17 March 2009

Pemilu Bebas Korupsi

Published by Koran Jakarta, September 2008


Refly Harun

Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro),

Pengamat Konstitusi dan Pemilu


Korupsi dan pengadaan barang dam jasa adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama. Di mana ada pengadaan barang dan jasa, di situ ada korupsi. Begitulah yang diyakini banyak pihak. Hampir tidak ada proses pengadaan barang dan jasa yang sepi dari korupsi, mulai dari korupsi kecil-kecilan (soft corruption) sampai yang pada skala gila-gilaan (hard corruption).

Beragam cara dilakukan untuk menghadang fenomena korupsi tersebut. Salah satunya dengan mekanisme tender. Selain diharapkan menghadang fenomena kongkalikong dalam pengadaan barang dan jasa, tender juga diyakini sebagai cara ampuh untuk mendapatkan barang dengan kualitas tertinggi, dengan harga semurah-murahnya. Rekanan dipaksa berkompetisi untuk memberikan penawaran yang terbaik, baik dari segi kualitas barang (spesifikasi) maupun harga. Perpaduan antara barang berkualitas dengan harga murah tentu suatu hal yang paling disukai.

Menghilangkan mekanisme tender dalam pengadaan barang dan jasa dan menggesernya dengan mekanisme penunjukan langsung jelas akan menghilangkan dua keuntungan tender. Begitulah hipotesisnya. Bila Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus menggencarkan wacana penunjukan langsung dalam pengadaan logistik pemilu, penyelenggara pemilu tersebut bisa menjadi sasaran empuk pegiat antikorupsi.

Alasan mendesaknya waktu, suatu hal yang selalu disampaikan, tidak bisa menjadi alas pembenar. KPU seharusnya sudah mampu mengantisipasi jadwal pengadaan logistik. Kendati dana belum turun misalnya, KPU tetap bisa melakukan proses tender sepanjang item logistik tersebut sudah masuk dalam perencanaan KPU. Perencanaan yang baik adalah kata kuncinya. Jajaran kesekretariatan KPU seharusnya tidak punya persoalan dengan hal tersebut karena bukan kali ini saja mereka menyelenggarakan pemilu. Persoalannya, sering KPU tidak fokus. Mereka mengerjakan banyak hal, melayani banyak keinginan, sehingga sering tidak tahu mana yang harus didahulukan.

Hanya Hipotesis

Masalahnya, dua keuntungan tender seperti disebutkan hanyalah sebuah hipotesis, hanya sekadar hitungan di atas kertas. Fakta di lapangan, hampir semua proses tender bermasalah. Bila dilakukan survei kecil-kecilan, bisa jadi 99,9 persen proses pengadaan barang dan jasa di negeri ini, yang dilakukan oleh birokrasi di negeri ini melalui proses tender, tidak bebas dari korupsi.

Audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang kemudian memberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) kepada lembaga atau institusi tertentu, tidak bisa menjelaskan fenomena korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tersebut. Dari sisi prosedur formal bisa saja tidak terjadi korupsi, atau tidak ditemukan penyimpangan penggunaan keuangan, tetapi dari sisi substansi, korupsi nyata terjadi. Yang paling nyata adalah fenomena ‘tendang balik’ (kick back) dari rekanan ke pemberi tender.

Kelaziman yang terjadi, para rekanan pemenang tender akan memberikan persentase tertentu kepada pemberi tender begitu tagihan ke Kas Perbendaharaan Negara (KPN) cair. Angka 10 persen dari nilai tender diyakini sebagai suatu kelaziman yang tidak perlu dinegosiasikan lagi. Para pemenang tender cukup tahu diri untuk ‘menyetor’ angka tersebut bila tida ada negosiasi khusus. Tanpa setoran, jangan harap mendapatkan proyek berikutnya. Kondisi buah simalakama ini terus menjerumuskan rekanan, termasuk rekanan yang berwatak baik.

Bila ada negosiasi khusus, persentase yang harus dibagi kepada pemberi tender jauh lebih besar lagi. Tidak heran bila begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo pernah menyatakan bahwa kebocoron dana pembangunan mencapai bilangan 30 persen. Ketika angka ini dirilis, banyak yang menampik, tetapi sepertinya tidak banyak yang kaget karena begitulah faktanya.

Zero Corruption

Karenanya, persoalan tidak terletak pada tender atau penunjukan langsung, melainkan pada jaminan bahwa pengadaan logistik pemilu akan bebas dari korupsi, mulai dari yang skala kecil-kecilan hingga gila-gilaan. KPU yang baru harus belajar dari KPU Pemilu 1999 dan KPU Pemilu 2004. KPU Pemilu 1999, yang diisi 48 orang wakil parpol peserta pemilu dan lima wakil pemerintah, terjerembab dalam beberapa kasus korupsi. Misalnya, karus korupsi pengadaan bendera parpol yang melibatkan Clara Sitompul, salah seorang anggota KPU yang berasal dari unsur parpol.

Sebagai antitesis dari KPU Pemilu 1999 yang dianggap partisan dan bermasalah dalam pengelolaan keuangan kemudian dihadirkan KPU Pemilu 2004. Bila sebelumnya diisi oleh wakil-wakil parpol, KPU Pemilu 2004 diisi oleh anggota-anggota yang nonpartisan, nonparpol, dan mayoritas berasal dari perguruan tinggi. Namun, soal korupsi ternyata sama saja. KPU yang baru ini pun terjerambab dalam perkara korupsi. Empat dari sembilan anggota KPU harus menginap di hotel prodeo. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu 2004, yang sering disebut sebagai pemilu paling rumit sedunia (the most complicated election in the world), menjadi tertutup karena kasus ini. Ibarat pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari.

Untuk mengantisipasi agar anggota KPU tidak terjerambab lagi dalam perkara korupsi, undang-undang pemilu yang baru (UU Nomor 10 Tahun 2008) membebaskan KPU dari tanggung jawab pengadaan barang dan jasa. Kewajiban tersebut dibebankan kepada Sekretariat Jenderal. KPU hanya menetapkan jenis atau spesifikasi logistik pemilu, soal pengadaan tanggung jawab Sekjen KPU sepenuhnya. Cara ini mungkin saja bisa menghindarkan anggota KPU dari persoalan korupsi, tetapi tetap belum menjamin bahwa pengadaan logistik pemilu bisa bebas dari KKN.

Kembali pada soal penunjukan langsung, sekali lagi masalahnya bukan terletak di sana. Yang perlu diperlihatkan KPU adalah komitmen untuk bebas dari korupsi, baik perilaku anggota KPU maupun jajaran Sekretariat Jenderal KPU. KPU harus mampu merebut kepercayaan publik bahwa mereka mampu menjadi birokrasi yang bebas dari virus KKN. Bila kepercayaan telah direbut, apa pun permohonan KPU, termasuk soal penunjukan langsung, tidak akan menghadapi resistensi publik. ***


Jakarta, 1 September 2008

No comments: