17 March 2009

Perda Syariat (Islam)

Published by Koran Tempo, 04 July 2006

Refly Harun

Staf Ahli Mahkamah Konstitusi dan Mahasiswa Program Human Rights Notre Dame University, AS

Seorang teman akrab yang sudah hampir satu tahun tidak berkomunikasi tiba-tiba saja menelepon, menanyakan bagaimana peraturan daerah (perda) syariat dari perspektif hukum tata negara. Ia juga mengaitkan fenomena perda ini dengan memorandum beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah gerah melihat bermunculannya perda tersebut di seantero Tanah Air, yang tidak lain merupakan buah dari reformasi dan otonomi daerah. Saya ingin menjawab pertanyaan teman itu dalam tulisan berikut ini.

Bicara mengenai perda syariat, pertama-tama harus dilihat dulu format dan content (isi) perda tersebut. Secara format harus dilihat dulu apakah perda dimaksud betul-betul berjudul perda syariat (Islam). Lalu, dari segi isi, betulkah perda tersebut mengandung ketentuan syariat. Jawaban atas soal ini bisa tiga kemungkinan: (1) baik secara format maupun isi, perda tersebut betul-betul merupakan perda syariat; (2) hanya secara format perda tersebut berjudul perda syariat, sedangkan isinya umum-umum saja alias dapat diterima golongan mana pun di negeri ini; dan (3) formatnya tidak syariat, tapi isinya seratus persen ketentuan syariat Islam.

Terhadap perda-perda jenis demikian, tentu ada persoalan, yaitu berpotensi menabrak ketentuan yang lebih tinggi, baik undang-undang maupun undang-undang dasar. Saya katakan berpotensi karena harus dilihat dulu perda dimaksud satu demi satu, kasus per kasus, content by content. Tidak bisa main pukul rata. Bisa jadi suatu ketentuan syariat Islam juga merupakan nilai yang bisa diterima kelompok atau golongan lain sehingga tidak bisa dikatakan diskriminatif.

Sudah menjadi kesepakatan para founding father negara ini bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, bukan pada agama tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945. Kesepakatan ini diteruskan oleh the second founding father ketika merumuskan perubahan UUD 1945 dalam kurun waktu 1999-2002. Mereka sepakat bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah ketentuan yang tidak akan diubah.

Hingga titik ini, daerah mana pun yang memberlakukan perda syariat Islam bisa dipersalahkan. Namun, saya ingin melihat persoalan ini dari sudut pandang demokrasi dan sistem hukum yang ada. Lebih dari 50 tahun lalu, saat pembahasan konstitusi oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Soekarno telah "memprovokasi" tokoh Islam akan jembatan emas yang bernama Indonesia merdeka. Dalam jembatan emas itu, menurut Bung Karno, semua pihak bisa memperjuangkan aspirasinya dalam wadah permusyawaratan dan perwakilan rakyat, termasuk mereka yang ingin nilai-nilai Islam lebih banyak diejawantahkan. Dari perspektif ini, sah-sah saja bila wakil-wakil rakyat di DPRD memperjuangkan pembuatan perda syariat. Bukankah kehendak para anggota DPRD dan pemerintah daerah, dari perspektif demokrasi prosedural, bisa diartikan kehendak masyarakat itu sendiri?

Perda itu sendiri adalah suatu kekuasaan yang dinisbahkan UUD 1945. Konstitusi itu menyatakan bahwa perda dibentuk DPRD bersama pemerintah daerah. Sepanjang DPRD dan pemerintah daerah sepakat atas suatu rancangan perda, rancangan tersebut akan menjadi perda. Sepanjang pengambilan keputusannya dilakukan secara demokratis dan menurut prosedur yang ada, rancangan perda yang kemudian menjadi perda harus dipandang sah, apa pun isinya.

Namun, yang perlu digarisbawahi, nasib perda tidak berhenti ketika DPRD dan pemerintah daerah mengetuk palu bersama dalam suatu proses politik di daerah. Nasib perda masih akan ditentukan pada proses pengujian bila ada pihak yang berkeberatan, baik pengujian oleh lembaga hukum (Mahkamah Agung) maupun pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri).

Pasal 24-A Perubahan Ketiga UUD 1945 menentukan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (judicial review). Karena perda dengan atau tanpa label syariat masuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti disebut UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tentu saja ia masuk yurisdiksi pengujian oleh MA.

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Departemen Dalam Negeri pun bisa ditafsirkan memiliki kewenangan untuk menguji perda (executive review). Pasal ini menyebutkan pemerintah (Departemen Dalam Negeri) dapat membatalkan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila daerah tidak menerima pembatalan tersebut, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada MA.

Saya pribadi termasuk yang tidak setuju dengan keberadaan Pasal 145 UU Pemerintahan Daerah karena hal ini dapat ditafsirkan sebagai pengambilalihan wewenang MA. Pasal ini potensial dibatalkan Mahkamah Konstitusi bila diajukan pengujian. Sayangnya, hingga saat ini, tidak satu daerah pun (DPRD atau pemerintah daerah) yang mau mengajukan pengujian pasal ini. Padahal, seperti dapat dibaca dari pemberitaan media massa ataupun berdasarkan pengalaman saya ketika berkunjung ke daerah-daerah, banyak yang mengeluh bahwa perda-perda yang telah dihasilkan dibatalkan begitu saja oleh Departemen Dalam Negeri.

Bagi pihak-pihak yang berkeberatan terhadap perda-perda syariat, termasuk anggota DPR, ajukan saja pengujian ke MA. Biarkanlah MA menilai eksistensi perda-perda tersebut apakah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau tidak. Kalau MA menilainya bertentangan, dengan sendirinya perda tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat alias batal.

Dan karena Pasal 145 UU Pemerintahan Daerah masih eksis dan belum dibatalkan, pihak yang berkeberatan terhadap perda-perda syariat tersebut bisa juga meminta pembatalan ke Departemen Dalam Negeri, betapapun hal tersebut secara pribadi tidak saya setujui. Sederhana, kan?

Ah, kalau Abdurrahman Wahid tahu soal ini, pasti ia akan berucap, "Begitu saja kok repot."

No comments: