17 March 2009

Kebebasan Membentuk Partai Politik

Published by Kompas, 16 Juli 2004


By Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

Dosen Fakutlas Hukum Univ. Indonusa Esa Unggul


JAUH dari hiruk-pikuk pemberitaan media, pada 13 Juli lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan atas permohonan judicial review UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang diajukan oleh Agus Miftach. MK pada pokoknya menolak permohonan Ketua Umum Partai Persatuan Rakyat Indonesia (PPRI) itu. Terlepas dari siapa pemohonnya, putusan ini menurut saya penting dibahas karena UU Parpol adalah instrumen penting bagi transisi demokrasi di Indonesia.

Dibandingkan dengan putusan mengenai eks-PKI yang diucapkan pada 24 Februari lalu, yang saya nilai sangat progresif, putusan kali ini terlalu ‘konservatif’. MK yang biasanya bernyali menobrak agenda-agenda tersembunyi (hidden agenda) di DPR dalam pembentukan suatu undang-undang, yang dibuktikan dengan putusan UU Pemilu mengenai eks-PKI, kali ini kurang memunculkan ‘greget’.

Ada empat hal yang dimohonkan Agus Miftach, yaitu (1) uji formil UU Parpol, yang bila dikabulkan akan mengakibatkan keseluruhan undang-undang tersebut batal (tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat), (2) uji materil Pasal 2 ayat (3) huruf b mengenai syarat minimal kepengurusan parpol, (3) uji materill Pasal 3 ayat (2) mengenai pengesahan parpol sebagai badan hukum, dan (4) uji materil Pasal 23 huruf a s/d f mengenai pengawasan parpol.

Secara khusus saya hanya akan membahas poin 2 dan 3. Di antara sembilan hakim konstitusi pun terjadi perbedaan pendapat mengenai kedua poin tersebut. Akibatnya, putusan yang dihasilkan tidak bulat, melainkan dengan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).

Pasal 2 ayat (3) huruf b menyatakan bahwa parpol harus didaftarkan ke Departemen Kehakiman, dengan syarat mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Sementara Pasal 3 ayat (2) antara lain menyatakan bahwa pengesahan parpol sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri Kehakimanan selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan pendaftaran. Bagi pemohon (Agus Miftach) ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 mengenai jaminan kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

Dalam putusannya MK menyatakan bahwa soal syarat kepengurusan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena dimaksudkan untuk membangun parpol yang berkualitas, mandiri, dan mengakar di masyarakat. Pengaturan itu, menurut mayoritas hakim MK, diperlukan bagi negara yang tengah berada dalam proses pematangan demokrasi.

Mengenai pengesahan parpol sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman, MK berpandangan hal itu justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945. Pengaturan ini dimaksudkan guna menjamin agar penggunaan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya.

Secara puitis putusan MK mengutip kata bijak dari Kong Hu Cu: “Jika kita makan, tidur atau berbuat sesuka hati kita sendiri dan berkata-kata dengan menggunakan kata-kata yang kita beri arti sendiri bagi kata-kata itu, maka dunia akan menjadi tempat yang sulit untuk dihuni“. Dikutip pula kata bijak dari Albert Camus: “Ketika kebebasan seseorang bertemu dengan kebebasan orang lain, di situlah hukum diperlukan“.

“Dengan demikian, tidak satu pun dari pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pengekangan atau pembatasan terhadap kebebasan untuk mendirikan parpol, melainkan hanya pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga parpol tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Demikian pula, pengaturan tersebut tidak dapat dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua parpol.“ Sengaja saya mengutip agak panjang pertimbangan hukum MK agar dapat dipahami dan diikuti jalan pikiran mayoritas hakim konstitusi (6 orang hakim) yang menolak permohonan Agus Miftach.

***

Saya tidak sepakat dengan pendapat mayoritas hakim konstitusi kali ini. Pasal 2 ayat (3) huruf b UU Parpol mengenai syarat pendirian parpol bagi saya bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. Walaupun Pasal 28 menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul ditetapkan dengan undang-undang, menurut hemat saya, undang-undang yang ada tidak boleh mengurangi/meniadakan hak yang sudah dijamin dalam konstitusi .

Selain itu, harus dibedakan antara persyaratan membentuk parpol dan persyaratan parpol untuk ikut dalam pemilu. Tidak logis parpol yang baru terbentuk diharuskan memiliki kepengurusan hingga 50% di tingkat provinsi. Bila ketentuan ini dimaksudkan membatasi jumlah parpol, pembatasan itu cukuplah ketika parpol yang bersangkutan bermaksud ikut serta dalam pemilu, tidak ketika parpol dibentuk, karena akan melanggar kebebasan warga negara membentuk parpol.

Ketentuan tentang kepengurusan menurut saya juga redundant dengan aturan yang sejenis dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan c UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu (UU Pemilu). ‘Kemubaziran’ itu sudah terjadi ketika ada verifikasi ganda menjelang Pemilu Legislatif 2004, yaitu verifikasi yang dilakukan Depkeh HAM dan verifikasi oleh KPU. yang tentu saja berkonsekuensi pada membengkaknya penggunaan uang negara. Jelas ini bertentangan dengan prinsip good governance yang menghendaki efisiensi dalam setiap tindakan penyelenggaraan negara.

Mengenai kewenangan pengesahaan oleh Menteri Kehakiman, yang kerap dibahasakan sebagai tindakan administratif, saya berpendapat hal itu dapat mengurangi/meniadakan makna kebebasan berserikat dan berkumpul yang dikandung Pasal 28 UUD 1945. Alasan lain, sesuai dengan makna Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang berhak memutuskan pembubaran parpol adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Menteri Kehakiman. Sekalipun kata ‘disahkan’ dan ‘dibubarkan’ tidak sama, tetapi konsekuensi yang terjadi sama saja, yaitu menjadi hilangnya eksistensi parpol yang bersangkutan dalam hal suatu parpol tidak disahkan. Dengan demikian, wewenang pengesahan suatu parpol di Depkeh HAM telah melanggar UUD 1945.

Dalam putusan MK kali ini, tiga orang hakim, yaitu Prof Mukthie Fadjar SH MS, Maruarar Siahaan SH, dan Dr Harjono SH MCL, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) untuk pasal-pasal yang dibahas di atas. Pada pokoknya mereka menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya harus dibatalkan (dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat).

Pendapat berbeda, terutama dari Hakim Mukhtie Fadjar dan Hakim Maruarar Siahaan, perlu saya garisbawahi. Pertama, UUD 1945 tidak memerintahkan pembentukan undang-undang organik tentang parpol. Kalaupun harus diadakan, isi undang-undang tersebut tidak boleh mereduksi hakikat dan makna kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin Pasal 28 UUD 1945.

Kedua, kebijakan penyederhanaan parpol seperti didalilkan pembentuk undang-undang dalam Penjelasan Umum UU Parpol, yaitu mewujudkan “sistem multipartai sederhana”, seyogianya berlangsung secara alamiah lewat seleksi pemilu secara periodik, misalnya dengan ketentuan electoral threshold, bukan lewat seleksi administratif yang dilakukan Pemerintah.

Ketiga, pengaturan mengenai syarat kepengurusan parpol dalam UU Parpol menghambat keberadaan parpol sebagai instrumen demokrasi dan manifestasi kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Juga tumpang-tindih (overlapping) dengan syarat yang terdapat dalam UU Pemilu.

Keempat, ketentuan UU Parpol tidak mengakomodasi kemungkinan keberadaan partai lokal (local party) yang seharusnya juga tidak dinafikan dalam sistem kepartaian di Indonesia, karena akan sesuai dengan semangat otonomi daerah seluas-luasnya yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.

Kelima, “sistem kepartaian sederhana” yang dipakai pembentuk UU Parpol tidak dikenal dalam literatur ilmu politik. Kalaupun akan dipakai dalam sistem politik di Indonesia, tidak boleh menjadi instrumen political engineering untuk menghambat berdirinya parpol.

Keenam, pengalaman Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 menunjukkan bahwa penyederhanaan parpol melalui mekanisme pemilu (electoral threshold) ternyata sangat efektif.

Kesan saya atas putusan MK kali ini, pendapat berbeda dari ketiga hakim jauh lebih komprehensif dan argumentatif ketimbang pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan MK. Akan tetapi, karena ini sudah menjadi putusan MK, kita harus menghormati dan menaatinya. Dalam konteks ’kepatuhan’ hukum’ seperti itu, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menantang putusan MK, melainkan sekadar proses pembelajaran. Walaupun secara yuridis putusan MK sudah final, dari sudut ilmu pengetahuan putusan ini masih terbuka untuk diperdebatkan.***

Jakarta, 14 Juli 2004

No comments: