17 March 2009

Hati Nurani Aceh

Published by Lampung Post, August 2005


Oleh Refly Harun

Dosen Fak. Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul;

Tenaga Ahli MK


“Mau damai saja kok repot.” Seandainya mantan Presiden Abdurrahman Wahid masih berkuasa, mungkin saja akan terlontar pernyataan tersebut pascapenandatanganan perjanjian perdamaian antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus lalu. Bagaimana tidak, setelah sekian upaya panjang untuk mengakhiri konflik panjang di Bumi Aceh, yang kemudian berujung dengan penandatanganan nota kesepahaman RI-GAM, kalangan dalam negeri malah melontarkan kritik pedas atas upaya damai tersebut.

Kritik paling keras dilontarkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mulai menyinggung-nyinggung ancaman impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden SBY-Wapres Jusuf Kalla. Bagi PDIP, nota Helsinki telah jauh melenceng dari konstitusi dan membahayakan integrasi Indonesia. Hal ini paling tidak disampaikan Wakil Ketua Bidang Advoksi DPP PDIP Syarif Bastaman (Bali Post, 21/8).

Dalam catatan PDIP, nota Helsinki telah melabrak sedikitnya tujuh undang-undang, yaitu UU Bank Indonesia, UU Perpajakan, UU Kepabeanan, UU Kejaksaan, UU TNI, UU Kepolisian, UU Partai Politik, dan UU Otsus NAD.

Dalam peta politik Indonesia, sangat bisa dipahami bila PDIP paling keras melontarkan kritik terhadap setiap langkah pemerintah. Selain tidak diikutkan dalam gerbong SBY-Kalla, sehingga punya alasan untuk beroposisi, PDIP juga dikenal dengan ideologi persatuan-kesatuan, NKRI, dan jargon-jargon politik khas warisan kaum nasionalis. Ketika ada arus reformasi konstitusi pascajatuhnya Soeharto, PDIP-lah yang paling keras menolak mengamandemen UUD 1945.

Terlepas dari itu semua, tidak dapat dimungkiri banyak pertanyaan hukum yang harus dijawab pascapenandatanganan nota Helsinki tersebut. Selain menyangkut masalah-masalah materiil, yaitu isi perjanjian, soal-soal formil pun masih relevan untuk dikemukakan. Yang paling krusial adalah bagaimana status hukum nota Helsinki tersebut? Apakah secara serta-merta dapat diterapkan? Seandainya tidak, prosedur apa yang harus dilalui agar ia bisa diterapkan (applicable)? Apakah pemerintah dapat dikatakan melanggar undang-undang atau bahkan konstitusi dengan menandatangani nota Helsinki tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab agar dapat meletakkan masalah tersebut dalam perspektif ketatanegaraan kita.

Menyangkut status hukum nota Helsinki, saya berpendapat bahwa nota tersebut belum dapat dikatakan sebagai sebuah peraturan yang mengikat. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) menyebut peraturan yang ada berturut-turut sebagai berikut: UUD 1945, UU/Perppu, PP, Perpres, dan Perda. Peraturan lain di luar enam jenis peraturan tersebut dapat diakui sepanjang diperintahkan pembentukannya oleh aturan yang lebih tinggi.

Misalnya, keputusan KPU (baca: peraturan KPU), yang dikeluarkan KPU dalam rangka pelaksanaan Pemilu 2004, sah menjadi peraturan karena diperintahkan pembentukannya oleh UU Pemilu (UU Nomor 12/2003) dan UU Pilpres (UU Nomor 23/2003). Tidak salah ketika salah satu keputusan KPU kemudian dimintakan pengujian kepada MA. Sebab, keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai peraturan di bawah undang-undang.

Nota Helsinki belum menjadi peraturan. Wacana untuk memintakan pengujian baik kepada MK maupun kepada MA seperti yang pernah dilontarkan oleh PDIP menjadi tidak tepat. Bila dianggap sebagai perjanjian internasional, nota tersebut harus dimintakan persetujuan kepada DPR pascapenandatanganannya.

Masalahnya, sejak awal ada sikap mendua dari pemerintah dalam memandang upaya perdamaian dengan GAM. Di satu sisi pemerintah menganggap urusan dengan GAM adalah soal dalam negeri. Konsekuensinya, tidak perlu meminta persetujuan (ratifikasi) DPR atas perjanjian perdamaian tersebut. Di sisi lain, perdamaian dilakukan di luar negeri, melibatkan pihak asing sebagai pihak ketiga, bahkan mitra berunding (GAM) diwakili oleh orang-orang yang berkebangsaan bukan Indonesia. Fakta ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya perjanjian tersebut mirip perjanjian internasional.

Saya memandang MoU tersebut harus diperlakukan secara khusus. Ia tidak perlu dimintakan ratifkasi DPR secara keseluruhan seperti layaknya perjanjian internasional, tetapi tidak berarti segala materinya otomatis langsung dapat diterapkan. Ada materi yang langsung dapat diterapkan, seperti pemberian amnesti kepada anggota GAM (tentu terlebih dulu dengan meminta dan memperhatikan pertimbangan dari DPR). Ada pula materi yang harus diatur lebih lanjut dengan perubahan undang-undang, seperti partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.

Materi-materi yang diduga melabrak undang-undang seperti dituduhkan adalah materi yang tidak boleh diterapkan begitu saja, melainkan harus dengan perubahan undang-undang yang dilabrak. Atau dengan membuat undang-undang khusus pemerintahan di Aceh seperti yang juga dimuat dalam nota kesepahaman.

Sistem konstitusi kita jelas menyatakan bahwa perjanjian internasional lainnya yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat [2] UUD 1945). Kendati masih terjadi silang pendapat mengenai eksistensi MoU dengan GAM tersebut, apakah termasuk wilayah perjanjian internasional atau tidak, yang tidak bisa dimungkiri adalah beberapa materi yang terkandung di dalamnya memang menghendaki perubahan undang-undang atau bahkan pembentukan undang-undang baru.

Seandainya pemerintah ngotot ingin menerapkannya seketika tanpa memperhatikan sistem hukum yang ada, barulah ada alasan untuk mengatakan bahwa pemerintahan SBY-Kalla telah melakukan pelanggaran konstitusi. Salah satu materi konstitusi yang potensial dilanggar adalah sumpah jabatan presiden untuk melaksanakan undang-undang dan segala peraturannya.

Nota Helsinki baru dapat dianggap sebagai kehendak baik kedua belah pihak (RI dan GAM) untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Bumi Aceh. Pemerintah RI, terutama, jelas masih terikat dengan sistem ketatanegaraan yang telah diatur UUD 1945 dengan beberapa peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun, nota tersebut harus dipandang sebagai kehendak sungguh-sungguh (prakondisi) untuk mengakhiri konflik di Aceh.

Masalahnya, pemerintah (eksekutif) tidak boleh dan tidak dapat bergerak sendiri-sendiri dalam mengimplementasikan MoU tersebut. Undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, misalnya, yang disebut-sebut dalam MoU akan mulai berlaku selambat-lambatnya pada 31 Maret 2006, hanya bisa diwujudkan bila ada dukungan dari DPR. Sebab, dalam sistem konstitusi kita, DPR-lah yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, bukan pemerintah. Tidak mungkin pemerintah jalan sendiri tanpa keinginan DPR untuk membentuk undang-undang yang dimaksud.

Soal-soal lain yang juga krusial, seperti penggunaan simbol wilayah (bendera, lamang, himne), menetapkan suku bunga tersendiri, dan parpol berbasis di Aceh, jelas tidak bisa diwujudkan sendiri tanpa basis undang-undang yang mendasarinya. Hal ini lagi-lagi memerlukan dukungan dan karya DPR.

Apakah DPR harus menurut saja dengan isi MoU tersebut? Secara teoretis, bisa saja kalangan Dewan tidak menyetujui beberapa materi yang terkandung di dalam MoU ketika akan dimuat dalam undang-undang tertentu. Namun, yang harus disadari, penolakan tersebut akan kembali menghancurkan jalan damai di Aceh. GAM dan rakyat Aceh akan kembali memiliki alasan untuk menyatakan bahwa RI memang tidak bisa dipercaya sehingga perlu angkat senjata lagi.

Jadi, tergantung kita semua, mana yang kita pilih: menegakkan simbol-simbol NKRI –yang mungkin saja hanya simbolistik—atau membiarkan terus rakyat Aceh terlunta-lunta dalam ketidakpastian dan penderitaan konflik. Kedamaian di Aceh memang tidak bisa diukur dari aturan formal yang ada. Harus dengan hati nurani dan rasa empati terhadap penderitaan rakyat Aceh.***

Jakarta, 21 Agustus 2005

No comments: