17 March 2009

Dan SBY-pun Menang…is

Published by Media Indonesia, September 2007


Oleh Refly Harun

Analis Hukum Konstitusi; Alumnus University of Notre Dame, AS


Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) kembali memuat persyaratan dukungan bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Seperti termuat dalam Pasal 6 ayat (1) RUU Pilpres, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan memperoleh kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pilpres.” Ayat (2) dari pasal yang sama menyatakan, “Dalam hal partai politik tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bergabung dengan partai politik lain menjadi gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon.”

Persyaratan di atas sebenarnya hanyalah pengulangan dari apa yang telah disepakati dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), persisnya seperti termuat dalam Pasal 15 ayat (4). Namun, khusus untuk Pilpres 2004, UU Pilpres memuat klausula aturan peralihan yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan dengan tiga persen kursi DPR atau lima persen suara sah pemilu anggota DPR (Pasal 101). Di bawah ketentuan peralihan ini, Pilpres 2004 telah memunculkan lima pasangan calon, yaitu SBY-Wiranto, Mega-Hasyim, Wiranto-Wahid, dan Hamzah-Agum.

RUU Pilpres yang diajukan pemerintah dan kini dibahas DPR tidak menyertakan lagi klausula peralihan tersebut. Artinya, untuk Pilpres 2009, syarat dukungan 15 persen kursi atau 20 persen suara tersebut mutlak adanya. Bila yang menjadi acuan adalah 15 persen kursi maka maksimal hanya enam pasang calon yang dapat bertanding dalam pilpres. Dan bila yang dijadikan patokan adalah 20 persen suara maka hanya akan ada enam pasang calon. Perhitungan ini di atas kertas. Di atas lapangan tentu berbeda lagi. Bisa jadi hanya 2-3 pasang calon yang bertanding untuk pilpres mendatang. Sekadar catatan, dengan batasan tiga persen kursi dan lima persen suara, hanya lima pasang calon yang bertanding dalam Pilpres 2004.

Secara teknis dan paradigmatik dapat dibenarkan mengapa syarat dukungan capres tersebut harus tinggi. Secara teknis, pilpres diharapkan sudah menghasilkan presiden dan wakil presiden dalam satu kali putaran saja. Dengan demikian, ongkos pilpres jauh lebih murah bila dibandingkan pemilihan dengan dua putaran. Selain itu, stabilisasi politik, yang biasanya gonjang-ganjing selama prosesi pemilu, lebih cepat pulih bila presiden terpilih sudah dapat ditentukan dalam sekali putaran.

Secara paradigmatik, dalam sistem presidensialisme yang kita anut, presiden membutuhkan dukungan parlemen yang kuat agar pemerintahan lebih stabil. Sistem presidensialisme dinilai lebih kompatibel bila disandingkan dengan sistem multipartai sederhana, yang terjelma dalam komposisi parlemen yang juga sederhana, yaitu antara partai pendukung pemerintah di satu sisi dan partai oposisi di sisi lain. Sebab, seperti dikatakan Scott Mainwarning (1993), “the combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain.”

‘Warning’ dari Mainwarning tersebut ditangkap secara jelas oleh perumus RUU Pilpres dengan mengajukan angka 15 persen kursi atau 20 persen suara sebagai syarat dukungan bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara teoretis, angka 15 persen kursi tentu masih terbilang kecil. Diharapkan calon presiden dan wakil presiden terus dapat meningkatkan modal politiknya hingga mencapai dukungan mayoritas di parlemen. Namun, sekadar entry point, angka 15 persen kursi tersebut dapat dianggap moderat.

Bila hasil Pemilu 2004 dijadikan patokan, ternyata yang paling mengambil keuntungan dari angkar 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara tersebut hanya dua parpol, yaitu Golkar dan PDIP. Dalam pemilu lalu, Golkar memperoleh 21,6 persen suara dan 23,1 persen dari jumlah kursi DPR. Sementara PDIP memperoleh 18,5 persen suara dan 19,8 persen dari jumlah kursi. Partai Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian terpilih sebagai presiden hanya memperoleh 7,5 persen suara dan 10,2 persen kursi.

Apa makna dari angka-angka di atas? Maknanya, bila komposisi perolehan suara tidak berubah secara signifikan pada Pemilu 2009 –dan tampaknya memang kondisinya demikian—hanya Golkar dan PDIP yang bisa langsung mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Parpol lain baru dapat mengajukan bila berkoalisi dengan Golkar atau PDIP, atau bergabung dengan parpol lain yang juga tidak mencapai 15 persen kursi atau 20 persen suara.

Bila kondisi politik hari ini yang dijadikan acuan, hampir bisa dipastikan pencalonan Megawati kembali oleh PDIP akan terlaksana dengan mulus. Sementara untuk Golkar, hampir bisa dipastikan Jusuf Kalla akan maju sebagai calon presiden. Konvensi mencari calon presiden yang pernah dilakukan Golkar menjelang Pemilu 2004 besar kemungkinkan tidak akan dilaksanakan –kalaupun dilaksanakan sekadar formalitas—mengingat posisi Jusuf Kalla yang kuat sebagai wakil presiden dan Ketua Umum Golkar. Akan sulit diterima oleh elite-elite dan massa Golkar bila Jusuf Kalla tetap memilih sebagai orang nomor dua, terlebih bila nanti Golkar kembali memenangkan pemilu.

Bagaimana dengan calon-calon yang lain? Sangat masuk akal bila Presiden SBY kembali dicalonkan oleh Partai Demokrat. Di Amerika Serikat, misalnya, sudah menjadi kebiasaan bila incumbent kembali dicalonkan sebagai presiden. Tidak mencalonkan incumbent sama artinya mengakui bahwa sang presiden telah gagal selama pemerintahannya.

Dengan aturan dukungan 15 persen kursi atau 20 persen suara, tidak mudah bagi Presiden SBY untuk dicalonkan kembali. Tidak mustahil Golkar dan PDIP ’berkoalisi’ untuk menghabisi SBY. Caranya, mereka dekati semua partai peserta pemilu sebagai mutra koalisi sehingga tidak menyisakan Partai Demokrat untuk mencari mitra koalisi. Secara teoretis, hal ini mungkin saja terjadi. Pengalaman pilkada DKI, misalnya, telah membuktikan bahwa sebanyak 20 parpol bisa digalang untuk mendukung Fauzi Bowo dengan menyisakan satu partai saja (PKS) untuk mengusung calon lain. Pilpres tentu saja tidak sama dengan pilkada, tetapi pola-pola seperti ini bukan mustahil dipraktikkan pula.

Bila skenario tersebut benar-benar terjadi maka dari dua pemilu yang ada SBY akan mengalami nasib yang berbeda. Bila pada Pemilu 2004 SBY menang maka untuk Pemilu 2009 sangat mungkin SBY menang...is karena terhalang menjadi calon presiden.

Melihat realitas bahwa RUU Pilpres diajukan oleh Depdagri yang dikamondani M. Machroef, yang notabene ’orang’ SBY, patut dipertanyakan pertimbangan apa yang menyebabkan Depdagri mengajukan angka 15 persen kursi dan 20 persen suara. Bisa jadi, tidak ada pikiran sebelumnya soal peluang SBY dicalonkan kembali, tetapi tidak mustahil pula kepentingan partai besar sudah menyusup ketika RUU Parpol digarap pemerintah.

Oleh karena itu, intuk menjaga fairness dalam persiapan menuju tangga istana, syarat dukungan 15 persen kursi atau 20 persen suara harus dikurangi. Syarat dukungan harus disejajarkan dengan ambang batas (threshold) parpol. Bila ambang batas untuk mengikuti pemilu selanjutnya (Pemilu 2014) ditetapkan sebesar lima persen sebagaimana terdapat dalam RUU Pemilu, sebesar itu pulalah seharusnya syarat dukungan bagi calon presiden dan wakil presiden. Di masa depan, untuk mengerem kebiasaan parpol besar menutup lubang aspirasi publik melalui rekayasa perundang-undangan, ada baiknya calon perseorangan diperbolehkan bertanding dalam pilpres seperti halnya dalam pilkada.***


Jakarta, 18 September 2007

No comments: