16 March 2009

MPR Sudah Gagal Mengawal Reformasi Konstitusi (The MPR Has Failed in Saving the Constitutional Reform)

This article was published by the Indonesian media

Sinar Harapan, 10 May 2002


Refly Harun

Mahasiswa Pascasarjana UI Jurusan Hukum Tatanegara


Munculnya kritik terhadap kinerja MPR dalam melakukan amandemen UUD 1945, baik dari kelompok konservatif (antiamandemen) maupun kelompok yang menginginkan pembentukan Komisi Konstitusi, seperti yang terjadi sekarang dapat dipahami. Secara yuridis-formal MPR sebenarnya telah gagal dalam mengawal reformasi konstitusi yang menggema kembali setelah berakhirnya rezim Orde Baru (21 Mei 1998). Kegagalan itu ditandai dengan pelanggaran MPR terhadap ketetapan yang mereka buat sendiri, yaitu Tap MPR Nomor IX/MPR/1999 tentang tentang Penugasan Badan Pekerja MPR-RI untuk Melanjutkan Perubahan UUD 1945.

Ketetapan yang hanya terdiri dari tiga pasal itu secara eksplisit menyatakan bahwa rancangan perubahan UUD 1945 yang dipersiapkan BP MPR harus sudah siap untuk disahkan dalam Sidang Tahun MPR (ST MPR) tanggal 18 Agustus 2000 (Pasal 2). Nyatanya, hingga berakhirnya ST MPR 2000, tidak semua perubahan bisa disepakati. Dengan kewenangan yang ada pada dirinya sendiri, MPR akhirnya memperpanjang masa tugas mereka hingga 2002 melalui Tap MPR Nomor XI/MPR/2000 untuk menggantikan ketetapan sebelumnya.

Pelanggaran oleh MPR itu bisa dikatakan sebagai paradoks reformasi. Di satu sisi, MPR telah 'menghukum' pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden Abdurrahman Wahid) karena dinilai telah melanggar ketetapan MPR, terutama ketetapan tentang pemberantasan KKN. Namun, di sisi lain, ketika pelanggaran ketetapan dilakukan oleh MPR sendiri, tidak ada konsekuensi apa-apa. Bahkan dengan mudahnya Tap yang dilanggar itu dicabut dan digantikan dengan ketetapan baru yang memungkinkan MPR "menghapus" kesalahan yang telah dilakukan.

Selama ini, masalah yang penulis kemukakan kurang disinggung dalam wacana amandemen. Kritik terhadap kinerja MPR dalam mengerjakan proyek reformasi konstitusi biasanya lebih pada substansi perubahan yang telah dihasilkan. Sebagian komponen masyarakat menilai perubahan yang telah dihasilkan ---mulai dari perubahan pertama (1999) hingga kemungkinan perubahan keempat (2002)---telah kebablasan dan melanggar batas-batas prinsip amandemen, yaitu tetap dalam kerangka sistem undang-undang dasar yang diubah (UUD 1945). Tapi, tidak sedikit yang menilai apa yang telah dikerjakan itu tidak tuntas, sepotong-sepotong, dan tidak didasarkan pada paradigma yang jelas. Yang menonjol malah rumusan-rumusan perubahan untuk mewadahi kepentingan politik jangka pendek.

MPR sendiri sepertinya tidak merasa melakukan pelanggaran apa-apa. Itulah sebabnya ketika Nurdiati Akma (Fraksi Reformasi) menyarankan agar para anggota MPR meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena telah gagal menuntaskan pekerjaan yang mereka emban, sama sekali tidak ada tanggapan. Saat itu, dalam sidang terakhir Komisi A, Senin malam, 14 Agustus 2000, sebelum Ketua Sidang Jacob Tobing mengetukkan palu, Nurdiati Akma menyela. "Kita harus meminta maaf karena komisi ini tak mampu menyelesaikan tugas yang diamanatkan," katanya. Permintaan simpatik itu tidak digubris Jacob Tobing, yang juga Ketua Komisi A. Rapat Komisi A pun ditutup tanpa menuntaskan semua pembahasan materi perubahan UUD 1945 yang sebelumnya telah dipersiapkan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.

Kesepakatan bersama

Penetapan tanggal 18 Agustus 2000 sebagai gerbang terakhir reformasi konstitusi bukan datang begitu saja. Baik di masyarakat maupun di kalangan anggota MPR telah muncul semacam imajinasi, bahwa pada tahun 2000 Indonesia akan memiliki "undang-undang dasar baru". Pakar hukum tatanegara seperti Harun Alrasid menyarankan agar undang-undang dasar baru itu dinamai saja UUD 2000.

Pemilihan tahun 2000 sudah tentu karena tahun itu adalah awal milenium baru ---milenium baru sebenarnya baru dimulai pada 1 Januari 2001, namun masyarakat internasional menganggap pergantian milenium itu sudah terjadi begitu datang tahun 2000. Sementara penetapan tanggal 18 Agustus sangat terkait dengan aspek kesejarahan. Pada tanggal itulah, 55 tahun silam, UUD 1945 ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jadi, wajar bila tanggal 18 Agustus 2000 dipilih sebagai awal kelahiran "undang-undang dasar baru" bagi Indonesia.

Soal tanggal 18 Agustus 2000 itu disinggung pada berbagai kesempatan dalam Sidang Umum MPR 1999 yang telah melahirkan Perubahan Pertama UUD 1945. Ketika menyampaikan pemandangan umum pada Rapat Paripurna MPR tanggal 16 Oktober 1999, F-PDIP antara lain menyatakan, "Mengingat bahwa pasal-pasal di dalam UUD 1945 adalah merupakan satu kesatuan yang bulat sejak dari Pembukaan sampai Pasal 1 hingga Pasal 37, maka adalah kurang tepat bila kita melakukan pembahasan secara parsial. Dan oleh karena menyangkut materi yang cukup substansial, maka diusulkan untuk diadakan sebuah panitia kerja yang khusus membahas ini dengan batas waktu terakhir adalah tanggal 18 Agustus tahun 2000."

F-Partai Golkar, yang merupakan fraksi kedua terbesar di MPR, juga menyatakan hal yang sama ketika menyampaikan pemandangan umum atas rantap-rantap yang dihasilkan BP MPR pada tanggal 3 Oktober 1999. "…pokok-pokok materi amandemen lainnya yang telah disepakati Badan Pekerja akan menjadi bahan pembahasan di waktu yang akan datang, yakni setelah SU MPR dengan batas waktu sampai 18 Agustus 2000," kata juru bicara F-Partai Golkar Immanuel E. Blegur.

Dalam laporan Komisi C MPR---komisi yang membahas Perubahan Pertama UUD 1945---pada Rapat Paripurna ke-12 MPR, Selasa, 19 Oktober 1999, terdapat pernyataan sebagai berikut. "Di samping itu, perlu kami laporkan pula bahwa Komisi C Majelis telah menyepakati Rancangan Ketetapan MPR tentang Penugasan Badan Pekerja MPR untuk melanjutkan Perubahan UUD 1945, sebagai dasar hukum bagi Badan Pekerja MPR dalam mempersiapkan Rancangan Perubahan Kedua UUD 1945, yang hasilnya sudah harus siap disahkan dalam Sidang Tahunan Majelis pada tanggal 18 Agustus 2000." Imajinasi para anggota MPR itu kemudian diwujudkan dalam Tap MPR No. IX/MPR/1999 seperti yang telah disinggung di atas.

Kepentingan sesaat

Berlandaskan Tap MPR itulah Panitia Ad Hoc I (PAH I) BP MPR bekerja menyiapkan draf perubahan UUD 1945 secara menyeluruh. Mereka mampu me-review semua pasal dalam UUD 1945, mulai dari Pasal 1 hingga Pasal 37, plus pasal-pasal peralihan dan ayat-ayat aturan tambahan. Namun, draf yang dihasilkan itu jelas tidak dapat menjawab problem utama reformasi konstitusi, yaitu sistem ketatanegaraan apakah yang hendak dibangun dan Indonesia seperti apakah yang hendak dituju di masa depan.

Penyebabnya, antara lain, para anggota PAH I yang mewakili 11 fraksi di MPR sangat diwarnai kepentingan politik dan dengan mudahnya terjebak dalam kepentingan jangka pendek dalam menyiapkan draf perubahan UUD 1945. Dalam soal isu pemilihan presiden, misalnya, fraksi-fraksi di MPR terbelah secara diametral antara yang pro dan kontra pemilihan langsung. Yang pro pemilihan langsung pun tidak mencapai kata sepakat. F-Golkar menginginkan penghitungan suara secara electoral karena mereka masih kuat di daerah non-Jawa yang jumlah penduduknya sedikit. Sementara fraksi-fraksi lain, seperti F-KB dan F-PPP, menginginkan penghitungan secara one man on vote. Penghitungan model demikian ini akan merugikan Golkar, karena di Jawa yang banyak penduduknya, popularitas mereka sudah runtuh. Kursi parlemen yang diperoleh Golkar dalam Pemilu 1999 lebih banyak datang dari luar Jawa. Karena itulah mereka menolak penghitungan secara one man one vote.

PAH I tidak mencapai titik temu justru pada hal-hal yang mendasar, yang menentukan wajah ketatanegaraan masa depan, seperti pemilihan presiden dan sistem perwakilan. Perbedaan itu dibiarkan tanpa pemecahan hingga saatnya mereka mempresentasikan hasil kerja mereka ke forum ST MPR 2000 yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus. Tindakan itu terbukti bukan menyelesaikan persoalan, melainkan sekadar memindahkan persoalan dari forum yang lebih kecil (PAH I) ke forum yang lebih besar (MPR).

Alhasil, ST MPR 2000 yang semula diharapkan bakal menandai era baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, justru menjadi ajang pelanggaran ketetapan MPR, yang ironisnya dilakukan oleh anggota-anggota MPR yang sama. Ibarat lagu, kau yang berjanji kau (juga) yang mengingkari. Pengingkaran terhadap Tap MPR No. IX/MPR/1999 itu berlanjut dengan menggantikannya dengan Tap No. IX/MPR/2000 yang memungkinkan MPR membahas perubahan UUD 1945 hingga 2002.

Namun, ekstensi waktu hingga 2002 itu ternyata juga tidak menyelesaikan persoalan. Yang kini menghadang di depan kita justru kemungkinan terjadinya krisis konstitusi (constituional crisis), yang ditandai dengan munculnya kekuatan konservatif yang bermaksud menghadang perubahan keempat UUD 1945. Karena itu, sangat beralasan bila ada tuntutan agar MPR menyerahkan proyek pembuatan konstitusi itu kepada sebuah Komisi Konstitusi independen. ***

No comments: