17 March 2009

Jangan Khianati Rakyat, Jenderal

Published by Koran Tempo, September 2004


Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


BILA tidak ada aral melintang, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan M. Jusuf Kalla (JK) bakal dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pada 20 Oktober nanti. Hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan beberapa lembaga survei bekerja sama dengan beberapa stasiun televisi menunjukkan pasangan SBY-JK memenangkan pemilihan presiden putaran kedua dengan margin sekitar 20 persen. SBY-Kalla memperoleh sekitar 60 persen suara, sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim) mendapatkan sekitar 40 persen suara. Penghitungan serupa yang dilakukan Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) juga menunjukkan tren perbedaan angka sekitar 20 persen bagi kemenangan SBY-Kalla atas Mega-Hasyim.

Berdasarkan pengalaman pemilu legislatif dan pemilu presiden putaran pertama, hasil quick count memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Karena itu, kendati hasil pemilu presiden putaran kedua baru akan diumumkan KPU pada 5 Oktober nanti berdasarkan penghitungan manual, hasil quick count dari berbagai lembaga survei dan tren hasil penghitungan suara TNP tak perlu diragukan lagi. SBY-Kalla akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Pertanyaan yang segera menyergap adalah, apa yang harus dilakukan SBY-Kalla menjelang dilantik pada 20 Oktober nanti, dan terlebih setelah resmi menyandang predikat Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, terutama dalam seratus hari pertama –waktu yang dianggap sebagai suatu indikasi bagi sebuah pemerintahan apakah bakal membawa rakyat ke arah kemakmuran ataukah kehancuran.

Mulai dari sekarang SBY-Kalla bolehlah memilih-milih dan memilah-milah mereka-mereka yang bakal diajak dalam kabinet. Secara teoretis, porsi utama haruslah diberikan kepada elite-elite empat partai yang mendukung SBY-Kalla, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keempat partai itulah yang secara eksplisit dan secara terbuka menyatakan dukungan kepada SBY-Kalla. Orang-orang terbaik dan terlebih ‘bersih’ dari keempat partai tersebut harus mendapatkan prioritas untuk duduk di kabinet. Berikutnya adalah orang-orang terbaik yang telah ’berkeringat’ di sisi SBY-Kalla, yang telah mengantarkan kemenangan pasangan itu. Mereka semua harus diberikan prioritas. Namun, alat ukurnya harus jelas: kompeten dan bersih atau bebas dari perilaku KKN. Untuk yang terakhir suara publik terhadap mereka harus benar-benar diperhitungkan.

Setelah SBY-Kalla memenangkan pemilu presiden putaran pertama, dan terlebih ketika unggul sementara pada pemilu putaran kedua, banyak tokoh publik (termasuk tokoh bisnis) atau elite nonpartai pendukung yang merapat. Perilaku mereka khas elite Indonesia: selalu berharap mendapatkan bagian dari kue kekuasaan karena berkuasa itu memang nikmat. Terhadap mereka, SBY-Kalla harus betul-betul berhati-hati karena mereka potensial memecah rantai kesatuan para pendukung SBY-Kalla yang ’berkeringat’.

Dibandingkan Mega-Hasyim yang sejak awal telah mengkaveling-kaveling portofolio kementerian di antara partai pendukung Koalisi Kebangsaan, space bagi SBY-Kalla untuk merekrut orang terbaik dan bersih di kabinet mereka lebih lebar. Keunggulan SBY-Kalla lebih disebabkan ketokohan, terutama pada sosok SBY, ketimbang adanya dukungan konkret dari partai-partai penyanggah. Di luar Partai Demokrat yang memang dibentuk SBY sendiri, dukungan yang cukup signifikan sebenarnya cuma datang dari PKS. Dukungan dari PKS paling tidak menguntungkan SBY-Kalla dalam dua hal. Pertama, PKS menarik gerbong pemilih Amien Rais pada putaran pertama yang semula ragu antara ingin golput dan memilih SBY-Kalla. Kedua, PKS meningkatkan citra SBY-Kalla sebagai sosok ‘bersih’ dan pembaharu, serta yang lebih utama lagi adalah memupus keraguan sebagian pemilih bahwa SBY adalah tokoh yang anti-Islam.

Kita berharap, SBY-Kalla memang akan memajukan orang-orang terbaik di kabinetnya nanti. Tinggal lagi kita menagih janji-janji kampanye SBY-Kalla sambil menyiapkan indikator keberhasilan pemenuhan janji tersebut. Seratus hari pertama lazim dipancangkan sebagai rentang waktu untuk menilai pemenuhan janji tersebut.

Di harian ini saya pernah mengajukan langkah konkret untuk memerangi korupsi dalam seratus hari pertama (Koran Tempo, 1/9/2004). Pertama, presiden mendeklarasikan hartai kekayaan serta melarang keluarga dan sanak kerabatnya berbisnis dengan memanfaatkan jabatan kepresidenan. Presiden juga harus menjadikan lingkungan kepresidenan sebagai area pertama yang bebas KKN. Kedua, presiden hanya mengangkat orang-orang bersih untuk duduk di kabinet dengan terlebih dulu meminta pendapat publik menyangkut track record calon anggota kabinet. Ketiga, presiden menitahkan kepada para menteri untuk mensterilkan lingkungan kementerian mereka dari virus KKN dalam seratus hari pertama dengan ancaman pemberhentian bila dinilai gagal. Keempat, presiden menggalang koalisi besar untuk memerangi korupsi bersama komponen-komponen masyarakat. Kelima, presiden mulai mencontohkan pola hidup sederhana.

Partnership for Governance Reform (PGR) yang selama ini peduli dengan pembentukan tata pemerintahan yang baik telah pula mengusulkan 20 program bagi percepatan tata pemerintahan yang baik dalam 100 hari pertama. Ada enam bidang yang dibidik PGR, yaitu (1) pemberantasan korupsi, (2) pembangunan aparat yang bersih, (3) penciptaan dunia usaha yang akuntabel, (4) penciptaan otonomi daerah yang efektif dan bertanggung jawab, (5) penegakan hukum untuk menjamin keadilan bagi rakyat, dan (6) pemantapan sektor keamanan dan pertahanan.

Dalam masalah pemberantasan korupsi, PGR mengusulkan tiga program, yaitu (1) melaksanakan eksekusi kasus korupsi yang berkekuatan hukum tetap dan menyegerakan penanganan 10 kasus korupsi yang berpotensi mengembalikan uang negara dan mendapat sorotan, (2) memberi dukungan penuh kepada KPK, dan (3) menghilangkan hambatan prosedural dalam penanganan kasus korupsi.

Yang menarik, dalam masalah penegakan hukum, PGR mengusulkan agar presiden mengangkat Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, yang berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Dalam perspektif PGR, dua pejabat itu dinilai sangat strategis untuk memberantas korupsi. Pandangan itu sama sekali tidak keliru. Poin buruk pemerintahan Megawati, misalnya, justru pada penunjukan pejabat Jaksa Agung yang kemudian malah terindikasi korupsi berdasarkan temuan KPKPN. Sementara polisi yang diharapkan menangani kasus itu secara cepat –karena secara resmi KPKPN telah mengadukan indikasi korupsi itu ke pihak kepolisian—terlihat berupaya seperempat hati saja untuk menuntaskannya.

SBY-Kalla nanti tentunya dapat memilah-milah mana program yang secara realistis dapat dijalankan dalam seratus hari pertama. 20 Program PGR yang telah disampaikan ke SBY-Kalla, misalnya, bila dibaca secara lebih mendalam, tidak semuanya realistis dilaksanakan dalam seratus hari pertama masa pemerintahan. Yang dituju dari patokan seratus hari itu hanyalah sebuah harapan apakah presiden yang baru betul-betul serius mau menuntaskan masalah negeri ini. Dalam konteks kepemimpinan SBY-Kalla, kita ingin mendapatkan kepastian apakah janji-janji kampanye itu betul-betul mau dilaksanakan atau tidak. Soal pemberantasan korupsi, misalnya, dalam penajaman visi dan misi yang diadakan oleh KPU, SBY telah berjanji untuk memimpin langsung upaya tersebut. Dalam seratus hari pertama kita akan melihat apakah salah satu janji itu direalisasikan.

Terlepas dari latar belakang SBY yang militer dan Kalla yang pengusaha –dua kelompok masyarakat yang selalu punya andil besar dalam kebaikan atau kehancuran negeri ini—kita berharap keduanya memang betul-betul membawa angin perubahan. Kita, rakyat Indonesia, tidak ingin lagi menjadi korban kebohongan kampanye elite, yang selalu berjanji dengan sungguh-sungguh sebelum terpilih, tetapi segera melupakan janji begitu kemenangan telah diraih. Jangan khianati kami (lagi), Jenderal!***

Jakarta, 21 September 2004

No comments: