17 March 2009

Paradoks Reformasi Konstitusi Indonesia

Published by Media Indonesia, November 2007


Oleh Refly Harun

Analis Hukum Tatanegara, Staf Ahli Mahkamah Konstitusi


Pertama-tama perlu disampaikan bahwa tidak mudah untuk melakukan review terhadap buku yang ditulis oleh Denny Indrayana ini dengan dua alasan. Pertama, saya sangat mengenal baik penulis buku ini, bisa dikatakan sejak yang bersangkutan masih ‘nobody’ hingga telah menjadi ‘somebody’ seperti sekarang. Saya dan Denny berasal dari padepokan ilmu yang sama di jenjang strata S1: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Hingga saat ini pun kami tetap berkomunikasi secara intensif.

Kedua, saya ikut juga ‘cawe-cawe’ dalam proses penyuntingan buku ini, yang berasal dari disertasi Denny di University of Melbourne, Australia, berjudul “Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitutional-Making Process in Transition”. Ketika buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, ada beberapa orang yang terlibat dalam proses penyuntingan versi bahasa Indonesianya. Saya termasuk salah seorang di antaranya. Tidak itu saja, topik disertasi ini pun telah saya ketahui bahkan ketika Denny belum berangkat ke Australia sekitar tahun 2001. Dalam proses penulisan disertasi dalam kurun waktu 2001-2004, Denny sempat dua kali kembali ke Tanah Air dan terlibat aktif dalam advokasi oleh koalisi masyarakat yang bernama Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB) dan saya pun tergabung dalam koalisi tersebut.

Dua hal di atas perlu saya sampaikan untuk dua hal juga. Pertama, kepada khalayak pembaca saya mohon maaf bila review ini jadi kurang objektif karena dipengaruhi kedekatan tersebut. Kedua, kepada Denny, saya mohon maaf juga bila, dalam rangka meyakinkan publik bahwa saya berusaha objektif, review ini menjadi sarat dengan kritik. Yang pasti, apa pun kritik atau masukan yang dilontarkan, hal tersebut pastilah tidak akan mengurangi nilai buku ini. Terlebih sang penulis saat ini telah muncul sebagai salah seorang ahli hukum tatanegara muda yang cukup disegani dan kritikus yang andal terhadap masalah-masalah hukum. Dari komentar-komentar pendek tokoh Republik ini yang termuat dalam buku, baik kalangan tua maupun muda, seperti Jimly Asshiddiqie, Amien Rais, Hidayat Nurwahid, Hatta Radjasa, Adnan Buyung Nasution, Mulya Lubis, Andi Mallarangeng, Sukardi Rinakit, Saldi Isra, Indra J. Piliang, terlihat bahwa sang penulis juga memiliki jaringan pertemanan yang luas dan lintas generasi.

Kurang Partisipatif tapi Demokratis

Buku ini membahas dua topik utama, yaitu proses dan hasil perubahan konstitusi yang yang dilakukan MPR dalam kurun waktu 1999-2002. Seperti telah diketahui, dalam kurun waktu tersebut MPR telah menghasilkan Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002). Denny berkesimpulan bahwa proses perubahan konstitusi yang dilakukan MPR tidak memiliki apa yang umum diterima akademisi konstitusi sebagai faktor-faktor kunci yang semestinya tersedia pada sebuah proses pembuatan konstitusi yang demokratis, yaitu (1) tidak ada rencana yang jelas untuk menentukan pertanyaan kunci, misalnya, kapan dan bagaimana amendemen akan dilakukan, dan akan seperti apa amendemen itu; (2) MPR gagal merebut kepercayaan rakyat dalam kapasitasnya sebagai sebuah lembaga pembuat konstitusi; dan (3) partisipasi publik sangat terbatas dan tidak diorganisasikan dengan baik (h. 46).

Kendati demikian, perubahan yang dilakukan MPR ternyata menghasilkan konstitusi yang lebih demokratis ketimbang versi sebelum amendemen. Paling tidak, hal ini terbukti dari makin jelasnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta perlindungan yang lebih tegas atas hak-hak asasi manusia.

Paradoks ini, yaitu proses tidak demokratis tetapi dengan hasil yang demokratis, bisa terjadi karena euforia periode transisi demokratis. Dalam bahasa Denny, “Satu alasan mengapa Konstitusi baru ini lebih baik adalah karena euforia periode transisi dari kekuasaan Soeharto itu menjadi sebuah setting yang mendorong digelarnya debat-debat konstitusi yang terbuka di MPR dan memungkinkan partisipasi publik dalam perdebatan-perdebatan itu, walaupun terdapat sejumlah kekurangan serius dalam sistem yang digunakan MPR untuk menggalang keterlibatan publik. Liputan media dan advokasi aktif organisasi-organisasi non-pemerintah menjadi semacam sistem kontrol publik yang efektif guna mencegah dipolitisasinya hasil-hasil amandemen secara berlebihan oleh para politisi di MPR.” (h. 391).

Hasil yang demokratis tersebut bukan berarti telah memunculkan konstitusi yang sempurna. Denny mencatat beberapa kelemahan UUD 1945 hasil amendemen dan merekomendasikan sejumlah perubahan. Dalam ranah kekuasaan legislatif, Denny mengusulkan agar DPD diberikan kekuasaan yang lebih besar. Di sisi lain MPR hanya sekadar menjadi forum bersama DPR dan DPD, dan bukan lagi sebuah lembaga yang terpisah. Cara ini, menurutnya, akan memperkuat DPD di satu sisi sekaligus memperkuat sistem checks and balances di sisi lain karena mampu mencegah DPR agar tidak menjadi sebuah lembaga legislatif yang sama sekali tidak terkendali. ”Hanya dengan begitulah ide tentang sebuah sistem bikameral yang efektif bagi bangsa Indonesia dapat tercapai,” tulis Denny (h. 374).

Di ranah kekuasaan ekskeutif diusulkan agar dilakukan lebih jauh pembatasan terhadap hak presiden yang terkait dengan proses pembentukan undang-undang, yaitu dengan memberikan DPR dan DPD hak untuk memveto balik suatu RUU yang tidak disetujui oleh presiden. Selain itu, terkait dengan pemilihan presiden, diusulkan agar UUD 1945 hanya memuat syarat-syarat umum, seperti kewarganegaraan dan usia minimum, tidak lagi memuat syarat ”mampu secara jasmani dan rohani” seperti yang saat ini tercantum dalam UUD 1945. Lebih jauh lagi Denny mengusulkan diperbolehkannya calon-calon presiden independen (yang tidak berasal dari jalur politik) karena hal ini penting untuk memperkuat demokrasi yang partisipatif. Dalam perspektif Denny, sudah saatnya monopoli parpol dalam pengajuan calon presiden diakhiri.

Di ranah kekuasaan yudikatif, Denny menyoroti efektitivitas pengujian undang-undang oleh MK. Menurutnya, putusan MK mengenai pengujian undang-undang yang hanya berlaku ke depan (prosfektif) akan mengurangi efektivitas putusan MK. Ia menyarankan sebaiknya putusan itu berlaku sejak sebuah undang-undang diundangkan. Hal ini harus ditegaskan dalam konstitusi, atau setidaknya dalam undang-undang yang mengatur tentang MK.

Aktual tapi Telanjang

Dengan rasa hormat kepada penulis buku ini, apa yang disimpulkan dan direkomendasikan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Pembicaraan mengenai tidak demokratisnya proses amendemen (dengan hasil yang ternyata cukup demokratis) merupakan menu sehari-hari, tidak saja mereka yang mengamati perubahan UUD 1945 dalam kurun waktu 1999-2002 melainkan pula, bisa jadi, masyarakat kebanyakan. Pemberitaan-pemberitaan media mengenai isu tersebut telah membanjiri ruang publik dalam kurun waktu itu.

Demikian pula dengan rekomendasi mengenai penguatan sistem bikameral Indonesia dan calon presiden independen. Dua isu ini bahkan masih terus mengemuka beberapa bulan terakhir seiring dengan usulan amendemen UUD 1945 dari DPD dan pembahasan RUU Pemilu.

Dengan mengambil tema amendemen UUD 1945, Denny telah menangguk keuntungan, tetapi sekaligus kerugian. Disebut keuntungan karena topik yang diambil sangat aktual dengan bahan tertulis dan narasumber yang melimpah. Bahkan, di tengah-tengah proses pembuatan disertasi ini, penulis ikut ambil bagian dalam gerakan civil society untuk mengadvokasikan sebuah konstitusi baru. Bisa dibilang penulis terlibat luar-dalam dengan topik yang dibahas. Namun, topik yang diambil sebenarnya sebuah tema yang ’setengah telanjang’ atau bahkan ’telanjang’. Topik ini diikuti dan diperdebatkan banyak pihak sehingga bisa dipastikan hampir tidak ada tema yang luput dari pembicaraan. Hingga titik ini bisa dimaafkan bila tidak ada ’hal baru’ yang ditawarkan sang penulis dalam buku ini.

Nilai utama buku ini sebenarnya memang tidak boleh diletakkan dalam kerangka kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan, melainkan pada temuan-temuan lain yang berkaitan dengan proses pembuatan konstitusi yang demokratis dan partisipatif. Diletakkan dalam kerangka itu, sepanjang atau sependek pengetahuan saya, baru Dennylah yang mengungkapkannya secara sistematis, dengan dukungan teori konstitusi yang kaya dan melimpah, untuk konteks reformasi konstitusi 1999-2002. Oleh karena itu, buku ini jadi wajib dibaca oleh mereka yang ingin mengerti lebih banyak tentang teori konstitusi. Dan bila suatu saat gelombang reformasi konstitusi melanda negeri ini lagi –yang sebenarnya diimpikan sang penulis—buku ini dapat menjadi referensi wajib agar konstitusi yang dihasilkan benar-benar menjadi konstitusi rakyat.***

Karawaci, 7 November 2007

No comments: