17 March 2009

Institusionalisasi Debat Capres

Published by Media Indonesia, 2007


By Refly Harun

Pengamat Konstitusi dan Pemilu


Sebelum pemilihan pendahuluan (primary) digelar pada Januari lalu, popularitas Barack Obama masih di bawah Hillary Clinton. Seiring dengan kampanye dari satu tempat ke tempat lain, dari satu debat ke debat yang lain, popularitas mantan ”anak Menteng” itu melesat deras. Alhasil, pada Juni 2008, Hillary menyatakan mundur dari nominasi dan Obama pun memenangkan tiket persaingan ke Gedung Putih melalui Partai Demokrat pada pemilu November nanti.

Kemenangan Obama tak pelak karena kampanye yang dilakukan dan kemampuan debat sang calon. Dari segi strategi kampanye, Obama seakan terus-menerus membiarkan dirinya menjadi sasaran kritik kubu Hillary. Perputaran isu kampanye hanya di sekitar pribadi Obama, mulai dari rasnya yang hitam, pengalaman politiknya yang hijau, dan masih banyak lagi. Obama seolah menikmati serangan kubu Hillary dan menggunakannya sebagai senjata untuk memukul balik. Hal ini persis seperti yang dilakukan Bill Clinton ketika menghadapi serangan-serangan pribadi George Bush (senior) dalam debat capres untuk Pemilu 1992.

Melalui debat antara dirinya dan Hillary di berbagai tempat, Obama menunjukkan kematangan dirinya sebagai calon presiden. Malah Hillary yang terlihat lebih emosional ketimbang Obama. Tak salah bila dedengkot talkshow macam Oprah Winfrey sangat memuji Obama. ”Saya mendukung Obama bukan karena dia berkulit hitam, tetapi karena dia brilian,” kata Winfrey di jaringan TV kabel CNN.

Kampanye dan debat capres telah menggugah rasionalitas masyarakat AS. Ada waktu yang cukup bagi rakyat AS untuk menilai kemampuan sang calon. Kendati pemilu baru akan digelar pada bulan November nanti, kampanye untuk nominasi sudah dilakukan sejak Januari. Waktu itu cukup untuk menilai kemampuan dan kelayakan sang calon agar tidak terjebak pada ungkapan klasik “membeli kucing dalam karung”. Terlebih track record sang calon pun tersaji lengkap dan sering dibeberkan media. Di AS tidak haram melakukan negative campaign sepanjang sumbernya jelas. Beberapa calon presiden pernah jatuh karena negative campaign ini, misalnya karena skandal cintanya dibeberkan ke publik oleh lawan politik.

RUU Pilpres

Sayangnya, debat capres tidak menjadi menu utama dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) yang sedang dibahas DPR. Debat publik/debat terbuka antarcalon atau pasangan calon hanya menjadi salah satu dari delapan metode kampanye. “Kampanye pilpres dapat dilaksanakan melalui (antara lain) debat publik/debat terbuka antarcalon atau pasangan calon,” begitu sebagian bunyi Pasal 54 RUU Pilpres.

Dengan konstruksi pasal yang demikian, dilaksanakan atau tidaknya debat capres sangat bergantung pada sang calon sendiri. Tidak ada kewajiban bagi calon untuk datang pada debat capres yang digelar. Celakanya, dalam alam pikiran capres saat ini, tidak semuanya menganggap debat publik penting. Bahkan, ada parpol atau capres yang belum-belum sudah menolak adanya debat capres.

Konstruksi pasal tersebut karenanya harus diubah. Debat capres harus dimasukkan sebagai kewajiban dari sang calon untuk menghadirinya dan tugas bagi penyelenggara pemilu untuk menggelarnya. Capres yang tidak datang dalam debat capres tanpa alasan yang sah harus diberi hukuman administratif berupa larangan melakukan kampanye untuk beberapa hari, atau sanksi-sanksi lain yang rasional dan berefek jera.

Ada empat alasan mengapa debat capres perlu dilakukan. Pertama, debat capres sebagai sarana balancing of power. Rakyat tidak boleh dibiarkan memilih capres hanya karena kandidat tersebut berlimpah sumber daya finansial, melainkan karena memang kandidat tersebut pantas dipilih. Tanpa institusionalisasi debat capres yang dibiayai negara maka hanya kandidat tertentu yang mampu membeli media, baik cetak maupun elektronik, untuk mengampanyekan dirinya. Kandidat lain, yang bisa jadi paling potensial, harus gigit jari karena sokongan dana kampanye mereka terbatas.

Kedua, debat capres sebagai sarana pendidikan politik rakyat. Selama musim kampanye pada pemilu-pemilu yang lalu, masyarakat hanya disuguhi tontotan-tontonan yang tidak mendidik, seperti gelaran panggung-panggung hiburan. Penyampaian materi kampanye berupa visi, misi, dan program pasangan calon hanya disampaikan sekilas. Dengan debat capres, diharapkan tontotan-tontotan yang tidak mendidik tersebut bisa dikurangi. Kampanye bergeser ke ruang kaca televisi yang bisa ditonton puluhan juta rakyat.

Ketiga, debat capres sebagai sarana mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat. Musim kampanye yang panjang yang mulai dikenalkan untuk Pemilu 2009 sering memunculkan instabilitas kamtibmas yang terus-menerus. Institusionalisasi debat capres diharapkan mengurangi frekuensi kampanye luar ruang dan menggesernya ke kampanye di televisi, salah satunya melalui debat capres, yang pada gilirannya akan menolong kondisi kamtibmas.

Keempat, debat capres sebagai sarana efektivitas dan efisiensi kampanye dan dana kampanye. Kampanye luar ruang bisa jadi akan menggerogoti dana kampanye sang calon, sementara efektivitasnya masih diragukan. Namun, terus-menerus berkampanye di media elektronik dengan durasi yang panjang tidak mudah dilakukan karena akan sangat mahal. Debat capres akan menambal kelemahan ini karena siaran debat bisa jadi disiarkan dengan waktu yang jauh lebih lama ketimbang siaran iklan. Keempat hal tersebut bisa dibundel dalam satu tema, yaitu meningkatkan kualitas pilpres.

Terkait institusionalisasi debat capres, UU Pilpres harus mengatur setidaknya lima hal, yaitu penyelenggara debat, biaya, frekuensi, kewajiban kandidat untuk menghadiri, dan sanksi.

Terkait dengan penyelenggara, tidak hanya KPU, KPU provinsi pun sebaiknya diberikan tugas menyelenggarakan debat. Hal ini terkait dengan frekuensi. Debat seyogianya tidak hanya berlangsung di pusat, tetapi juga di ibukota provinsi. Idealnya, bila mungkin, debat dilakukan sebanyak 33 kali di 33 ibukota provinsi.

Capres wajib hadir dalam debat yang dilaksanakan penyelenggara pemilu dan tidak boleh diwakilkan. Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah harus berbuah sanksi, misalnya kandidat tersebut dilarang kampanye di tempat di mana debat diselenggarakan. Bisa juga dipikirkan sanksi-sanksi lain yang membuat institusionalisasi debat jadi bergigi.

Terakhir, penyelenggaraan debat capres harus dibebankan kepada negara, bukan kandidat. Dalam hal ini negara bertanggung jawab terhadap tempat (venue) debat dan siaran televisi debat. UU Pilpres dapat mengatur bahwa debat tersebut wajib disiarkan TVRI dan RRI sebagai televisi dan radio publik. TV dan radio swasta tetap diperbolehkan menyiarkan debat tersebut, tetapi negara tidak berkewajiban untuk membayar jam siar.

Memang terlalu jauh membandingkan budaya AS dan apa yang terjadi di sini. Namun, soal rasionalitas masyarakat, di mana pun rasanya sama. Rakyat mendambakan pemimpin yang memiliki visi, misi, dan program yang jelas untuk membangkitkan bangsa ini dari segala keterpurukan. Rakyat tidak ingin dan tidak seharusnya membeli kucing dalam karung. Debat yang diinstitusionalisasi adalah sarana yang layak dipikirkan untuk tujuan tersebut. ***


KETERANGAN PENULIS

N a m a : Refly Harun, S.H., M.H., LL.M

Tempat/Tgl Lahir : Palembang, 26 Januari 1970

Pendidikan : - SH dari Universitas Gadjah Mada (1995);

- MH dari Universitas Indonesia (2002);

- LL.M dari University of Notre Dame, AS (2007).

Pekerjaan : - Independent Legal Consultant and Trainer

- Legal Adviser untuk KPU (kontrak dengan Partnership

for Governance Reform (sekarang);

- Staf Ahli DPD (sekarang);

- Staf Ahli MK (2003-2007).

No comments: