17 March 2009

Pilkada Zonder Independen, Inkonstitusional

Published by Media Indonesia, September 2007


Refly Harun

Analis Hukum Konstitusi; Alumnus University of Notre Dame, AS


Harapan berbagai pihak untuk segera melihat munculnya calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai berkah dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agaknya kandas sudah. DPR dan pemerintah telah menyepakati untuk menindaklanjuti putusan MK dalam bentuk revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

Dari tiga opsi yang berkembang selama ini, revisi UU Pemda, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), dan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR dan pemerintah telah sepakat untuk memilih opsi pertama. Revisi tersebut diperkirakan selesai pada awal tahun depan. Artinya, pilkada di sejumlah daerah pasca-putusan MK pada tahun ini tidak akan mengakomodasi calon perseorangan lantaran belum tersedia landasan hukum mengenai syarat pengajuan calon.

Fakta ini mengguratkan sebuah pertanyaan: bagaimana mungkin sebuah ketentuan yang sudah dinyatakan inkonstitusional masih memiliki napas paling tidak hingga akhir tahun ini (dengan asumsi revisi UU Pemda selesai awal tahun depan). Tulisan ini berpendapat, kendati belum ada revisi UU Pemda, tidak mengakomodasi calon perseorangan merupakan pelanggaran hukum dan konstitusi.

Berlaku Sejak Dibacakan

Dalam putusan yang dibacakan pada 23 Juli lalu, MK menyatakan bahwa pilkada yang hanya membuka pintu bagi calon dari partai politik (parpol) bertentangan dengan konstitusi. Hal ini lantaran pintu calon perseorangan telah dibuka di Aceh. Bila pintu tersebut ditutup bagi daerah lain, hal itu melanggar prinsip kesamaan (equality) yang dijamin UUD 1945. Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28d ayat (3) mengakui hak asasi untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dalam putusan MK, ada pertimbangan yang mengimbau kepada pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) serta KPU untuk segera mengatur syarat pengajuan calon perseorangan agar tidak terjadi kekosongan hukum (legal vacum). Imbauan itu bisa dipahami karena MK memang tidak mungkin membuat norma baru dalam suatu pengujian undang-undang. Sebagai negative legislator –meminjam Hans Kelsen—tugas MK adalah membatalkan undang-undang, sementara tugas membuat undang-undang (postitive legislator) adalah tugas DPR dan pemerintah. Namun, harus dicatat, kevakuman bukan pada wilayah pengakuan boleh-tidaknya calon perseorangan, melainkan hanya pada syarat pengajuan calon.

Itulah sebabnya MK kemudian mengimbau agar aturan mengenai syarat dukungan itu segera dibuat. Dengan catatan, syarat tersebut tidak boleh terlalu ringan yang akan berimbas pada kualitas pilkada, namun tidak boleh juga disamakan dengan persyaratan pengajuan dari parpol. Sebab, perolehan suara parpol diperoleh dari proses pemilu yang dibiayai anggaran negara, sementara calon perseorangan harus membiayai sendiri syarat dukungan tersebut. MK merujuk syarat 3 persen yang dipraktekkan dalam pilkada Aceh sebagai sesuatu yang rasional dan adil. Bila ada yang mengusulkan syarat dukungan 15% persen bagi calon perseorangan, sudah pasti mereka tidak membaca pertimbangan putusan MK. Seandainya pasal ini lolos di DPR nantinya, terbuka kemungkinan untuk diuji lagi oleh MK.

Persoalan terjadi ketika postitive lagislator tidak segera bertindak cepat untuk menutup lubang kevakuman hukum tersebut. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah diberi bobot konstitusional oleh MK untuk mengeluarkan peraturan mengenai syarat calon perseorangan terlihat tidak berani melangkah jauh. Bahkan, KPU telah mengeluarkan surat edaran kepada KPUD-KPUD di seluruh Indonesia untuk tidak menerima calon perseorangan bila belum ada ketentuan mengenai persyaratan baik yang termuat dalam undang-undang maupun perppu. Saya berpendapat, bila pembentuk undang-undang ’membajak’ atau mengerem laju putusan MK tersebut dengan politik ulur waktu (buying time) pembuatan revisi UU Pemda, harus ada keberanian dari KPUD di berbagai daerah untuk menerima calon perseorangan. Tanpa dasar hukum syarat pengajuan calon perseorangan, KPUD di berbagai daerah yang segera melakukan pilkada tetap dapat menerima calon perseorangan. Argumentasinya sebagai berikut.

Ada dua sifat dari putusan MK dalam hal pengujian undang-undang. Pertama, putusan MK berlaku untuk umum (erga omnes). Sekalipun yang mengajukan hanya seorang warga negara biasa, putusan tersebut mengikat semua warga dan lembaga negara, termasuk pemerintah dan DPR. Kedua, putusan berlaku sejak dibacakan. Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.

Merujuk Pasal 47 jelas kiranya bahwa dibolehkannya calon perseorangan sudah menjadi fakta hukum sejak putusan MK dibacakan pada 23 Juli lalu. Maju melalui pintu calon perseorangan telah dikonstruksikan MK sebagai hak konstitusional warga negara. Secara teoretis, hak tersebut tidak boleh dikalahkan hanya karena tidak tersedianya aturan-aturan teknis mengenai syarat pengajuan calon. Bila pembentuk undang-undang lamban membuat aturan teknis, hal ini tidak boleh menghalangi penggunaan hak bagi warga negara yang ingin maju sebagai calon perseorangan. KPUD harus berani menerima calon tersebut tanpa adanya syarat dukungan. Akan merupakan sebuah pelanggaran hukum dan konstitusi seandainya KPUD di berbagai daerah menolak calon perseorangan. Pasca-putusan MK, UU Pemda harus dibaca berbeda. Tidak menerima calon perseorangan sama artinya tidak melaksanakan UU Nomor 32/2004.

Tentu ada yang berargumen bahwa sangat tidak adil bila calon perseorangan diterima tanpa syarat dukungan, sementara calon dari parpol harus didukung 15 persen suara dalam pemilu. Ketidakadilan tersebut terjadi, sekali lagi, bukan karena kesalahan sang calon, melainkan karena kelambanan –baca: ketidakinginan—pemerintah dan DPR untuk segera menutup lubang kevakuman hukum. Kelalaian pembentuk undang-undang tidak boleh menyebabkan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya untuk maju melalui mekanisme calon perseorangan sebagai berkah dari putusan MK.

Oleh karena itu, untuk menghindari chaos yang mungkin terjadi di daerah-daerah yang segera menggelar pilkada, presiden sebaiknya segera mengeluarkan perppu yang mengatur mengenai syarat calon perseorangan. Perppu ini harus dipahami sebagai tindakan darurat untuk mengisi kekosongan hukum pasca-putusan MK mengingat beberapa daerah akan melaksanakan pilkada dalam waktu dekat. Apalagi, di beberapa daerah tersebut sudah ada beberapa calon perseorangan yang memaksa untuk mendaftarkan diri. Bukan tidak mungkin, akan muncul ketidakpuasan yang berujung pada social disorder bila KPUD menolak pencalonan tersebut.

DPR, di lain pihak, tetap dengan rencana semula untuk menarik pasal-pasal pilkada dalam UU Pemda menjadi undang-undang tersendiri. Saat ini, berdasarkan informasi yang ada, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) tengah menyiapkan tiga rancanangan undang-undang yang berasal dari UU Pemda, yaitu RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemlihan Kepala Daerah, dan RUU Pemerintahan Desa.

Dengan demikian, DPR tidak perlu bekerja dua kali, pertama mervisi UU Pemda lalu kemudian membuat undang-undang pilkada tersendiri. Langkah ini jauh lebih elegan dan bermartabat ketimbang menghambat harapan yang telah membuncah pasca-putusan MK akan hadirnya calon perseorangan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.***

Jakarta, 17 Agustus 2007

No comments: