17 March 2009

Hari “H” Sengketa Hasil Pemilu

Published by Kompas, 14 April 2004


Oleh Refly Harun

Asisten Hakim Konstitusi,

Anggota Tim Penyelesain Perselisihan Hasil Pemilu Mahkamah Konstitusi


ADA pertanyaan krusial dalam rapat hakim konstitusi dan Tim Asistensi Penyelesaian Perselihan Hasil Pemilu yang saya hadiri baru-baru ini di kantor Mahkamah Konstitusi (MK). Yaitu, kapan patokan waktu 3 x 24 jam untuk mengajukan sengketa hasil pemilu. Secara normatif, UU MK (UU Nomor 24 Tahun 2003) menyatakan waktu itu dihitung sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.

Dalam Keputusan KPU Nomor 636 Tahun 2003 dinyatakan bahwa penetapan dan pengumuman hasil pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional antara 21-28 April. Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti menyatakan penghitungan hasil pemilu diharapkan selesai pada 25 April dan diumumkan pada 28 April (Kompas, 10/04/04). UU Pemilu sendiri menyatakan pengumuman hasil pemilu paling lambat 30 hari setelah hari pemungutan suara.

Persoalannya, apa yang akan diumumkan KPU pada 28 April itu. Apakah perolehan partai secara nasional untuk pemilihan DPR, ditambah perolehan per provinsi dan kabupaten/kota. Bila demikian, hal itu tidak bermakna apa-apa bagi penyelesaian sengketa hasil pemilu. Sebab, UU MK menyatakan yang bisa diajukan adalah hasil pemilu yang mempengaruhi terpilihnya anggota DPD dan perolehan kursi parpol.

Tidak ada persoalan dengan pengumuman suara calon anggota DPD. Mereka yang diumumkan menduduki posisi 1-4 otomatis terpilih sebagai anggota DPD, dan yang di peringkat 5-8 menjadi calon pengganti. Tetapi, untuk pengumuman perolehan suara parpol, bila yang ditetapkan hanya suara nasional, per provinsi, dan per kabupaten/kota, hal itu tidak menggambarkan konstelasi perolehan kursi. Pemohon tidak memiliki alas yuridis yang kuat untuk mempersoalkan hasil pemilu yang mempengaruhi perolehan kursi. Perolehan kursi hanya bisa tergambarkan seandainya yang diumumkan suara per daerah pemilihan. Dari sini bisa dihitung berapa harga satu kursi, dengan rumusan suara sah per daerah pemilihan dibagi alokasi kursi (antara 6-12 kursi).

Akankah yang bakal ditetapkan suara per daerah pemilihan? Jawabnya, bisa ya bisa tidak. Sebab, dalam Keputusan KPU Nomor 636 itu juga disebutkan jadwal lain untuk penentuan jumlah kursi. Untuk DPR dijadwalkan pada 29-30 April, DPRD kabupaten/kota pada 3-4 Mei, dan DPRD provinsi 5-6 Mei. Basis penentuan jumlah kursi masing-masing parpol ini tentu saja suara per daerah pemilihan yang berjumlah 2.023 buah.

Melihat fenomena penetapan kursi yang tanggalnya berbeda-beda ini muncul pula pemikiran di MK untuk menggeser hari “H” pengumuman hasil pemilu ke tanggal-tanggal di atas. Nantinya, patokan waktu 3 x 24 jam untuk mengajukan permohonan berbeda-beda. Untuk DPD, hari “H” dimulai saat pengumuman hasil penghitungan suara pada 28 April. Untuk DPR mengikuti waktu penentuan kursi pada 29-30 April. Demikian pula untuk DPR provinsi (5-6 Mei) dan DPR kabupaten/kota (3-4 Mei).

Cara ini memudahkan MK karena waktu pengajuan permohonan tidak sekaligus. Sekadar gambaran, di Kompas saya memprediksi sengketa hasil pemilu dapat berjumlah 2.055 bila di setiap daerah pemilihan muncul satu saja perkara---2.055 adalah jumlah seluruh daerah pemilihan, terdiri atas 69 DPR, 32 DPD, 210 DPRD provinsi, dan 1.744 DPRD kabupaten/kota. (Refly Harun, “Menghindari Skenario Terburuk Sengketa Pemilu“, Kompas, 30/3/04).

Cara ini juga akan memudahkan calon pemohon untuk mengetahui dan menyadari bahwa pengumuman penetapan hasil pemilu oleh KPU berpotensi merugikan mereka. Tetapi hal ini berpotensi melabrak ketentuan UU MK yang menyatakan bahwa patokan 3 x 24 jam adalah sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional. Ketentuan ini mengesankan hanya ada satu tanggal sebagai patokan waktu 3 x 24 jam.

Saya khawatir, untuk memenuhi asas pengumuman hasil pemilu paling lambat 30 hari sejak pencoblosan, KPU hanya mengumumkan perolehan suara nasional, per provinsi, dan per kabupaten/kota, belum termasuk perolehan suara per daerah pemilihan. MK akan kesulitan menerapkan ketentuan undang-undang soal patokan waktu 3 x 24 jam bila yang ditetapkan hanya penghitungan suara nasional, per provinsi, dan per kabupaten/kota karena pemohon tidak memperoleh gambaran suara yang berharga bagi sebuah kursi. Padahal, UU MK membebani pemohon (dalam hal ini parpol) untuk menyampaikan perhitungan yang benar menurut versi mereka, yang bakal mempengaruhi perolehan kursi. Bila suara yang dipersoalkan diprediksi tidak mempengaruhi jumlah kursi parpol, permohonan bakal dinyatakan tidak dapat diterima.

Masalah berikutnya yang menghadang adalah soal diseminasi informasi setelah hasil pemilu diumumkan. Intinya, bagaimana para caleg dan parpol dari Sabang hingga Merauke mengetahui penghitungan suara yang diumumkan KPU agar mereka memperoleh informasi yang cukup sebelum tenggat 3 x 24 jam itu terlewati. Sekadar pengumuman oral melalui televisi nasional tentu sangat tidak memadai. Begitu pun kalau sekadar diumumkan melalui internet karena tidak semua caleg dan parpol (di daerah) dapat mengakses internet.

Kesimpulannya, menghadapi problem hari “H” sengketa hasil pemilu itu, ada beberapa hal yang mesti dilakukan KPU. Pertama, dalam penetapan dan pengumuman hasil perolehan suara masing-masing partai politik, KPU harus menyertakan suara per daerah pemilihan yang berjumlah 2.023, plus 32 daerah pemilihan DPD. Bila perlu sekaligus dengan penentuan jumlah kursi bagi masing-masing parpol. Pengumuman perkembangan perolehan suara yang diberitakan mulai 5 April lalu, yang hanya memberitahukan suara nasional dan suara per provinsi (itu pun hanya untuk pemilihan anggota DPR), sangat misleading karena tidak menggambarkan peta perolehan kursi.

Untuk itu, KPU harus memanfaatkan waktu maksimal dalam Keputusan KPU Nomor 636, yaitu 28 April. Bila dirasakan masih kurang, KPU dapat memanfaatkan waktu maksimal yang diberikan undang-undang, yaitu 30 hari. Artinya, pengumuman baru akan dilakukan pada 5 Mei, dengan terlebih dulu KPU merevisi Keputusan KPU Nomor 636, yang sebenarnya juga merupakan revisi Keputusan KPU Nomor 100 Tahun 2003.

Kedua, KPU sudah harus mempertimbangkan penyebaran informasi mengenai perolehan suara per daerah pemilihan melalui media-media cetak terpilih yang dapat menjangkau 32 provinsi dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Begitu KPU mengumumkan hasil penghitungan suara pada hari “H“, pada hari itu pula koran-koran sudah mencetak pengumuman hasil pemilu yang memuat perolehan suara di seluruh daerah pemilihan. Memang, hal ini akan mengurangi kadar kejutan pengumuman KPU karena sudah diketahui sebelumnya di media cetak. Namun, hal ini lebih baik agar calon-calon pemohon sengketa hasil pemilu tidak kehilangan waktu untuk memenuhi azas waktu 3 x 24 jam dalam menyampaikan permohonan ke MK. Jangan sampai calon anggota DPD dan parpol baru menyadari telah terjadi kekeliruan penghitungan suara ketika tenggat 3 x 24 jam itu terlewati.

Semoga yang saya sarankan sudah dipikirkan KPU. Kalau belum, KPU harus memikirkannya dari sekarang. Jangan sampai nantinya MK menjadi ’tempat pembuangan sampah’ karena kelalaian KPU dalam soal penetapan dan pengumuman hasil penghitungan suara ini.***

No comments: