17 March 2009

Mengawal Presiden Pilihan Rakyat

Koran Tempo, 1 Juni 2004

Refly Harun

· Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

Sungguh menyakitkan bila pasangan presiden dan wakil presiden yang kelak terpilih dalam Pemilu 5 Juli nanti tidak ditentukan oleh suara rakyat, melainkan suara panitia penghitungan suara. Sinyalemen ini cukup beralasan setidaknya dengan tiga alasan. Pertama, sejarah kita dari pemilu ke pemilu adalah catatan tentang kecurangan, terutama pemilu pada era Orde Baru. Dua pemilu di era reformasi (1999 dan 2004), kendati dinilai relatif jujur dan adil, tidak juga steril dari kecurangan.

Kedua, dari enam pasang capres/cawapres yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei lalu, satu-dua pasang setidaknya memiliki sumber daya hampir tak terbatas berupa jaringan partai hingga ke pelosok-pelosok desa dan sumber finansial yang juga melimpah. Uang dan jaringan partai adalah sarana efektif untuk mengeruk suara rakyat, baik dengan kejujuran maupun kecurangan. Karena uang dan jaringan, kendati ada calon yang semula tidak masuk kategori "jagoan" dalam jajak pendapat oleh lembaga survei, ia tetap mampu menebarkan ancaman dengan sumber daya yang dimiliki.

Ketiga, dari persidangan-persidangan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi yang saya ikuti, terbukti bahwa praktek curang itu memang ada. Salah satu indikatornya, setidaknya ada 265 sengketa hasil pemilu yang kini harus diselesaikan Mahkamah Konstitusi hingga deadline terakhir pada 22 Juni.

Menyimak persidangan-persidangan sengketa hasil pemilu yang digelar Mahkamah Konstitusi sejak 10 Mei lalu, praktek-praktek penggelembungan suara sebuah partai dan penggembosan partai lain menjadi fenomena biasa. Salah satu modus operandinya adalah dengan "membeli" petugas-petugas penghitungan suara. Tidak heran di antara petugas penghitungan suara itu kerap terjadi saling-silang mengenai hasil pemilu. Hal ini, misalnya, terjadi pada anggota KPU Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dalam sidang akhir Mei lalu. Ketua KPU-nya berdebat kuat dengan empat anggota di hadapan panel hakim Mahkamah Konstitusi soal suara sebuah partai.

Sang ketua, sambil bersumpah atas nama Yang Mahakuasa, menyatakan, suara sebuah partai--yang tidak etis kalau disebutkan--telah digelembungkan. Testimoninya disokong oleh saksi-saksi partai lain yang mengaku hadir dalam rapat pleno penghitungan suara untuk Kabupaten Sintang. Tetapi, empat anggotanya menyanggah keras. Mereka menyerahkan bukti rekapitulasi suara panitia pemilihan kecamatan (PPK) yang menjadi basis penghitungan di KPU Kabupaten Sintang. Sang ketua tetap bersikukuh, menyatakan bahwa suara PPK itu pun telah direkayasa sebelumnya. "Demi Allah saya tidak pernah memimpin rapat dengan hasil seperti itu," katanya menunjuk hasil penghitungan suara versi empat anggota.

Rawan penghitungan suara yang berujung pada "pembelian" petugas penghitung suara umumnya terjadi karena beberapa sebab, antara lain partai-partai peserta pemilu tidak mengawal penghitungan suara mulai dari tempat pemungutan suara (TPS). Kalaupun mengirim saksi, sering saksi yang dikirim partai tidak cukup profesional. Mereka tidak mengikuti proses penghitungan hingga akhir, atau tidak tahu bagaimana menghitung perolehan suara partai secara benar.

Saksi parpol juga kerap tidak tahu atau bahkan tidak peduli bahwa hasil akhir dari kesaksian adalah membawa pulang salinan berita acara dan salinan sertifikat penghitungan suara. Dua dokumen inilah yang dapat menjadi basis penghitungan partai, juga dokumen untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi bila terjadi kecurangan penghitungan suara. Kendati demikian, bisa dibilang kecil sekali peluang merekayasa perolehan suara partai di tingkat TPS karena penghitungan disaksikan masyarakat yang hadir. (Dalam beberapa kasus, kecurangan mungkin saja terjadi karena penghitungan suara dilakukan sampai malam hari ketika saksi partai sudah raib dan masyarakat sudah pulang ke rumah masing-masing).

Potensi kerawanan terjadi ketika hasil di TPS direkap di PPS, PPK, dan seterusnya. Partai yang tidak memiliki jejak di TPS niscaya terancam dicurangi. Upaya untuk mendapatkan data TPS sebagai basis penghitungan di tingkat lanjut kerap terganjal prosedur bahwa data itu seharusnya sudah diperoleh saat penghitungan suara di TPS, alias pada hari pelaksanaan pemilu. Dan tidak mudah mendapatkan data dari KPU di daerah. Begitu setidaknya dalih yang selalu disuarakan pemohon sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Pertanyaan krusialnya, apakah hasil Pemilu 2004 yang diumumkan KPU pada 5 Mei lalu betul-betul didasarkan pada preferensi pemilih? Ketimbang menduga-duga hal yang sudah ditetapkan dan Mahkamah Konstitusi sendiri hanya akan melakukan koreksi sporadis dalam hal gugatan sengketa hasil pemilu dikabulkan, lebih baik kiranya berpikir ke depan, yaitu bagaimana menjaga hasil pemilu pemilihan presiden 5 Juli nanti. Kita menginginkan bahwa hasil pemilu pemilihan presiden yang diumumkan betul-betul mencerminkan pemberian suara yang dilakukan pemilih yang kini sudah berjumlah lebih dari 150 juta orang.

Dalam perspektif inilah saya ingin menintatebalkan kebijakan baru KPU dalam hal penghitungan suara. Dalam konferensi pers di Media Center KPU, 21 Mei lalu, Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti menegaskan, salinan hasil rekapitulasi penghitungan suara harus ditempel di tempat umum setelah berita acara ditandatangani. KPU juga mensyaratkan (1) lampiran berita acara harus ditandatangani saksi (dalam pemilu legislatif hanya berita acara yang ditandatangani), (2) formulir dilengkapi dengan kop KPU, dan (3) surat suara yang tidak terpakai diberi tanda silang dengan spidol untuk mencegah tuduhan surat suara yang tidak terpakai dicoblos (Siaran Pers KPU, Jumat, 21/5/2004).

"Hal ini dimaksudkan agar KPU dan aparat di bawahnya, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, hingga KPU provinsi dapat melindungi hasil pilihan rakyat agar bukan pihak lain yang menentukan hasil pemilu," demikian antara lain bunyi siaran pers KPU.

Komitmen KPU ini antara lain diulangi ketika terjadi pertemuan di kantor Mahkamah Konstitusi yang dihadiri hakim-hakim konstitusi, calon presiden beserta tim kampanyenya, dan pihak KPU pada 29 Mei lalu. Ramlan Surbakti menegaskan lagi soal kewajiban menempelkan hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara di papan-papan pengumuman publik.

Pengalaman adalah guru terbaik, kiranya inilah yang diterjemahkan KPU dalam kebijakan barunya khusus untuk pemilihan presiden. Dengan kewajiban menempelkan hasil penghitungan suara di setiap tingkat penghitungan suara, masyarakat juga dapat mengakses dan mengawal hasil pemilu, tidak hanya partai. Penghitungan suara dapat digeser dari wilayah abu-abu ke daerah terang-transparan. Masyarakat dan pihak yang dicurangi secara mudah dapat mempersoalkan bila terjadi kecurangan.

Apalagi KPU juga sudah mengancam akan mencoret pasangan capres/cawapres yang terbukti melakukan praktek politik uang, baik dilakukan oleh pasangan capres/cawapres yang bersangkutan maupun oleh tim kampanyenya. Kita tahu politik uang adalah ihwal mengapa kecurangan penghitungan suara kerap terjadi. Ihwal mengapa rakyat kerap tidak percaya dengan hasil pemilu. Dengan mesin politik yang besar dan uang tak terbatas yang dimiliki satu-dua pasangan capres/cawapres, bukan mustahil "tradisi" curang dalam pemilu ke pemilu tetap terjadi.

Karena itu, saya sangat menyokong kebijakan transparansi hasil pemilu. Bila diikuti secara konsisten oleh penyelenggara pemilu di tingkat bawah, mudah-mudahan cara itu menjadi fasilitator bagi mimpi bangsa ini untuk menghadirkan presiden dan wakil presiden yang betul-betul pilihan rakyat. Tanpa beli suara. Tanpa politik uang (lagi)

No comments: