16 March 2009

Hakim Konstitusi “Kelas Dua“ (The 'Second Class' of Constitutional Justices)

This article was published by the Indonesia media

Koran Tempo, 22 August 2003


Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


RASIONALITAS apakah yang mendorong para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Presiden sehingga memilih mayoritas hakim konstitusi ‘kelas dua’ untuk suatu fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) yang mahapenting: the guardian of constitution? Pertanyaan ini penting diajukan, karena mayoritas hakim-hakim konstitusi yang telah dipilih dan kemudian diangkat Presiden pada 16 Agustus 2003 bukanlah sosok-sosok yang berada dalam ruang imajinasi publik sebagai sosok yang patut menduduki kursi terhormat sembilan hakim konstitusi.

Dalam benak dan pengharapan saya, sembilan hakim konstitusi yang bakal terpilih adalah sembilan ‘manusia dewa’ atau paling tidak ‘manusia setengah dewa’. Yaitu pemuncak segala persyaratan sebagai hakim konstitusi yang dimaktubkan UUD 1945: yang paling berintegritas, paling tidak tercela, paling adil, paling negarawan, paling mumpuni ilmu konstitusi dan ketatanegaraannya.

MA, misalnya, mengajukan ‘hanya’ seorang hakim agung dan dua orang hakim tinggi. Kalaupun MA ngotot untuk memanfaatkan jatah tiga hakim yang dinisbahkan konstitusi, maka yang harus dicari adalah hakim-hakim agung terbaik di MA. Hakim agung adalah puncak karier seorang hakim, tetapi hakim konstitusi bisa dianggap lebih puncak lagi karena sifat terbatasnya (hakim agung bisa berjumlah puluhan, sedangkan hakim konstitusi dibatasi sembilan orang saja). Alih-alih melihat hakim konstitusi sebagai pemuncak karier hakim, yang diajukan Ketua MA Bagir Manan malah hakim yang levelnya di bawah hakim agung. Seandainya memang tidak ada lagi stok hakim agung di MA yang pantas menjadi hakim konstitusi ---karena hakim agung pun kerap menanggalkan keagungannya untuk sekadar menjadi H A K I M alias Hubungi Aku Kalau Ingin Menang---MA harus mengembara ke luar lembaga, mencari sosok-sosok yang lebih pantas dan lebih agung.

Yang paling mengecewakan adalah sikap DPR. Sebagai inisiator Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK), DPR telah menyabotase UU itu dengan menyediakan pintu bagi politisi untuk menjadi hakim konstitusi. Dosa sabotase itu makin bertambah-tambah karena dua dari tiga hakim konstitusi yang telah dipilih DPR dan kemudian diajukan ke presiden adalah politisi, setidaknya sosok yang dekat dengan kekuatan politik tertentu. Ini dimanfaatkan presiden untuk mengangkat setidaknya dua dari tiga hakim konstitusi yang dekat ---atau malah bisa dikontrol---dirinya.

Mengapa politisi seharusnya tidak menjadi hakim konstitusi, tidak lain karena fungsi strategis MK sangat terkait dengan politik dan kekuatan politik. Melakukan judicial review, memutus sengketa antarlembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu, dan memberikan pendapat hukum atas proses pemakzulan (impeachment) presiden/wakil presiden, adalah fungsi-fungsi yang harus dijauhkan dari kemungkinan dependensi terhadap kekuatan politik tertentu. Sosok-sosok yang menjalankan fungsi-fungsi itu haruslah mereka yang tidak terlibat dalam political game sehari-hari.

Bayangkanlah bila DPR suatu waktu meminta pendapat hukum atas pemakzulan presiden ke MK. Seandainya lima saja dari sembilan hakim MK itu dependen terhadap presiden, proses pemakzulan akan berhenti di tengah jalan. Politisi dalam peta pencarian hakim konsititusi diragukan akan bersikap adil terhadap sengketa yang melibatkan afiliasi politiknya.

***

Bila dirunut lebih jauh, kesalahan metode rekrutmen hakim konstitusi berada di tingkat konstitusi. UUD 1945 menyebutkan bahwa sembilan orang hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan Presiden. Pasal ini awalnya dimaksudkan agar tercipta checks and balances antara tiga cabang utama kekuasaan negara: legislatif (DPR), eksekutif (Presiden), dan yudikatif (MA). Pemikiran ini dapat dimaklumi karena area tugas MK tidak saja sebagai pengadil konflik di antara kekuatan-kekuatan infrastruktur politik (partai politik), melainkan juga antara kekuatan suprastruktur politik (lembaga-lembaga negara). Potensi konflik antarlembaga negara itu berada pada pusaran tiga cabang utama kekuasaan negara tadi. Karena itu, agar adil, DPR, Presiden, dan MA diberi jatah untuk mengajukan masing-masing tiga hakim konstitusi.

Asumsi itu jelas keliru besar. Pertama, seperti sudah disinggung, area fungsi MK tidak hanya pada wilayah tiga cabang kekuasaan tadi, tetapi juga menjangkau lembaga-lembaga negara lainnya yang kekuasaannya dinisbahkan konstitusi, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Konflik juga bisa terjadi antara tiga cabang kekuasaan itu dengan partai politik dan kelompok masyarakat, bahkan individu.

Dalam hal judicial review, misalnya, seorang individu bisa mengajukan permohonan kepada MK untuk meninjau suatu peraturan perundangan-undangan yang dinilainya telah melecehkan konstitusi ---dan sebagai warga negara ia merasa terpanggil untuk menjaga konstitusi dari segala bentuk pelecehan. Itu artinya konflik terjadi antara DPR plus Presiden sebagai lembaga pembuat dan pengesah undang-undang dan seorang warga negara. Dalam logika tiga-tiga-tiga (triple three) tadi, jelas warga negara ini tidak memiliki cantolan hakim MK yang favorable terhadap dirinya.

Kedua, asumsi itu mengandaikan bahwa ketiga lembaga bakal satu suara dalam mengajukan hakim konsitutsi, yaitu hakim yang diperkirakan akan membela kepentingan lembaga pengaju dalam suatu konflik tertentu. Dengan demikian, umpamanya terjadi konflik antara Presiden dan DPR, lembaga-lembaga yang terlibat sengketa tinggal mencari dukungan dari hakim-hakim konstitusi dari lembaga yang tidak terlibat konflik, yaitu yang berasal dari MA.

Hipotesis ini hanya mungkin berlaku bagi Presiden dan MA, tetapi tidak untuk DPR. Karena sifat pluralisme kelembagaan DPR, calon-calon hakim konstitusi yang diajukan DPR sudah harus berkelahi merebut dukungan para anggota Dewan. Karena itu, hakim-hakim konstitusi yang terpilih akan memiliki kecenderungan tertentu terhadap fraksi atau kelompok di DPR yang mendukungnya, tidak terhadap DPR sebagai satu lembaga yang utuh. Bila yang terpilih itu sosok yang dijagokan the ruling party di DPR, dan kebetulan presiden juga dari the ruling party, maka hakim konstitusi akan berada di barisan presiden. Presiden memperoleh keuntungan dari proses yang terjadi di DPR untuk menambah barisan hakim konstitusi yang bakal membela dirinya.

Ketiga, asumsi rekrutmen hakim konstitusi dalam UUD 1945 dilandasi hitung-hitungan kalah-menang sedikit-banyak dukungan khas proses politik. Padahal, tiang pancang yang sudah ditanamkan adalah MK sebagai lembaga hukum penjaga kemurnian konstitusi. Dengan demikian, ukurannya jelas: konstitusi. Dan proses yang digunakan adalah proses hukum, yaitu mencari kebenaran substantif. Apapun yang diputuskan MK harus dilandaskan pada keinginan menegakkan konstitusi melalui proses pencarian kebenaran substantif. Bukan pada hitungan-hitungan kalah-menang atau sedikit-banyak dukungan.

MK dengan sendirinya harus disterilkan dari pergulatan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Biarlah pergulatan itu terjadi di partai-partai politik, DPR, Presiden, dan sekali-sekali MA. MK, dengan manusia-manusia ’dewa’ atau ’setengah dewa’ atau wali yang berjumlah sembilan sehingga pantas disebut walisongo ketatanegaraan, harus beyond dari semua itu.

Sialnya, konstitusi telah keliru meletakkan mekanisme rekrutmen hakim konstitusi, dan kekeliruan ini makin bertambah-tambah karena undang-undang yang dihasilkan membolehkan politisi (baca: warga “kelas dua“) menjadi hakim konstitusi. Dan dua pintu kesalahan itu telah menghasilkan kesalahan ketiga: betul-betul ada warga kelas dua yang menjadi hakim konsitusi!***

No comments: