16 March 2009

Jalan Alrasid bagi Konstitusi Baru (The Alrasid’s Path to a New Constitution)

This article was published by the Indonesian media

Republika, 22 May 2002


Refly Harun

Mahasiswa Pascasarjana UI Jurusan Hukum Tatanegara


Beberapa waktu lalu Koalisi Organisasi Nonpemerintah untuk Konstitusi Baru (Koalisi Ornop) telah melontarkan ide tentang transitional/interim constitution untuk menjawab problem reformasi konstitusi kita. Koalisi Ornop menyatakan sebaiknya UUD 1945 dan segala perubahan yang telah dilakukan dijadikan sebagai konstitusi sementara (transitional/interim). Setelah itu, MPR membentuk Komisi Konstitusi yang membuat draf UUD yang tetap untuk menggantikan UUD 1945.

Ide itu, meski dinilai kontroversiaI terutama oleh kelompok-kelompok yang menginginkan UUD 1945 disakralkan, bukan tidak bisa dibenarkan secara terori. Hingga saat ini para ahli hukum tatanegara masih berdebat tentang sifat sementara-tidaknya UUD 1945. Ada pakar yang menyatakan UUD 1945 sesungguhnya masih bersifat sementara (transitional/interim), namun ada pula yang menyatakan sudah bersifat tetap.

Adalah Harun Alrasid yang menyatakan UUD 1945 masih bersifat sementara. Pendapat Alrasid didasarkan pada kenyataan bahwa MPR belum pernah menggunakan Pasal 3 yang menyatakan bahwa majelis itu memiliki wewenang untuk menetapkan undang-undang dasar (UUD). Alrasid juga merujuk ayat (2) Aturan Tambahan yang menyatakan bahwa dalam enam bulan sesudah terbentuk, MPR akan bersidang untuk menetapkan UUD.

Pendapat Alrasid itu sejalan dengan pernyataan Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno bahwa UUD yang dibuat PPKI dimaksudkan sebagai konstitusi kilat (revolutiegrondwet). Berkata Bung Karno, “Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.” (M. Yamin, 1959; Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, 1989).

Imajinasi the founding fathers tentang sifat sementara UUD 1945 semakin terlihat karena pada rancangan awal konstitusi itu tidak terdapat pasal tentang perubahan UUD 1945 yang kini kita kenal dengan Pasal 37. Pasal itu diusulkan belakangan oleh Mr. Iwa Koesoemasoemantri, anggota PPKI yang tidak berasal dari BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Seperti yang tercatat dalam sejarah, MPR tidak pernah terbentuk hingga UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah sebelumnya sempat berlaku Konstitusi RIS (1949-1950) dan UUDS (1950-1959). Namun, bagi Alrasid sifat sementara UUD 1945 itu tidak hilang, karena ayat (2) Aturan Tambahan termasuk bagian yang ikut ditetapkan melalui Dekrit 5 Juli.

Banyak ditentang

Dengan berpegang pada teori kesementaraan UUD 1945, pada awal-awal reformasi (1998) Alrasid sudah mengimbau agar MPR menggunakan wewenang konstitusionalnya seperti termuat dalam Pasal 3 UUD 1945 (menetapkan UUD). Usul itu bahkan sudah disuarakan Alrasid ketika MPR bersidang untuk pertama kalinya pasca-Pemilu 1971, yaitu dalam Sidang Umum MPR 1973.

Memang, Alrasid tidak menyatakan secara tegas apakah UUD yang harus ditetapkan adalah UUD 1945 atau konstitusi baru. Namun, melalui “jalan Alrasid” ini sebenarnya terbuka peluang untuk membentuk konstitusi baru seperti yang saat ini dituntut oleh beberapa elemen masyarakat, termasuk Koalisi Ornop.

Sayangnya, dalam arena ilmu hukum tatanegara, Alrasid “sendirian”. “Pakar lurus” yang pernah menolak fasilitas mobil ketika menjadi Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu banyak ditentang oleh ahli hukum tatanegara lainnya. Yusril Ihza Mahendra, misalnya, menyatakan masa peralihan UUD 1945 itu hanya berlangsung satu tahun. Hal ini didasarkan pada bunyi Aturan Tambahan ayat (1) dan ayat (2).

Ayat (1) menyatakan bahwa enam bulan sesudah berakhirnya perang Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD 1945. Itu artinya termasuk mengupayakan pemilihan umum yang menjadi dasar bagi pembentukan DPR dan MPR. Setelah itu, dalam ayat (2), dinyatakan bahwa bila MPR terbentuk maka badan ini diberi waktu selama enam bulan juga untuk menetapkan UUD baru. Berlandaskan bunyi dua ayat dalam Aturan Tambahan inilah Mahendra bependapat masa peralihan itu hanya berlangsung satu tahun. Karena masa satu tahun itu terlampaui tanpa penetapan UUD baru maka sifat sementara UUD 1945 itu gugur dengan sendirinya.

Mengenai berlakunya UUD 1945 dalam kurun kedua (1959-sekarang), Mahendra juga menyatakan UUD 1945 sudah bersifat tetap. Hal ini didasarkan pada teori post-factum bahwa dekrit kembali kepada UUD 1945 sudah diterima secara luas dan tidak ada penolakan selama puluhan tahun. (Mahendra, 1995).

Bagir Manan mendukung teori Mahendra dengan mengemukakan pendapat sebagai berikut. Pertama, dekrit kembali ke UUD 1945 telah diterima sebagai kenyataan. Kedua, salah satu inti Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah menyatakan UUDS 50 tidak berlaku; tidak masuk akal UUDS 50 yang sementara digantikan dengan UUD yang bersifat sementara pula. Ketiga, salah satu pertimbangan kembali ke UUD 1945 adalah untuk kembali pada semangat proklamasi; tidak mungkin hasrat tersebut bersifat sementara. Keempat, dari kebijaksanaan politik dan berbagai dorongan kekuatan politik pada saat Dekrit Presiden 5 Juli dikeluarkan, dapat diyakini kehendak kembali memberlakukan UUD 1945 akan bersifat tetap dan tidak sementara. (Manan, 1998).

Ketika melakukan studi tentang perubahan undang-undang dasar (1978) Sri Soemantri telah menganjurkan jalan “amandemen” bagi perubahan UUD 1945 bila kelak ingin diubah. Dengan menganjurkan jalan itu, Soemantri secara implisit mengakui bahwa UUD 1945 sudah bersifat tetap.

Dengan kepungan pendapat para koleganya sesama ahli hukum tatanegara, tidak heran teori Alrasid tidak laku dijual kepada para anggota MPR yang memiliki wewenang konstitusional untuk mengubah UUD 1945 (Pasal 37) dan menetapkan undang-undang dasar (Pasal 3). Alrasid bersikukuh sebaiknya anggota MPR menggunakan Pasal 3, bukan Pasal 37 dalam menjalankan amanat reformasi konstitusi. Tapi, kenyatannya MPR lebih mendengarkan saran para “penentang” Alrasid dengan menggunakan jalan “amandemen” mulai dari SU MPR 1999 hingga ----kalau jadi----ST MPR 2002.

Empat kali perubahan dengan jalan amandemen itu terbukti menimbulkan persoalan. Baju amandemen itu terlalu sempit untuk mewadahi tuntutan reformasi konstitusi. Hal ini disebabkan amandemen yang dilakukan telah membawa perubahan mendasar dan bersifat paradigmatik. Jimly Asshiddiqie, misalnya, sudah memperingatkan bahwa jalan amandemen dengan cara melampirkan naskah perubahan sudah tidak tepat lagi dilaksanakan begitu perubahan pertama dilakukan. Sebab, dalam perubahan pertama, telah terjadi pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR. Perubahan ini menyebabkan UUD 1945 menganut paradigma pemisahan kekuasaan dalam negara (separation of powers) dari sebelumnya pembagian kekuasaan (division/distribution of powers).

Karya MPR dalam tiga tahun terakhir ini telah mengundang kritik di sana-sini, baik oleh mereka yang ingin reformasi konstitusi lebih maju (konstitusi baru) maupun oleh mereka yang ingin status quo (kembali ke UUD 1945 tanpa perubahan). Pada titik ini, penulis menilai Alrasid benar, ketika ada momentum perubahan (1998), perubahan UUD 1945 seharusnya tidak dilakukan dengan jalan amandemen (Pasal 37), melainkan dengan jalan penetapan undang-undang dasar baru (Pasal 3).

Ide tentang interim/transitional constitution yang disuarakan Koalisi Ornop itu, meski diilhami dari pengalaman Afrika Selatan (1994-1997), sebenarnya tidak lain adalah revitalisasi dari teori Alrasid tentang sifat kesementaraan UUD 1945 dan jalan keluar yang harus dilakukan untuk mengatasi kesementaraan itu. Teori yang sudah menepi dari meanstream ilmu hukum tatanegara itu, kini menjadi penting untuk dimunculkan lagi dalam menjawab problem reformasi konstitusi kita yang sudah hampir menemui jalan buntu. ***

No comments: