17 March 2009

Jalan PK bagi Kemelut Depok

Published by Republika, August 2005


Oleh Refly Harun

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul


Keadilan dan kepastian hukum adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama (two sides at the same coin). Keduanya diharapkan selalu berjalan beriring. Namun, tidak jarang bahkan sering sekali keduanya berseberangan. Bila hal itu terjadi akan muncul pertanyaan klasik, mana yang harus didahului: keadilan atau kepastian hukum?

Mahasiswa hukum dan mereka yang berkecimpung di dunia penegakan hukum selalu dinasihatkan untuk mendahulukan yang pertama bila terpaksa harus memilih. Dalam perspektif inilah saya ingin menggarisbawahi rencana KPUD Jawa Barat untuk memintakan peninjauan kembali (PK) putusan pilkada Depok (Republika, 9/8). Hal yang sama telah pula saya sarankan dalam artikel di sebuah harian nasional (Refly Harun, “Kemelut Pilkada Depok”, Koran Tempo, 9/8) dan dalam beberapa kesempatan wawancara dengan media massa.

Secara teoretis, jalan PK ini memang kontroversial. Lima instrumen utama yang mengatur pilkada –UU Nomor 32 Tahun 2004, Perpu Nomor 3 Tahun 2005, PP Nomor 6 Tahun 2005, PP Nomor 17 Tahun 2005, dan Perma Nomor 2 Tahun 2005—sama sekali tidak mengenal lembaga PK. Putusan pengadilan atas sengketa pilkada, seperti halnya sengketa pemilu, bersifat final dan tentu saja mengikat. Tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan setelah sebuah sengketa hasil pilkada diputuskan, baik oleh MA sendiri maupun oleh pengadilan tinggi yang menerima delegasi kewenangan (delegation of authority) dari MA. Namun, bila ketidakadilan begitu nyata dan mencengkeram akal sehat, sama sekali tidak keliru bila ada upaya untuk mencari teroboson hukum (legal breakthrough).

Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) mengenal lembaga PK. Lembaga ini dikenal baik untuk masalah pidana maupun perdata. Secara umum PK dimintakan bila ada bukti baru (novum) yang tidak terungkap dalam sidang sebelumnya. Andai terungkap maka sangat mungkin putusannya akan berbeda.

Dalam perkara pidana, PK bisa dimintakan salah satunya apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 293 huruf c KUHAP). Dalam perkara perdata, PK bisa dimintakan antara lain bila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. PK juga bisa diajukan bila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan (Pasal 67 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

Kendati rezim sengketa hasil pilkada tidak mengenal PK (belum dikenalkan), dua hal penting perlu dicatat. Pertama, dalam kelima instrumen pilkada yang telah disebutkan, tidak ada larangan bagi pihak yang berperkara untuk mengajukan PK. Kedua, kendatipun misalnya ada larangan, yurisprudensi MA telah mengabarkan bahwa larangan yang tercantum dalam undang-undang pun bisa dikesampingkan (set aside).

Yurisprudensi itu antara lain menyangkut ketentuan Pasal 244 UU Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Pasal tersebut berbunyi, ”Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”

Faktanya, ketentuan ini sudah diterobos berkali-kali oleh MA ketika menerima permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum dalam beberapa perkara pidana, antara lain perkara korupsi, yang telah membebaskan terdakwa. Demi keadilan, pengenyampingan aturan tersebut telah dibenarkan. Bila yang dilarang saja bisa diterobos, tentu tidak ada alasan untu menolak pengajuan PK dalam sengketa hasil pilkada yang jelas-jelas tidak dilarang.

Lalu, siapa yang harus mengajukan PK? Saya lebih sepakat bila yang mengajukan adalah KPUD Depok sendiri, tidak dikuasakan ke KPUD Jabar. Selain secara faktual yang dipersoalkan adalah keputusan KPUD Depok, dalam pilkada masing-masing pelaksana pemilihan berdiri sendiri. Ia tidak memiliki keterkaitan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya baik secara vertikal maupun horizontal. KPUD Depok tidak merupakan ’bawahan’ KPUD Jabar dalam rezim pilkada.

Hal tersebut berbeda dibandingkan dengan sengketa hasil pemilu. Di depan sidang sengketa hasil pemilu di MK, hanya ada satu pelaksana pemilihan, yaitu KPU. Kendati misalnya secara faktual sengketa muncul dari bumi Papua atau tanah Aceh, di hadapan MK hanya ada satu KPU yang menjadi pihak dalam sengketa hasil pemilu.

Bagaimana dengan pihak Nurmahmudi-Yuyun Wirasaputra? Apakah bisa juga mengajukan PK? Secara teoretis, keduanya bukan pihak dalam sengketa hasil pilkada Depok. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa putusan PT Jabar justru secara nyata telah merugikan mereka. Mereka yang tadinya dinyatakan sebagai pemenang dan bersiap-siap menunggu hari pelantikan sebagai Walikota-Wakil Walikota Depok, akibat putusan PT Jabar, dipaksa mengubur dalam-dalam pengharapn tersebut. Sangat beralasan bila mereka pun diberi kesempatan untuk mengajukan PK.

Saya berharap, sepanjang dapat dibuktikan bahwa putusan PT Jabar bermasalah dan telah mengoyak-ngoyak rasa keadilan publik, MA tidak menolak pengajuan PK. Tidak itu saja, MA seharusnya menggelar sidang PK secara terbuka untuk menguji fakta-fakta baru yang belum terungkap pada sidang di PT Jabar, dengan setidaknya melibatkan tiga pihak: KPUD Depok, Badrul Kamal-Syihabuddin, dan Nurmahmudi-Yuyun Wirasaputra.

Sidang PK juga dapat memanggil pihak-pihak lain yang dapat mengungkap kebenaran tentang suara rakyat Depok, seperti panwas, para saksi pasangan calon di berbagai tingkat penghitungan suara, panitia-panitia penghitungan suara selain KPUD Depok, bahkan tidak tertutup pula untuk melibatkan ahli untuk memberikan opini mengenai penanganan sengketa hasil pilkada yang benar.

Pada sidang PK yang terbuka dan berlangsung fair itulah kebenaran harus diungkap. Sepanjang syarat terbuka dan fair tersebut terpenuhi, semua pihak harus rela menerima apa pun hasilnya. Tidak perlu lagi ada demonstrasi, apalagi caci-maki.

PK adalah jalan damai, jalan hukum, jalan konstitusional. Menerima dan menggelar sidang PK, menurut saya, jauh lebih membawa manfaat ketimbang membiarkan putusan pengadilan membunuh demokrasi dan mengoyak-ngoyak rasa keadilan publik.***

No comments: