17 March 2009

‘Ijtihad’ Keadilan MK


Published by Koran Jakarta, December 2008


Oleh Refly Harun

Mantan Staf Ahli MK, Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (CETRO)


Putusan pengadilan seperti biasanya kerap menuai kontroversi. Tak terkecuali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil pilkada Jawa Timur antara pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karwo) dan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) yang dibacakan pada Selasa, 2 Desember lalu. Putusan tersebut keluar dari pakem hukum acara MK sebagaimana diatur dalam Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008).

Dalam Pasal 13 ayat (3) PMK 15/2008 disebutkan bahwa putusan MK mengarah pada tiga kemungkinan. Pertama, permohonan tidak dapat diterima apabila pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat, antara lain syarat mengenai bakal terpilihnya pemohon bila permohonannya dikabulkan. Kedua, permohonan dikabulkan apabila permohonan beralasan. Ketiga, permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.

Ternyata, putusan MK di luar ketiga kemungkinan tersebut. Dalam putusannya MK memerintahkan pemungutan suara ulang di dua tempat (Bangkalan dan Sampang) dan penghitungan suara ulang di satu tempat (Pamekasan). Alasan MK, sebagaimana dapat disimak dalam putusannya, ”Pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif yang terjadi di daerah pemilihan Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Pamekasan yang bertentangan dengan konstitusi khususnya pelaksanaan Pemilukada secara demokratis, terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga oleh karenanya Pasangan Calon yang terbukti melakukan pelanggaran tidak boleh diuntungkan oleh pelanggarannya, dan sebaliknya Pasangan Calon lainnya tidak boleh dirugikan.”

Dengan mengucapkan putusan model demikian, MK telah bergerak dari perspektif keadilan formil ke keadilan materiil dalam sengketa hasil pemilu, termasuk pilkada. Sebelumnya, saat prosesi sengketa hasil Pemilu 2004 lalu, MK memutuskan berdasarkan bukti-bukti formil berupa sertifikat penghitungan suara/sertifikat rekapitulasi penghitungan suara dan berita acara penghitungan suara/berita acara rekapitulasi penghitungan suara. Beban pembuktian berada di tangan pemohon. Bila pemohon tidak dapat membuktikan klaim bahwa KPU/KPUD telah melakukan kesalahan dalam penghitungan suara berdasarkan bukti-bukti formil, permohonan akan ditolak. Dengan sedikit plesetan, sering dikatakan bahwa yang dibutuhkan dalam sengketa hasil pemilu di MK bukanlah ”ahlul hukum” melainkan ”ahlul hisab” (hitung) karena faktanya yang dibutuhkan memang hanya hitung-hitungan, bukan dalil-dalil hukum.

Dalam sengketa hasil pilkada Jatim, pemohon (Kaji) sebenarnya tidak dapat membuktikan secara formil adanya kesalahan penghitungan suara yang apabila dibenarkan akan memenangkan mereka, yaitu sebanyak lebih dari 60.223 suara. Namun, MK tidak berhenti di sini karena menilai telah terjadi pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif di Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan. Putusannya pun bukan tidak dapat diterima, dikabulkan, atau ditolak sebagaimana diatur dalam hukum cara MK, melainkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.

Putusan ini segera mengingatkan publik pada sengketa hasil pilkada di Sulsel yang amar putusannya juga memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa tempat. Yang membedakan, MA telah keliru menyebut ”pemungutan suara ulang” menjadi ”pilkada ulang”. Dua istilah ini jelas berbeda. Pemungutan suara hanyalah satu tahap dari rangkaian tahapan pilkada, yang dimulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pelantikan pasangan calon terpilih, yang tidak lain adalah pilkada itu sendiri. Secara teoretis tidak mungkin diadakan pilkada ulang karena tahapan pilkada belum selesai. Undang-undang sendiri memang tidak mengenal adanya instrumen pilkada ulang. Tidak heran bila KPUD Sulsel menolak perintah MA untuk mengadakan pilkada ulang dan lebih memilih untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) yang akhirnya dikabulkan.

Perbedaan lain adalah ’aroma’ putusan. Putusan MA terlalu beraroma ”ada udang di balik batu”, tetapi tidak demikian halnya terhadap putusan MK. Paling tidak dari pemberitaan media, kendati ada pro dan kontra, publik dan pemerintah masih dapat menerima putusan MK. Bagi saya, terlepas dari putusan tersebut menyalahi pakem hukum formil, sepanjang dicapai dengan ijtihad mencari keadilan dan kebenaran materiil, publik mungkin masih dapat memahaminya. Hakim tidak boleh dan memang tidak seharusnya sekadar menjadi corong undang-undang. Hakim harus berani menggali kebenaran-kebenaran yang mungkin belum terungkap di atas secarik kertas bernama undang-undang atau peraturan.

Kendati demikian, tetap saja ada catatan kekhawatiran terhadap putusan MK. Bisa saja putusan ini akan menjadi triger bagi pilkada-pilkada daerah lain. Akan semakin banyak pecundang pilkada yang akan bersengketa di MK. Bila diterapkan pada kemungkinan sengketa hasil Pemilu 2009 nantinya, saya membayangkan MK akan banjir perkara. Bila dalam Pemilu 2004, MK ketiban 273 perkara yang harus diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari kerja (kurang lebih 40 hari), pada Pemilu 2009 jumlah itu bisa berkali-kali lipat. Terlebih, dalam Pemilu 2009 diterapkan perolehan minimum 30 persen bagi calon yang akan duduk di kursi parlemen, sementara beberapa parpol secara internal menerapkan perolehan suara terbanyak. Sengketa tidak akan hanya terjadi antarparpol, melainkan antarcalon dalam satu parpol.

Bila mengikuti logika hukum formil MK sebagaimana digariskan dalam PMK Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, MK hanya akan menerima permohonan dari pimpinan parpol. Suara yang dimohonkan pun harus signifikan mempengaruhi pertambahan kursi parpol. Itu artinya MK hanya akan bergerak pada keadilan dan kebenaran formil. Pilihan ini sangat logis mengingat MK dibatasi dalam memutuskan sengketa pemilu yang mungkin mencapai ratusan hingga ribuan kasus tersebut selama 30 hari kerja. Demi kepastian dan terbatasnya waktu, bila pemohon tidak mampu membuktikan, permohonan akan ditolak.

Dengan preseden putusan sengketa hasil pilkada Jatim, MK telah membuka diri terhadap kebenaran materiil dalam sengketa hasil pemilu. Persoalannya, dengan keterbatasan waktu dan banyaknya perkara yang mungkin ada, mampukah MK bersandar pada kebenaran materiil sebagaimana dalam putusan Kaji. Saya khawatir MK akan pragmatis dalam hal ini. Sepanjang eskalasi atau tensi suatu kasus tidak tinggi, MK kembali akan berlindung di balik jubah kebenaran formil.

Pintu kebenaran materiil sudah dibuka dalam sengketa hasil pemilu melalui putusan pilkada Jatim. Seyogianya pintu tidak ditutup kembali oleh lembaga pengawal konstitusi itu.***

No comments: