17 March 2009

Membayangkan Sengketa Hasil Pemilu

(Imagine the Election Result Disputes)


Published by the Indonesian media

Koran Tempo, 7 January 2004


By Refly Harun

Bekerja di Mahkamah Konstitusi RI


Mengerikan! Itulah kata yang paling tepat bila kita membayangkan membludaknya sengketa hasil pemilu yang harus ditangani Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK). Sesuai bunyi Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945, MK diberi kewenangan untuk memutuskan sengketa hasil pemilu, selain kewenangan menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (judicial review), memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan undang-undang dasar, dan memutus pembubaran partai politik, serta sebuah sebuah kewajiban untuk memberikan pendapat hukum atas pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar hukum (impeachment process).

Dari tiga kewenangan dan satu kewajiban itu, baru kewenangan melakukan judicial review saja yang dijalankan. Saat ini setidaknya sudah masuk belasan permohonan judicial review kepada MK, termasuk 14 permohonan limpahan dari Mahkamah Agung. (Sesuai dengan Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Keempat UUD 1945, MA diberi kewenangan untuk menjalankan kekuasaan MK sebelum lembaga itu terbentuk).

Kendati demikian, dalam jangka waktu tidak lama lagi, yaitu setelah pemilu legislatif pada tanggal 5 April 2004, setelah pemilu presiden/wapres tanggal 5 Juli 2004 (untuk putaran pertama), dan setelah pemilu presiden dan wapres untuk putaran kedua (20 September 2004), permohonan sengketa hasil pemilu diperkirakan akan berduyun-duyun memenuhi meja sembilan hakim konstitusi. Soal krusial yang segera menghadang adalah terbatasnya sumber daya MK dihadapkan kemungkinan munculnya puluhan, ratusan, bahkan ribuan permohonan sengketa hasil pemilu (persidangan di MK tidak mengenal istilah “gugatan”, melainkan “permohonan”).

Pasal 74 ayat (1) UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa pemohon perselisihan hasil pemilihan umum adalah calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pasangan calon presiden/wakil presiden, dan partai politik. Ayat (2)-nya menyebutkan bahwa permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD, penentuan pasangan calon presiden/wakil presiden, dan perolehan kursi parpol di suatu daerah pemlihan. Ayat (3)-nya menyatakan permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 jam sejak KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional.

Membaca bunyi pasal ini terkesan tidak akan ada lonjakan kasus yang saya bayangkan. Alasannya, pertama, pemohon sengketa hasil pemilu dibatasi tiga pihak saja, yaitu calon anggota DPD, calon presiden/wakil presiden, dan parpol peserta pemilu. Di luar tiga pihak itu tidak berhak mengajukan permohonan ke MK. Kedua, yang dijadikan obyek sengketa hanyalah penetapan hasil pemilu secara nasional. Artinya, penghitungan suara oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK (panitia pemilihan kecamatan), PPS (panitia pemungutan suara), apalagi KPPS (kelompok peneyelenggara pemungutan suara) yang merupakan unit terkecil dari penyelenggara pemilu tidak boleh menjadi obyek sengketa. Dengan demikian, hanya KPU (pusat) yang bakal menjadi termohon dalam permohonan sengketa hasil pemilu. Tidak institusi lain. Ketiga, waktu mengajukan permohonan dibatasi 3x24 jam. Lebih dari waktu yang ditetapkan, permohoan dapat ditolak, atau kedaluarsa.

Argumentasi itu ada benarnya, tetapi menjadi kurang benar bila kita sedikit mengelaborasi fakta-fakta berikut ini. Dari sisi pemohon anggota DPD saja, data yang tercatat di Media Center KPU ada 928 orang calon anggota DPD yang akan bertanding di Pemilu 2004. Dikurangi 128 orang yang sudah pasti terpilih sebagai anggota DPD (tiap provinsi [32 pronvinsi] diwakili 4 anggota DPD), maka ada 800 calon anggota DPD yang tidak terpilih. Mereka inilah yang potensial mengajukan permohonan sengketa hasil pemilu. Artinya, MK berpotensi menuai 800 permohonan dari calon anggota DPD.

Gugatan dari calon presiden/wakil presiden dipastikan tidak banyak karena UU Pemilu (UU No 12/2003) membatasi parpol/gabungan parpol yang berhak mengajukan capres/cawapres, yaitu yang memperoleh 3% kursi DPR atau 5% suara nasional pemilihan anggota DPR. Dengan demikian, maksimal 20 pasang capres/cawapres saja yang akan bertarung dalam Pemilu 2004. Jumlah ini akan makin berkurang dengan dua faktor, yaitu persebaran suara yang tidak merata (pasti ada partai yang memperoleh lebih dari 5% suara) dan kemungkinan aliansi antarpartai (terutama partai-partai yang memperoleh kurang dari 5% suara). Realitasnya, mungkin maksimal hanya akan ada lima pasang capres/capres saja. Dari segi kuantitas gugatan dari capres/cawapres ini bisa diabaikan (tentu tidak dari segi kualitas).

Bagaimana dengan parpol peserta pemilu? Saat ini yang tercatat ikut pemilu adalah 24 parpol, tetapi tidak berarti jumlah maksimal gugatan 24 saja (masing-masing parpol satu permohonan). Dimungkinkan sebuah parpol mengajukan sebanyak puluhan, ratusan, bahkan ribuan permohonan. Sekadar ilustrasi, jumlah daerah pemilihan (DP) untuk pemilihan anggota DPR 69 buah, dengan jumlah kursi 550; jumlah DP anggota DPRD provinsi adalah 208, dengan jumlah kursi yang diperebutkan 1.859 buah; sementara DP DPRD kabupaten/kota sebanyak 1.691, dengan jumlah kursi yang diperebutkan 13.753. Kalau di setiap daerah pemilihan terdapat setidaknya satu sengketa saja, maka secara teoretis akan ada 1.968 sengketa hasil pemilu yang potensial diajukan ke MK.

Dari ribuan sengketa yang potensial diajukan itu, tentu saja tidak semuanya bakal memenuhi persyaratan, entah itu persyaratan mengenai legal standing pemohon atau obyek sengketa yang tidak tepat. Tetapi, masalahnya MK tidak boleh menolak permohonan yang masuk karena lembaga negara baru ini tidak mengenal prosedur pengguguran permohonan (dismissal procedure). Setiap perkara yang masuk harus diputuskan 9 orang hakim yang ada kendati suatu perkara tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa seperti yang tertera dalam undang-undang.

Problem Internal MK

Di satu sisi jumlah permohonan bisa mencapai ribuan, tetapi di sisi lain jumlah hakim MK dibatasi 9 orang saja. Sembilan orang ini harus hadir dalam memutuskan setiap perkara. UU MK menentukan bahwa persidangan MK harus dengan sembilan hakim. Dimungkinkan maksimal tujuh hakim bila terjadi hal-hal yang luar biasa (ada yang meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya).

Celakanya, undang-undang membatasi penyelesaian kasus sengketa hasil pemilu. Untuk sengketa hasil pemilu DPR, DPD, dan DPRD, putusan harus diambil dalam jangka waktu 30 hari setelah permohonan tercatat dalam buku registrasi perkara konstitusi, sementara sengketa yang berkenaan dengan pemilihan presiden/wakil presiden harus diselesaikan dalam jangka waktu 14 hari. Kalau ada 2.000 perkara saja yang masuk dan harus diputus dalam jangka waktu 30 hari, setidaknya 66 kasus harus diputuskan setiap hari! Artinya, dalam 25 menit pertama harus ada perkara yang diputuskan begitu ia terdaftar dalam buku registrasi! Bisa dibayangkan, kualitas pengadilan seperti apa yang bakal tersaji bila hal itu benar-benar terjadi.

Tidak bisa tidak, selain menyiapkan sistem manajemen perkara yang supercepat dan efisien (mulai dari tingkat penermaan berkas perkara hingga putusan), yang bisa dilakukan MK adalah berdoa semoga tidak banyak sengketa hasil pemilu yang masuk. Cara lain yang bisa dilakukan adalah tidak menyosialisasikan MK sebagai lembaga pengadil sengketa hasil pemilu. Mumpung MK baru dan belum dikenal secara luas oleh publik, maka sekalian saja tidak usah diperkenalkan biar para caleg tidak berbondong-bondong ke MK untuk menggugat hasil pemilu yang ditetapkan KPU.

Cara terakhir ini, meski rasional, jelas tidak bertanggung jawab dan menghalangi warga negara untuk memperjuangkan haknya melalui institusi peradilan. Karena itu, apa boleh buat, karena belum ada cara lain yang dapat dipikirkan, marilah kita berdoa dan berharap agar MK tidak collapse karena momen pemilu yang lima tahunan ini.***

Jakarta, 28 Desember 2003

No comments: