16 March 2009

PDIP Memang Pantas Dikritik (PDIP Should be Criticized)


This article was published by the Indonesian media

Kompas, 24 April 2002


Refly Harun

Mahasiswa Pascasarjana UI,

Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UGM


Ketua PDI-P Roy BB Janis, Wakil Sekjen PDI-P Pramono Anung Wibowo, dan Bendahara PDI-P Noviantika Nasution mengecam keras adanya lembaga-lembaga di Indonesia yang menggunakan dana dari luar negeri untuk mempengaruhi proses amandemen UUD 1945. Menurut mereka, ikut sertanya lembaga-lembaga itu merupakan pelanggaran keras terhadap kedaulatan bangsa Indonesia. Demikian antara lain berita yang dimuat Kompas edisi 17 April lalu ---dan juga media-media cetak lainnya pada hari yang sama.

Lontaran para petinggi PDI-P itu dengan mudah dapat dipahami sebagai “serangan balik” terhadap pihak-pihak yang selama ini mengkritik proses amandemen UUD 1945 oleh MPR di satu pihak dan munculnya gerakan ‘antiamandemen’ di pihak lain. Yang terakhir ini dipelopori tokoh-tokoh senior PDI-P seperti Amin Aryoso dan Abdul Madjid. Mereka yang dituding PDI-P itu kini kembali menggaungkan pentingnya membentuk Komisi Konstitusi untuk menuntaskan proses reformasi konstitusi. Hal ini misalnya disampaikan Koalisi Organisasi Nonpemerintah (Koalisi Ornop) dalam konferensi pers di Jakarta, 15 April lalu.

Sayangnya, ‘serangan balik’ PDI-P itu tidak menyentuh substansi kritik yang selama ini dilontarkan, bahkan cenderung berupaya mengalihkan persoalan. Perdebatan kini tidak lagi pada pentingnya membentuk Komisi Konstitusi karena kegagalan MPR mengawal reformasi konstitusi di satu pihak dan munculnya gerakan ‘antiamandemen’ di pihak lain, melainkan pada dugaan intervensi pihak asing dalam proses politik dalam negeri, suatu tudingan yang kerap digunakan oleh penguasa Orde Baru.

Sebagai partai yang paling banyak mendapat dukungan masyarakat pada Pemilu 1999, PDI-P selama ini bersikap konservatif dalam memandang amandemen UUD 1945. Mereka cenderung menolak amandemen dan menganjurkan reformasi hukum di bawah konstitusi. Sikap itu telah mengundang kritik dari berbagai pihak, karena amandemen UUD 1945 adalah salah satu dari amanat reformasi yang penting. (Setelah Pemilu 1999 PDI-P juga dikritik karena dianggap tidak ingin menghapuskan dwifungsi ABRI (kini TNI) dan tidak ingin mengadili mantan Presiden Soeharto).

Terhadap kritik itu, pada tanggal 29 Juli 1999, bertempat di kediamannya di Jalan Kebagusan, Jakarta Selatan, Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik. Dalam pidato itu Megawati menjawab berbagai kritikan yang dialamatkan baik kepada dirinya maupun kepada PDIP.

Khusus mengenai amandemen UUD 1945, Megawati pada intinya menyampaikan dua hal. Pertama, menyangkut Pembukaan UUD 1945 tidak ada tawar menawar lagi. PDIP berketetapan tidak akan mengubahnya. Kedua, terhadap tuntutan amandemen di luar pembukaan, kata setuju atau tidak baru akan diberikan setelah diketahui secara jelas pasal-pasal apa saja yang akan diubah, termasuk mengapa dan dengan tujuan apa perubahan itu dilakukan. Dalam kesempatan itu Megawati juga menggarisbawahi kemungkinan tuntutan amandemen itu cukup diakomodasi dalam ketetapan MPR atau dengan melahirkan undang-undang.

Pidato yang banyak ditunggu-tunggu dan disiarkan secara langsung oleh beberapa televisi swasta itu tak urung mengundang kekecewaan. Dalam soal isu amandemen terlihat bahwa PDI-P bersikap pasif, hanya menunggu untutk “menyetujui” atau “tidak menyetujui” usulan amandemen. Padahal, peran yang seharusnya diharapkan dari partai pemenang pemilu itu adalah secara aktif mempelopori amandemen.

Ketika PDI-P akhirnya mengeluarkan kata “setuju” terhadap amandemen UUD 1945, partai ini bersikap setengah hati. Tidak jarang PDI-P justru jadi penghalang bagi proses amandemen. Contohnya sikap PDI-P dalam hal pemilihan presiden langsung dalam Sidang Tahunan MPR 2000. Bersama F-TNI/Polri. PDI-P menolak ide itu. Padahal, mayoritas fraksi, yaitu F-PPP, F-KB, F-PDU, F-PG, F-PBB, F-PDKB, F-Reformasi (tujuh fraksi), setuju dengan pemilihan presiden langsung, sementara dua fraksi lainnya (F-KKI dan F-UG) tidak menentang ataupun mendukung ide itu.

Dalam ST MPR 2000 itu pula F-PDIP menjadi pioner bagi penolakan rancangan amandemen yang dibuat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Dalam Rapat Paripurna MPR dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi MPR terhadap rancangan ketetapan BP MPR, 10 Agustus 2000, melalui juru bicaranya Yosef Umarhadi, F-PDIP berpendapat rancangan perubahan UUD 1945 tidak perlu diputuskan dalam ST MPR 2000 karena masih memerlukan sosialisasi dan pengkajian lebih lanjut (Kompas, 11/8/2000). Karena penolakan F-PDIP-lah ST MPR 2000 akhirnya tidak dapat menyepakati semua pasal yang telah disiapkan PAH I BP MPR, terutama pasal yang terkait dengan wajah ketatanegaraan ke depan seperti pemilihan presiden langsung dan sistem perwakilan bikameral.

Karena desakan kuat dari masyarakat, pada ST MPR 2001, F-PDIP menyetujui pasal tentang pemilihan presiden langsung. Namun, sikap setengah hati itu muncul lagi. Kali ini pemilihan presiden langsung yang disetujui F-PDI-P disertai embel-embel “pemilihan oleh MPR pada putaran kedua”. Pasal tentang pemilihan presiden langsung itu memang bisa disepakati, tapi terbatas pada pemilihan putaran pertama. Kesepakatan tentang pemilihan putaran kedua digantung hingga ST MPR 2002, Agustus nanti.

Kini PDI-P tidak hanya menolak perubahan pasal-pasal tertentu. Elemen-elemen dalam PDI-P meminta proses amandemen UUD 1945 dihentikan karena menilai perubahan yang dilakukan telah kebablasan. Hal ini terutama dikaitkan dengan perubahan Pasal 1 ayat (2) yang dianggap telah meniadakan eksisten MPR. Inilah yang dilakukan oleh Amin Aryoso dkk. dengan Gerakan Nurani Parlemen (GNP). Gerakan ini telah mengumpulkan setidaknya 200 tanda tangan anggota MPR untuk menghalau perubahan UUD 1945 dalam ST MPR 2002.

Roy BB Janis menyatakan bahwa dalam PDI-P kini terjadi dua aliran pendapat dalam menanggapi isu amandemen. Pertama, aliran yang menghendaki amandemen UUD 1945 dihentikan, dengan tokohnya Amin Aryoso. Kedua, yang menghendaki amandemen dilanjutkan, dengan tokohnya Jacob Tobing. Yang terakhir ini adalah Ketua PAH I BP MPR, panitia yang saat ini menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945. Namun, yang perlu dicatat adalah Jacob Tobing bukanlah elemen progresif dalam amandemen UUD 1945. Jacob justru jadi pioner PDI-P dalam menolak perubahan mendasar seperti pemilihan presiden langsung dan sistem perwakilan bikameral.

Jadi, ada kemungkinan PDIP saat ini menjalankan politik dua muka. Di satu sisi seolah-olah mendukung proses amandemen hingga selesai. Tapi, di sisi lain, melalui tangan Amin Aryoso dkk. menggalang dukungan bagi pembatalan proses amandemen. Tidak hanya terbatas pada pembatalan amandemen ketiga yang dinilai ‘kebablasan’, melainkan juga seluruh proses amandemen. Pernyataan para petinggi PDI-P mengenai keterlibatan pihak luar negeri dalam proses amandemen bisa jadi salah satu isu yang dijual untuk tujuan itu.

Kalau benar demikian, PDI-P memang pantas dikritik.***


No comments: