21 March 2009

Kecurangan Pemilu Kita

(Frauds in Our Elections)


This article was published by the Indonesian media

Media Indonesia, 4 March 2009


By Refly Harun

Senior Researcher Centre for Electoral Reform (Cetro),

Chevening Fellow University of Birmingham, UK


Chris Game, salah seorang dosen di Universitas Birmingham yang banyak mengamati fenomena pemilu, dengan berapi-api mengungkapkan betapa pemilu di Inggris banyak diwarnai kecurangan. Yang paling menonjol adalah memakai jati diri orang lain untuk memberikan suara. Seseorang bisa memberikan suara berkali-kali.

Hal tersebut mudah dilakukan karena pemilih tinggal datang ke TPS (tempat pemungutan suara) atau polling station dan menyebutkan jati dirinya kepada petugas. Petugas akan mengecek apakah yang bersangkutan terdaftar atau tidak. Bila terdaftar, yang bersangkutan diberikan surat suara (ballot paper) lalu kemudian memilih. Petugas tidak menanyakan kartu identitas pemilih semacam KTP, kartu pemilih, dan lainnya. Setelah memilih pun tidak diberlakukan celupan tinta ke telunjuk. Celakanya ketika yang empu jati diri sesungguhnya datang ke TPS dan mendapati sudah ada yang menggunakan identitasnya, petugas tinggal menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bisa memilih karena sudah ada yang memilih dengan menggunakan nama yang bersangkutan.

Proses pemungutan suara seperti ini memang rawan kecurangan. Hanya, yang membuat saya tersenyum mendengar penjelasannya, bahwa kecurangan yang dia ungkapkan secara berapi-api dan katanya sangat memalukan itu tidak seberapa dibandingkan negeri kita. “Bagi saya, apa yang coba Anda terangkan tidak ada apa-apanya, nothing. Kecurangan pemilu kami jauh lebih kompleks dari yang apa Anda jelaskan.” Saya menjelaskan kepadanya tanpa bermaksud bangga bahwa pemilu di Indonesia adalah gudangnya kecurangan. Sama sekali tidak.

Vote buying, praktik membeli suara, adalah salah satu jenis kecurangan yang sering disebut dalam referensi pemilu. Calon berupaya mempengaruhi pemilih dengan segala macam cara, yang paling sering adalah dengan memberikan sejumlah uang, sehingga terjadi apa yang sering disebut dengan istilah politik uang (money politics). Di Inggris hal ini tidak terlalu menonjol, untuk mengatakan tidak ada. Di Indonesia, dipraktekkan hampir semua parpol dan kandidat. Rasanya hampir tidak ada parpol yang tidak melakukan praktik money politics. Walapun UU Pemilu telah melarang dan mengancam pelakunya, praktik seperti ini bertambah subur, terlebih bila hari pemungutan suara (polling day) tinggal hitungan jari.

Untuk konteks Indonesia, vote buying pun bukan sesuatu yang wah, walaupun praktik seperti ini tetap tidak bisa ditolerir. Bayangkanlah berapa uang yang harus keluar untuk menyuap pemilih. Itu pun tidak menjadi jaminan pemilih akan memilih mereka. Di bilik suara, who knows, pemilih memilih apa. Tidak heran bila salah satu bait dalam lagu gerakan antipolitsi busuk berbunyi, “ambil saja uangnya, tapi jangan pilih mereka”. (Masalahnya, apakah kalau semua memberi uang lalu tidak perlu pilih siapa-siapa. Golput hanya akan menyebabkan “bad politicians are sent to Senayan by people who don’t vote.”)

Untuk Indonesia kontemporer, praktik membeli petugas pemilu jauh lebih berbahaya. Parpol atau kandidat tinggal menyuap petugas penghitungan suara di berbagai tingkatan yang memungkinkan. Bila di TPS tidak memungkinkan karena disaksikan langsung masyarakat, bisa saja dilakukan di PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, bahkan bukan tidak mungkin di KPU sendiri, misalnya melalui petugas yang menerima dan memasukkan hasil pemilu dari sejumlah daerah ke komputer. Salah ketik sedikit saja ketika memasukkan data, hasil pemilu bisa berubah total.

Kesempatan seperti itu bertambah besar karena pengumuman hasil pemilu tersentalisasi di Jakarta. Hasil resmi pemilu adalah apa yang diumumkan KPU, yang menurut UU Pemilu maksimal 30 hari setelah hari pemungutan suara. Pada Pemilu 2004, misalnya, pemungutan suara dilakukan pada 5 April dan KPU baru bisa mengumumkan hasil pemilu 5 Mei. KPU memanfaatkan waktu maksimal yang diizinkan undang-undang. Bila ada perbedaan antara hasil rapat pleno KPU di daerah dan yang diumumkan KPU, hasil terakhirlah yang dipegang.

Ketika masih menjadi staf ahli Mahkamah Konstitusi (MK) dan ikut menangani sengketa hasil Pemilu 2004, saya ikut memeriksa kecurangan yang dilakukan oleh empat anggota KPU Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Empat orang anggota KPU Sintang berkolaborasi dengan kandidat salah satu parpol, dengan cara mengubah distribusi perolehan suara. Suara parpol-parpol yang tidak berpeluang lagi memperoleh kursi dialihkan sebagian kepada parpol dari calon tersebut. Dengan cara demikian, sang calon mendapatkan kursi DPR.

Parpol yang merasa berhak atas kursi DPR tersebut lalu mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK. Saksi terkuatnya adalah Ketua KPU Kabupaten Sintang sendiri, yang bersumpah-sumpah di hadapan panel hakim MK bahwa hasil pemilu yang diumumkan dalam rapat pleno mereka bukanlah seperti apa yang diumumkan KPU. Kelucuan terjadi di sidang MK. Kuasa hukum KPU yang mewakili kepentingan KPU Kabupaten Sintang tidak bisa berbuat apa-apa, karena yang berkelahi di sidang MK adalah para anggota KPU Kabupaten Sintang sendiri, antara ketua dan empat orang anggotanya. Seharusnya, semua anggota KPU baik di pusat maupun di daerah harus mempertahankan hasil yang telah mereka tetapkan dan umumkan. Namun, karena KPU(D) sendiri yang curang, dan pelakunya tidak semua anggota KPU(D), tidak heran bila debat terjadi antarsesama anggota KPU(D) sendiri. Putusan MK akhirnya memenangkan Ketua KPU Kabupaten Sintang. Empat anggota yang berlaku curang tersebut telah dipecat.

Birokrasi penghitungan suara yang panjang dan lamanya waktu pengumuman hasil pemilu memberikan peluang terjadinya kecurangan. Centre for Electoral Reform (Cetro) pernah mengusulkan agar rantai penghitungan suara diperpendek. Usulan tersebut ternyata diakomodasi baik dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu maupun UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. PPS kini tidak lagi melakukan rekapitulasi penghitungan suara. Hasil dari TPS langsung dihitung di PPK. PPS hanya mengumumkan hasil tiap TPS. Selama ini, kecurangan kerap terjadi di PPS karena proses penghitungannya jarang diawasi saksi-saksi dari semua parpol.

Sayangnya, usulan yang berhubungan dengan waktu pengumuman hasil pemilu tidak diakomodasi keseluruhan. Usulan Cetro, pengumuman resmi hasil pemilu dilakukan di tingkatan masing-masing. Untuk pemilihan anggota DPR dan DPD dilakukan oleh KPU, untuk anggota DPR provinsi oleh KPU provinsi, dan untuk DPRD kabupaten/kota oleh DPRD kabupaten/kota. Usulan ini hanya diakomodasi sebagian. KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk mengumumkan hasil pemilu untuk tingkatannya. Namun, hasilnya tetap harus dibawa ke Jakarta untuk diumumkan secara nasional oleh KPU. Pengumuman KPU-lah yang resmi dan menjadi obyek perkara di MK bila ada yang mempersoalkan. Dengan proses seperti ini, yang notabene mirip dengan Pemilu 2004, kasus Kabupaten Sintang tidak muskil terulang kembali.

Mendengar pernyataan soal “nothing” tadi, Chris Game masih meyakinkan kepada saya bahwa kecurangan di Inggris termasuk luar biasa dan tidak bisa diterima karena terjadi di negara yang demokrasinya sudah mapan, sudah ratusan tahun menjalani proses demoraksi. “Itu tidak bisa dibenarkan bila terjadi di sini,” katanya. Semoga dia tidak hendak mengatakan, bahwa di negara demokrasi baru (new democracy) seperti Indonesia kecurangan pemilu (electoral frauds) adalah hal biasa dan bisa dibenarkan…***


Birmingham, 28 Februari 2008

No comments: