17 March 2009

Mempertimbangkan Kembali Sistem Distrik

Published by Koran Tempo, 23 November 2006

Refly Harun

· MAHASISWA UNIVERSITY OF NOTRE DAME, AMERIKA SERIKAT


Tulisan ini diilhami oleh pemilihan sela di Amerika Serikat, 7 November lalu. Meski bukan hal yang baru, pemilihan tersebut membawa impresi tersendiri. Betapa tidak, pagi dan siang hari dilakukan pemilihan, pada malam harinya beberapa kandidat sudah mengucapkan pidato kemenangan atau kekalahan. Seperti yang dilakukan Hillary Clinton, yang kembali menang dalam pemilihan anggota Senat untuk mewakili Negara Bagian New York untuk kedua kalinya. Secara keseluruhan, hasil pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (the House of Representative) sudah diketahui sehari setelah pemilihan dan untuk semua anggota Senat dua hari setelah pemilihan. Rakyat Amerika Serikat hanya butuh waktu dua hari untuk mengetahui konstelasi baru politik pascapemilihan sela 7 November.

Bandingkan dengan negara kita. Pada Pemilihan Umum 2004, pencoblosan dilakukan pada 5 April dan masyarakat baru mengetahui hasilnya sebulan kemudian. Itu pun masih ditambah dengan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, yang mencapai lebih dari 200 kasus dan memakan waktu sebulan lagi untuk penyelesaian seluruh sengketa. Tak hanya itu, waktu ekstra lainnya dibutuhkan untuk menetapkan jumlah kursi partai politik untuk semua daerah pemilihan, yang mencapai seribu lebih, berikut penetapan para calon yang akan mengisi kursi.

Mengapa rakyat Amerika yang berjumlah lebih dari 300 juta jiwa begitu cepat mengetahui hasil pemilu? Hal ini bukan semata-mata karena penggunaan alat penghitungan elektronik--yang ternyata di beberapa tempat rusak dan malah menghambat penghitungan suara--melainkan pada sistem pemilihan yang digunakan. Baik untuk pemilihan anggota DPR maupun Senat, Amerika menggunakan sistem distrik. Penghitungan suara cukup dilakukan di distrik masing-masing, tidak perlu diangkat hingga tingkat nasional, sehingga hasilnya bisa lebih cepat diketahui.

Karena itu, tulisan ini hendak mengusung kembali penerapan sistem distrik untuk pemilihan anggota DPR pada Pemilu 2009, yang sesungguhnya pernah diusulkan dalam rancangan undang-undang inisiatif pemerintah untuk Pemilu 2004. Perdebatan mengenai sistem ini harus segera digelindingkan sebagai bahan penyusunan RUU Pemilu mengingat undang-undang pemilu yang baru seharusnya sudah disahkan agar tersedia cukup untuk persiapan Pemilu 2009.

Peta pro dan kontra

Bisa dibilang, saat ini tidak banyak pihak lagi yang mau mengusung sistem distrik. Bandul sistem pemilu bergerak antara sistem proporsional dengan daftar "setengah terbuka" dan sistem proporsional dengan daftar "terbuka penuh". Dikatakan "setengah terbuka"--yang sesungguhnya bukan istilah teknis dalam kajian mengenai sistem pemilu--karena penentuan wakil terpilih tidak sepenuhnya berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh calon.

Mayoritas partai dan para anggota DPR saat ini lebih memilih sistem pertama, sedangkan komponen society, seperti Pusat Reformasi Pemilu (Cetro), lebih cenderung mengadvokasi sistem kedua. Bagi penulis, untuk konteks Indonesia, sistem proporsional, baik "terbuka sepenuhnya" maupun "setengah terbuka", mengandung banyak kelemahan, baik dari sisi teknis maupun substansial. Secara teknis, sistem ini mengandung banyak kerumitan dalam hal penghitungan suara sehingga dibutuhkan waktu lama untuk sampai pada penetapan suara.

Lamanya penetapan suara telah memotivasi beberapa pihak untuk melakukan kecurangan di berbagai tingkat pemilihan. Bisa jadi satu-dua kursi yang diperoleh para anggota DPR/dewan perwakilan rakyat daerah pada pemilu lalu bukan merupakan hasil pemilu sesungguhnya. Sistem Pemilu 2004 juga telah memakan ongkos yang tidak kecil, terutama dalam hal pengadaan logistik pemilu, termasuk pengadaan penghitungan secara computerized, yang nyatanya mengundang banyak kontroversi.

Secara substansial, sistem pemilu lalu belum mengantarkan wakil rakyat yang credible, accountable, dan memiliki legitimasi. Pernyataan ini menunjuk pada beberapa hasil jajak pendapat yang kerap dimuat di media massa, yang rata-rata masih menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap para anggota DPR. Kelemahan ini bisa dibilang merupakan sesuatu yang melekat (inheren) dalam sistem proporsional. Kerap dikatakan bahwa sistem proporsional menghasilkan wakil rakyat yang tidak dekat dengan konstituennya karena rakyat tidak langsung memilih kandidat.

Kelemahan teknis dan substansial tersebut dapat diatasi bila sistem distrik yang diterapkan. Sistem ini akan memotong secara signifikan rantai penghitungan suara. Hasil akhir sudah akan diketahui di distrik pemilihan masing-masing, sehingga akan segera mengakhiri ketidakpastian politik. Sistem distrik juga akan memangkas secara signifikan ongkos pemilihan, sehingga negara tidak perlu "berdarah-darah" untuk menyediakan anggaran yang besar. Yang lebih penting dari semua itu, sistem distrik akan mengantarkan wakil rakyat yang mengenal dan dikenal konstituennya, sehingga akan menjawab problem akuntabilitas dan kredibilitas yang merupakan penyakit bawaan sistem proporsional.

Secara obyektif penting pula dicatat bahwa bukan berarti sistem distrik tidak memiliki kelemahan. Dari hasil kajian penerapan sistem distrik di belahan bumi lain, kerap dikatakan bahwa sistem ini melemahkan parpol, tidak cocok dalam sistem multipartai, mengantarkan wakil rakyat dengan dukungan minimal karena the winner takes all, tidak menguntungkan kandidat perempuan akibat dominannya budaya patriarki, dan sebagainya.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa tidak ada sebuah sistem pemilu yang sepenuhnya sempurna. Baik sistem proporsional maupun sistem distrik, termasuk gabungan keduanya (mixed system), pasti mengandung kelemahan. Kemanfaatan sebuah sistem sepenuhnya bergantung pada wilayah tempat sistem itu hendak diterapkan. Bisa jadi di sebuah wilayah lebih cocok diterapkan sistem proporsional, tapi di wilayah lainnya lebih sesuai sistem distrik.

Untuk konteks Indonesia, harus betul-betul dilakukan kajian empiris mengenai keuntungan diterapkannya sebuah sistem. Titik berat dari kajian itu haruslah diletakkan pada sistem mana yang lebih mengandung banyak kemanfaatan bagi rakyat. Bila kepentingan rakyat yang menjadi rujukan, saya yakin sepenuhnya sistem distrik layak dipertimbangkan untuk Pemilu 2009.

1 comment:

hadi setiadi said...

semua orang ngomong sistem distrik, tapi sistem distrik itu apa. semuanya tidak bisa menjelaskan secara lengkap. Sepengetahuan saya, di negeri asalnya (USA), sistem distrik digunakan untuk memilih senator, presiden dan wakil presiden. bukan untuk memilih majelis tingkat rendahnya. majelis tingkat rendahnya tetap saja menggunakan sistem proporsional. sistem distrik diselenggarakan secara bertahap dengan tujuan untuk memilih calon wakil rakyat yg berkualitas. jadi kalau sistem distrik dipakai untuk sistem pemilu partai politik, itu pemilunya mau kapan selesainya. sistem distrik hanya cocok digunakan untuk memilih calon anggota DPD, bukan DPR atau DPRD