukan dengan tegas dan keras. Mereka yang terbukti masih melanggar dihukum, bila perlu sampai dikeluarkan. Semua karyawan, misalnya, diperintahkan untuk menandatangani fakta anti-KKN. Bila terbukti melakukan tindakan KKN, mereka siap dikeluarkan.

Menteri yang terindikasi gagal melaksanakan program pembersihan yang diindikasikan dengan adanya perubahan signifikan dalam 100 hari pertama harus pula menerima punishment, yaitu diberhentikan dari jabatannya. Karena itu, di awal hendak menjabat dan diangkat sumpahnya mereka juga harus menandatangani fakta anti-KKN, juga dengan ancaman pemecatan bila terbukti melakukan tindakan KKN. Untuk itu harus dibuat kesepakatan sanksi pemecatan tersebut bisa langsung diterapkan tanpa harus menunggu terlebih dulu formalisme hukum yang kerap mengganggu pemberantasan KKN, yaitu putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht) seperti dalam kasus Akbar Tandjung. Secara teoretis, sebagai kepala kekuasaan eksekutif tertinggi, presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya, dengan atau tanpa persetujuan sang menteri.

Sayang, untuk hal ini, SBY terlalu formalistis bahwa pemberhentian itu akan dilakukan bila menteri sudah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ketika mengambil sumpah para anggota KIB.

Keempat, presiden terpilih harus menjalin sebuah koalisi besar, sebuah gerakan rakyat melawan korupsi, untuk menghadapi serangan balik para koruptor. Dengan kekuatan finansial yang dimiliki, para koruptor dan pengusaha hitam berpotensi menjalin kekuatan perlawanan. Mereka misalnya dapat membeli media massa, baik cetak maupun elektronik, untuk menyuarakan kepentingan mereka. “Kita tentu saja juga harus mengakui bahwa korupsi juga ada dalam profesi jurnalisme,“ ujar Jeremy Pope (2003: 223). Mereka juga dapat membeli massa untuk berdemonstrasi menentang sang presiden.

Dengan komitmen yang tidak lip service untuk memberantas korupsi, presiden akan lebih mudah mendapatkan dukungan massa atau kelompok massa yang selama ini pun geram dengan fenomena korupsi. Lembaga swadaya masyarakat, kelompok mahasiswa, para pengusaha putih, intelektual perguruan tinggi yang belum terbeli, adalah kelompok-kelompok potensial yang dapat berdiri di belakang presiden.

Kelima, the last but not least, presiden terpilih harus mulai mencontohkan pola hidup sederhana. Korupsi kerap muncul dari pola hidup pamer dan konsumtif yang dicontohkan pemimpin kepada bawahannya, orang tua kepada anaknya, orang kaya kepada orang miskin, masyarakat kepada lingkungannya. Dengan melihat orang lain hidup ‘wah’ sering terlintas di hati untuk pula mendapatkannya. Celakanya jalan pintas yang sering digunakan adalah korupsi. Kesederhanaan dari seorang presiden akan menjadi contoh kuat, yang mudah-mudahan dapat membunuh keinginan untuk hidup enak dengan jalan pintas.

Korupsi memang sudah berurat-berakar. Kanker ganas ini sudah hampir membawa kematian bagi bangsa ini. Susah membunuh penyakit yang satu ini, kecuali dengan sebuah perang besar dan dahsyat, dengan keteguhan. Saya masih yakin, dengan keteguhan dan komitmen yang kuat, korupsi bisa diberantas. Tidak ada rintangan yang tidak bisa diatasi dengan keteguhan dan komitmen yang kuat. Selama ini, dua hal itulah yang absen dari bangsa ini, dari kita, dan terutama para pemimpin-pemimpin kita.***

No comments: