21 March 2009

Koalisi Permanen atau Koalisi Memanen

(Coalition in Indonesian Politics)

Published by Indonesian media
Republika, 18 March 2009

By Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro)

Belum lagi ketahuan hasil pemilu legislatif, para elite politik sudah mondar-mandir, berkunjung ke sana kemari, untuk menjajaki kemungkinan koalisi. Yang paling panas tentu saja pertemuan JK-Mega, 12 Maret lalu, yang menghasilkan lima kesepakatan. Salah satunya, membentuk pemerintahan dengan basis kuat di parlemen.

Belum begitu jelas ke mana arah koalisi tersebut karena kedua tokoh sudah menyatakan dan mendeklarasikan sebagai calon presiden. Sesama capres tentu tidak mungkin berkoalisi. Apa pun itu, pertemuan-pertemuan tokoh saat ini memang selalu diiringi mantra bernama 'koalisi'. Beberapa pengamat dan tokoh politik menambahi kata 'permanen' sehingga menjadi 'koalisi permanen'. Maksudnya jelas, koalisi tersebut sedapat mungkin bertahan paling tidak hingga akhir pemerintahan.

Dari desain ketatanegaraan kita, sebenarnya tidak ada yang namanya koalisi permanen. Yang ada adalah koalisi pengajuan pasangan capres dan cawapres. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang telah dibajak DPR dengan pembatasan presidential threshold 20 persen kursi dan 25 persen suara, menyatakan bahwa pasangan capres-cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Frase gabungan parpol peserta pemilu memberikan legitimasi konstitusional bagi pembentukan koalisi parpol dalam pengajuan pasangan capres-cawapres.

Pada Pilpres 2004, pasangan SBY-JK diajukan oleh tiga koalisi parpol, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dua parpol pengusung ini ikut pula terangkut dalam gerbong pemerintahan SBY-JK. Ketua Umum PBB saat ini, MS Kaban, menjadi menteri kehutanan, sementara Ketua Umum PKPI, Meutia Hatta, menjadi menteri negara peranan wanita. Keduanya menjadi petinggi parpol masing-masing setelah menjadi bagian pemerintahan, demikian pula dengan JK yang terpilih menjadi ketua umum Golkar setelah menjadi wakil presiden.

Dari perspektif hukum tata negara, koalisi pengajuan pasangan capres-cawapres itulah yang bersifat permanen. Bila presiden dan wakil presiden berhalangan bersamaan, parpol yang calonnya menjadi pemenang pertama dan kedua mengajukan pasangan calon untuk dipilih MPR. Dalam hal ini, misalnya, SBY-JK berhalangan tetap secara bersamaan, ketiga parpol yang mengajukan, yaitu PD, PBB, dan PKPI, berhak mengajukan pasangan calon ke MPR untuk ditandingkan dengan pasangan calon yang diajukan PDIP, karena calon dari partai ini (pasangan Megawati-Hasyim Muzadi) menjadi pemenang kedua dalam Pilpres 2004.

Pertanyaan yang menggelitik adalah, bagaimana bila salah satu atau salah dua parpol pengusung telah bubar? Hal ini sebenarnya sudah terjadi ketika kader PBB mendeklarasikan Partai Bintang Bulan dan PKPI berganti menjadi Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Saat itu, kedua parpol mengantisipasi pemberlakuan electoral threshold (ET) tiga persen yang tercantum dalam UU Pemilu 2003 (UU Nomor 12 Tahun 2003).
Untunglah aturan ET itu dihapuskan dan diganti dengan parliamentary threshold (PT) dalam UU Pemilu 2008 (UU Nomor 10 Tahun 2008). Terlebih, UU Pemilu 2008 memberikan tiket gratis bagi parpol yang memiliki kursi di DPR untuk ikut Pemilu 2009 melalui pemberlakuan Pasal 316d, yang kemudian dibatalkan MK secara terlambat karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Seandainya PBB dan PKPI bubar dan SBY-JK berhalangan tetap--tetapi mudah-mudahan tidak pernah terjadi--akan terjadi komplikasi ketatanegaraan menyangkut parpol mana yang berhak mengajukan pasangan calon untuk dipilih di MPR. Apakah Demokrat saja karena PBB dan PKPI sudah bubar? Ataukah Demokrat ditambah Partai Bintang Bulan dan PKP?
Hukum formal, baik UUD 1945 maupun UU Pilpres (2003 dan 2008), tidak mengatur hal tersebut. Kekosongan hukum tersebut bisa saja ditambal melalui perppu, tetapi perlu diingat bahwa perppu pun harus minta persetujuan DPR. Kesimpulannya, bila hal tersebut terjadi, mekanisme politiklah yang harus menyelesaikannya karena hukum belum mengaturnya.

Kembali kepada koalisi permanen tadi, koalisi ini hanyalah soal etika politik. Hukum tidak mengaturnya. Jadi, bila ada anggota koalisi yang 'berkhianat', tidak bisa ditindak. Satu-satunya tindakan hanyalah dengan mengeluarkan wakilnya dari kabinet. Namun, itu pun belum tentu efektif karena wakil di kabinet belum tentu orang yang berpengaruh lagi. Ketika terjadi pergeseran kepemimpinan di PKB, dua menteri SBY dari PKB, yaitu Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf, yang masing-masing menjabat sebagai ketua umum dan sekjen, tidak banyak lagi gunanya untuk memantapkan dukungan PKB terhadap pemerintahan SBY-JK. PKB tiba-tiba menjadi oposisi di bawah kepemimpinan baru.

Masalah lain adalah sering terjadi pergeseran kepemimpinan pascapilpres. Ketika SBY-JK baru dilantik pada 20 Oktober 2004, DPR terbelah menjadi dua blok, yaitu Koalisi Kebangsaan, yang di dalamnya terdapat PDIP-Golkar, dan Koalisi Kerakyatan, di dalamnya terdapat Demokrat dan parpol-parpol menengah. Koalisi Kerakyatan mendeklarasikan dirinya sebagai blok oposisi pemerintahan SBY-JK.

Ternyata, koalisi tersebut tidak bertahan lama. Begitu JK terpilih menjadi wakil presiden, Golkar pun langsung berada di sisi pemerintah. Alhasil, hanya PDIP yang benar-benar tidak terwakili di kabinet sebagai parpol besar. Bila sekarang ada pertemuan JK-Mega dengan kesepakatan membentuk pemerintahan dengan dukungan kuat di parlemen, yakinlah hal tersebut tidak akan berlangsung lama. Hal itu akan sangat bergantung pada perubahan kepemimpinan di masing-masing parpol.

Yang paling potensial menyeberang adalah Golkar. Misalkan SBY menang dalam pilpres--paling tidak begitulah menurut berbagai lembaga survei--Mega dan JK akan menarik gerbongnya menjadi oposisi. Namun, hal itu bisa segera berubah ketika terjadi perubahan kepemimpinan di Golkar.

Saat ini, setelah JK mendeklarasikan kesiapannya menjadi capres, beberapa elemen Golkar segera membaca peluang untuk menduetkan SBY dengan tokoh Golkar lainnya. Akbar Tandjung, pentolan Golkar yang masih berpengaruh, sudah menawarkan diri. Saya menduga Fadel Muhammad dan Aburizal Bakrie juga sedang mencari peluang ke arah sana. Adapun Surya Paloh dan Hamengku Buwono berupaya merapat ke Mega.

Seandainya SBY memilih tokoh Golkar untuk menjadi pasangannya dan parpol-parpol menengah, seperti PKS, ikhlas untuk hanya sekadar mendapatkan porsi yang lebih banyak di kabnet, tokoh tersebut berpotensi merebut kepemimpinan Golkar pada 2010, siapa pun dia. Karakter Golkar sangat jelas: parpol ini sangat tidak berpengalaman dan kelihatannya tidak mau menjadi oposisi, selalu ingin menikmati manisnya kekuasaan.

Untuk menutup tulisan ini, koalisi permanen atau apa pun istilahnya hanyalah cara untuk memperoleh kemenangan dalam race Pilpres 2009. Yang lebih tepat bukan 'koalisi permanen', melainkan 'koalisi memanen' alias memanen kemenangan. Setelah kemenangan diperoleh, politik akan bergerak dengan logikanya sendiri. Konstelasi bisa berubah sewaktu-waktu. Dan, itulah politik!

No comments: